HIPOKRISI dalam POSMODERNISME

Jika masih mengaku modern maka bersiap-siaplah untuk dikatakan ketinggalan zaman. Karena sekarang dunia berada pada puncak posmodernis. Sebentar lagi melompat ke neoposmodernis. Dan seterusnya entah apalagi kodefikasi kemajuan ummat manusia. Yang jelas, lompatan terjadi sangat cepat. Bisa jadi musim 3G (Three Generation) sebuah bentuk neoposmodernis itu.

Sudah berada dimanakah kita? Bisa jadi belum masuk dalam kategori manapun. Atau lazim terjadi, pada banyak sektor kehidupan kita, mencamplok setiap kodefikasi itu serba sedikit. Misalnya, belum matang pada pre modern, sudah masuk ke kehidupan modern, tetapi sangat terpaksa hidup di zaman posmodernis. Dampaknya adalah terperangah dengan segala atraksi zaman. Tak ayal, menjadi penonton di ranah global yang sudah dikuasai kapitalisme dari berbagai sudut kehidupan. Kita dikepungnya. Mulai dari tempat tidur sampai kamar mandi. Misalnya? Apa merk sabun mandi yang kita pakai?

Tulisan ini terekspresi dari laporan Zelfeni Wimra di Padang Ekspres, Minggu (9/12) ditulis atas seminar yang menghadirkan Yasraf Amir Piliang, di Universitas Negeri Padang (UNP).
Ada beberapa yang patut disadari, seperti di atas tadi, dimana ada dan selalu ada hipokrisi zaman baru. Termasuk posmodernisme itu.

Benar apa yang dikatakan Amir, betapa ceroboh ketika padu padan fashion antara jilbab dengan baju ketat senteng ditambah celana jeans. Atau contoh lain, seorang anak muda gondrong dengan kopiah dan baju koko tapi pakai anting-anting sebelah kiri saja.

Ini amatlah sesuai dengan cerita, seekor monyet ingin belajar berjalan dengan gaya kura-kura. Ia belajar dengan seksama tetapi selalu gagal. Setelah sadar, tak mungkin ia bisa sempurna seperti kura-kura. Akhirnya, ingin kembali seperti gaya monyet semula. Sayang, gaya itupun ia tak lagi mampu.
Agaknya, perlu kritis lagi bertanya kepada hati nurani sendiri, ketika spritualitas ternyata dijemput lagi. Sesungguhnya, spritualitas itu adalah hikmah bangsa timur. Pertanyaan berikutnya, bagaimana menjemput jati diri kita yang paling murni itu? Bisakah sesuai dengan keotentikannya dengan masa lalu? Tidak, ia harus mengalami bias zaman yang harus menopanginya.

Agaknya, sekali lagi, hipokrasi tetap akan terjadi dalam posmodernis ini. Dimana sisa modernisme masih menyelip di antara cara pikir hidup sehari-hari. Atau yang paling naif terjadi, mengaku berpikir posmodernis tetapi nyatanya adalah masih modern. Bahkan jauh sebelum itu, tradisional dan ortodok.
Satu hal yang positip, spiritualitas sudah dijemput setelah tuhan dinyatakan mati. Bagaimana? Ya, mengulang kaji dan buka kembali setiap buku-buku dan kitab suci yang dimiliki. Di situlah ada spritualitas. Jika masih menggunakan yang sudah ada, maka spritualitas akan teras garing, formalitas, juga simbol-simbol. Artinya, kita masih berada di zaman modern yang sudah ketinggalan.

Kalau sudah begitu, apakah kita akan bernasib sama dengan kera tadi? Entahlah, semoga ini tak terjadi. Perlu diingat, jika dinamika rasionalitas berkembang pesat dengan bukti laju teknologi dari ilmu pasti yang sudah menjadi produk kapitalis, sejauh manakah laju spiritualitas kita memahami nilai-nilai transeden? Statis atau dinamis? Saya masih banyak percaya pada hal yang pertama. Statis. Buktinya, wilayah spritualitas dianggap tak boleh lagi diotak-atik. Filsafat agama dianggap berbahaya.

Asah otak untuk mendekatkan spritualitas kepada Yang Maha Esa cenderung ditutupi secara tidak langsung. Ia dianjurkan dengan metode ibadah sebanyak-banyaknya tanpa tahu makna sakral dan jalan menuju tuhan. Imbasnya, ibadah menjadi simbol. Padahal, spritualitas harusnya tidak saja didekati dengan hