Sunday, December 17, 2006

HIPOKRISI dalam POSMODERNISME

Jika masih mengaku modern maka bersiap-siaplah untuk dikatakan ketinggalan zaman. Karena sekarang dunia berada pada puncak posmodernis. Sebentar lagi melompat ke neoposmodernis. Dan seterusnya entah apalagi kodefikasi kemajuan ummat manusia. Yang jelas, lompatan terjadi sangat cepat. Bisa jadi musim 3G (Three Generation) sebuah bentuk neoposmodernis itu.

Sudah berada dimanakah kita? Bisa jadi belum masuk dalam kategori manapun. Atau lazim terjadi, pada banyak sektor kehidupan kita, mencamplok setiap kodefikasi itu serba sedikit. Misalnya, belum matang pada pre modern, sudah masuk ke kehidupan modern, tetapi sangat terpaksa hidup di zaman posmodernis. Dampaknya adalah terperangah dengan segala atraksi zaman. Tak ayal, menjadi penonton di ranah global yang sudah dikuasai kapitalisme dari berbagai sudut kehidupan. Kita dikepungnya. Mulai dari tempat tidur sampai kamar mandi. Misalnya? Apa merk sabun mandi yang kita pakai?

Tulisan ini terekspresi dari laporan Zelfeni Wimra di Padang Ekspres, Minggu (9/12) ditulis atas seminar yang menghadirkan Yasraf Amir Piliang, di Universitas Negeri Padang (UNP).
Ada beberapa yang patut disadari, seperti di atas tadi, dimana ada dan selalu ada hipokrisi zaman baru. Termasuk posmodernisme itu.

Benar apa yang dikatakan Amir, betapa ceroboh ketika padu padan fashion antara jilbab dengan baju ketat senteng ditambah celana jeans. Atau contoh lain, seorang anak muda gondrong dengan kopiah dan baju koko tapi pakai anting-anting sebelah kiri saja.

Ini amatlah sesuai dengan cerita, seekor monyet ingin belajar berjalan dengan gaya kura-kura. Ia belajar dengan seksama tetapi selalu gagal. Setelah sadar, tak mungkin ia bisa sempurna seperti kura-kura. Akhirnya, ingin kembali seperti gaya monyet semula. Sayang, gaya itupun ia tak lagi mampu.
Agaknya, perlu kritis lagi bertanya kepada hati nurani sendiri, ketika spritualitas ternyata dijemput lagi. Sesungguhnya, spritualitas itu adalah hikmah bangsa timur. Pertanyaan berikutnya, bagaimana menjemput jati diri kita yang paling murni itu? Bisakah sesuai dengan keotentikannya dengan masa lalu? Tidak, ia harus mengalami bias zaman yang harus menopanginya.

Agaknya, sekali lagi, hipokrasi tetap akan terjadi dalam posmodernis ini. Dimana sisa modernisme masih menyelip di antara cara pikir hidup sehari-hari. Atau yang paling naif terjadi, mengaku berpikir posmodernis tetapi nyatanya adalah masih modern. Bahkan jauh sebelum itu, tradisional dan ortodok.
Satu hal yang positip, spiritualitas sudah dijemput setelah tuhan dinyatakan mati. Bagaimana? Ya, mengulang kaji dan buka kembali setiap buku-buku dan kitab suci yang dimiliki. Di situlah ada spritualitas. Jika masih menggunakan yang sudah ada, maka spritualitas akan teras garing, formalitas, juga simbol-simbol. Artinya, kita masih berada di zaman modern yang sudah ketinggalan.

Kalau sudah begitu, apakah kita akan bernasib sama dengan kera tadi? Entahlah, semoga ini tak terjadi. Perlu diingat, jika dinamika rasionalitas berkembang pesat dengan bukti laju teknologi dari ilmu pasti yang sudah menjadi produk kapitalis, sejauh manakah laju spiritualitas kita memahami nilai-nilai transeden? Statis atau dinamis? Saya masih banyak percaya pada hal yang pertama. Statis. Buktinya, wilayah spritualitas dianggap tak boleh lagi diotak-atik. Filsafat agama dianggap berbahaya.

Asah otak untuk mendekatkan spritualitas kepada Yang Maha Esa cenderung ditutupi secara tidak langsung. Ia dianjurkan dengan metode ibadah sebanyak-banyaknya tanpa tahu makna sakral dan jalan menuju tuhan. Imbasnya, ibadah menjadi simbol. Padahal, spritualitas harusnya tidak saja didekati dengan hati, tetapi juga dengan akal.

Bukan artian ibadah tidak penting, tetapi wilayah ini tak lagi harus pakai cambuk untuk mengerjakannya. Ia harusnya sudah menjadi gaya hidup yang matang.

Pada zaman pertengahan, memang filsafat ”dikanvas” oleh Al-Ghazali, karena dianggap menyesatkan dan cenderung membuat manusia melompat ke wilayah terlarang, bicara dzat tuhan. Di sinilah lahirnya fundamentalis yang bertahan pada wilayah sakral agama tak boleh digerogoti oleh filsafat. Tetapi beberapa dekade setelah itu, filsafat berkembang baik menjadi “hikmah dari timur.” Ia dicari oleh bangsa Barat. Karena Barat sudah mendapatkan rasionalitas yang berkembang menjadi ilmu pasti. Kalaupun perlu jujur, rasionalitas Barat juga dibawa oleh Averoes (Ibn Rusd) dari timur.
”Averoes sukses di Barat, Al-Ghazali berhikmah di Timur.” Begitulah bahasa yang dapat disederhanakan.

Begitulah akhirnya hari ini masalah rasionalitas dan spritualitas terus menggoncang manusia. Bagaimana menyeimbangnya dalam kehidupan sehari-hari.

Zaman modern kemarin, agama tak penting kalau hanya membawa kemunduran berpikir. Sekarang, agama dijemput untuk keseimbangan. Tetapi, kalau tidak dipelajari lebih dalam dan berdinamika rasional, tidak terkooptasi di wilayah halal- haram, harapan spritualitas dan rasionalitas bisa membuat ummat manusia makin sempurna.

Seperti diungkapkan Adik Hasan Albana—pendiri Ikhwanul Muslimin, Gamal Albanna, umat Islam memahami syariat sebagai ajaran ritual dalam Islam, seperti Shalat, Puasa, Haji dan lain sebagainya. Menurutnya, dengan mengutip pandangan tokoh terkemuka di dunia Islam, Ibnu Qayyim, syariat adalah keadilan, kerahmatan dan kemaslahatan. Apabila sebuah ajaran tak berjalan di atas nilai-nilai universal di atas, itu bukan syariat. Syariat terkait erat dengan pemerintahan dan kemaslahatan masyarakat.

Ironisnya, nilai-nilai universal di atas justru menjadi titik lemah umat Islam secara umum. Berbagai macam aksi kekerasan, ketidakadilan,

Pertanyaan lain, sejauh mana bisa didalami spritualitas? Bagaimana mensejajarkannya antara ummat yang satu, kelompok yang satu, dengan yang lain? Perbedaan sering kali masuk pada klaim paling benar. Di sinilah sesaknya spiritualitas membunuh antara satu yang lain. Kata lainnya adalah, pemahaman yang sempit akan membawa orang berpikir sempit pula. Sebaliknya, pemahaman yang luas akan membawa orang berpikir lapang pula.

Jika seperti ini, apa yang dikomentari oleh Corinne Maier, menjadi tepat. Industri, orang-orang yang terlibat di dalamnya, konsumen yang dijajahnya, harus selalu ereksi setiap hari. Kalau tidak, ia bukan berada di zaman itu.

Paparan ini disimpulkan, hipokrisi akan berjalan dengan bebas di zaman posmodernis ini, kalau tidak dibuat format pemahaman spritualitas yang tak-tis sesuai dengan tingkat rasionalitas terendah masa ini. Tetapi tentulah dimulai dari kekuatan cendikiawan dan ilmuwan sosial dan agama mencari dan mengintervensinya ke wilayah publik. Kalau tidak, hipokrisi atas aliran-aliran yang masih berkeliaran akan tetapi terjadi.

Akankah kita harus hidup berputar pada kain sarung ketololan dan kemunafikan? Tentu saja tidak.***
Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres Edisi Minggu, 17 Desember 2006

Monday, December 11, 2006

ARISTO MUNANDAR: BUKA AKSES MODAL untuk KELUARGA MISKIN BERBASIS MASJID

Budaya malu bisa menekan angka kemiskinan di tengah masyarakat. Lebih-lebih di Ranahminang masih memiliki adat dan budaya yang masih kental. Bagaimana format agar kemiskinan bisa dihapuskan dengan budaya malu?
"Kita mulai dengan membangkitkan kekerabatan yang sudah ada. Menata dan mengambil data base kemiskinan yang ada di tengah masyarakat. Khusus urang minang, keluarga, suku, jorong, nagari, adalah sesuatu yang penting bagi dirinya. Nah, kita akan lihat suku mana yang miskin itu, jorong mana, nagari mana," ungkap Bupati Kabupaten Agam, Aristo Munandar, ketika koran ini berkunjung ke kediaman Komplek Wisma Lapai Jaya Blok E Padang, (10/12).
Aristo Munandar baru saja pulang dari Rapat Kerja Nasional Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) se-Indonesia di Medan, 7-8 Desember 2006. Di acara tersebut, Aristo mendapatkan penghargaan dari Pinbuk Award 2006 atas usaha Pemkab Agam usahanya dalam Pinbuk dan Baitul Mal at-Tanwil (BMT) di Kabupaten Agam.
"Budaya malu kita sangat tinggi. Jika dikatakan suku, nagari, jorong, apalagi keluarga dekat, termasuk orang miskin. Artinya, kita tidak memperhatikan keluarga kaum kerabat," papar bupati yang menjabat dua periode ini.
Apa saja yang kebijakan bupati untuk mengangkat kaum papa? Ia memaparkan beberapa konsep pelayanan terhadap kaum papa yang memang sangat sedikit tersentuh oleh program pemerintah.
"Mereka tidak dapat akses modal karena prosedur yang berlaku. Oleh karenanya, kita merubah prosedur. Prosedur kekeluargaaan," paparnya.
Prosedur ini berbeda dengan peminjaman yang berdasarkan agunan. Hanya bermodalkan kepercayaan dan kekerabatan yang ada di tengah masyarakat dan jamaah masjid. Dari pengalaman di BMT, ini bisa berjalan dengan baik. Ke depan, tinggal lagi pengembangan dan pembinaan.
"Setelah saya cermati dari apa yang sudah dilakukan, turun ke bawah dan merasakan denyut masyarakat. Hasilnya, ternyata harus ada format baru agar orang miskin bisa diangkat menjadi keluarga pra sejahtera. Caranya, beri obat sesuai dengan penyakit. Data satu persatu. Tanya satu persatu. Tidak bisa digenerasilir," ungkap bupati yang sering mendapat penghargaan nasional ini.
Pemkab Agam memodali pendataan ulang Rp350 juta. "Walau ada bias pada data, tetapi setiap program penanggulangan kemiskinan akan dicek ulang ke bawah. Penajaman data harus dilakukan. Kemudian, program harus disosialisasi dengan matang. Biarlah perencanaannya agak lama yang penting matang dari pada cepat nekad tanpa hasil," tegasnya.
Gerakan yang sudah dilakukan seperti BMT memang mendapat tempat di hati masyarakat. Masjid sebagai basis ternyata berdampak positif terhadap pergerakan ekonomi dan silaturrahmi.
"Inilah modal ke depan. Akan digelar raker agar semua paham bagaimana program pengentasan kemiskinan berbasis surau dan masjid akan mampu berjalan baik. Melibatkan ninik mamak, alim ulama, wali nagari, perantau. Pada gilirannya, rasa malu akan muncul ketika diketahui oleh perantau yang berhasil ternyata masih ada dunsanak mereka, anak kemanakan mereka yang masih butuh perhatian," paparnya semangat.
Masjid dan surau akan menjadi posko penanggulangan dan diisi oleh pembina yang dilatih profesional. Memberi kesempatan bagi rapat suku, jamaah masjid dan perangkat nagari untuk mengumpulkan semua ide untuk mendapatkan celah usaha baru bagi anak kemanakan yang butuh bantuan. Legitimasi pencairan dana tidak perlu dilakukan secara konvensional bank tetapi cukup kepercayaan dan tanggung jawab ninik mamak setempat.
"Implikasi positifnya adalah, adat dan agama akan bergandengan melalui pola ekonomi," jelas Aristo.
Menguatkan hal ini, akan dibuat detail format pengawasan dan pembinaan dan evaluasi kepada Kelompok Usaha Bersama (KUBE). "Kalaulah demikian adanya, pikiran enterpreneushif akan muncul. Misalnya, satu KK, ia bisa apa dan maunya apa. Nah, sebatas itulah ia diberikan dengan kepastian jaminan ninik mamak dan pengawasan. Motivasi dan pembinaan. Nah, dinamika usaha akan hidup," tuturnya.
Program Agam Mandiri, Agam Madani memang sudah dimulai dan memperlihatkan hasil. Penghargaan sebagai pusat pelayanan terbaik dan Pinbuk ini adalah bukti dari keseriusan dan kerja keras pria yang murah senyum ini.
Tahun 2005, Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Agam mencapai 6.13 persen. Tahun 2004, 6,01 persen. Tahun 2003, 5,29 persen.
Pemikiran untuk peningkatan pendapatan masyarakat terus dilakukan. "Untuk produksi saya pikir tidak ada masalah lagi. Kini tinggal peningkatan mutu dan daya saing dengan cara mencari nilai tambah (value added). Beberapa produk unggulan usaha kecil sudah sangat dikenal dari Agam seperti dodol labu, dodol wartel, air tebu sudah mendapat sentuhan packaging yang baik," tuturnya.
Sementara itu, aksi nyata untuk peningkatan ekonomi rakyat yang lain, diserahkan 32 kebijakan bupati ke kecamatan. Hal ini dilakukan demi efesiensi waktu dan memberi ruang kepada camat untuk mendekatkan program dengan kebutuhan masyarakat.
Seperti diberitakan koran ini, Sabtu (9/12), Aristo bersama kepala daerah lain, seperti Bupati Langkat (Sumut), Bupati Tanah Bumbu (Kalsel), Bupati Tanjung Balai (Kepri), Bupati Tebing Tinggi (Sumut), dan Bupati Pekalongan (Jateng) mendapatkan Pinbuk Award 2006.
Sementara di tingkat menteri, penghargaan diberikan kepada Menteri Sosial Bachtiar Chamsah, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadarma Ali, Dirut Bank Muamalat Syaefudin A, dan mantan Guberbur Sumut Alm. T. Rizal Nurdin.
Penghargaan “Pinbuk Award 2006” ini diserahkan oleh Ketua Pinbuk Pusat, Prof.Dr. Ir. M. Amin Aziz, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pinbuk se-Indonesia, di Medan. Dalam Rakernas yang dibuka Deputi Bidang Pengentasan Kemiskinan Menko Kesra DR. Sujana Rohiyat, dan berlangsung tiga hari itu, hadir para kepala daerah se-Indonesia, dan sejumlah pejabat depertemen terkait.
Dikatakan Aristo, bagaimana pun, tugas pemerintah adalah mensejahterakan masyarakat. Tetapi, fenomena yang menyakitkan ketika kenyataan bahwa, dengan digulirkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT), ternyata menjadi titik balik, bahwa angka keluarga miskin membengkak. Kabupaten Agam mengalami hal tersebut, dimana KK miskin tahun 2004 bisa ditekan hingga 10.566 KK waktu ada pendataan untuk BLT, mencapai 23.661 KK. Padahal program untuk mengentas kemiskinan sudah dijalani. "Berangkat dari kenyataan inilah, kita harus tegas dalam aksi nyata. Bagaimana pendekatan kekerabatan yang menjadi modal penting dalam adat budaya kita bisa dilakukan. Saya pikir akan muncul pemikiran baru dan aksi baru dari ide-ide seperti ini. Kini tinggal pemantapan dan pelaksanaan," jelas Aristo.*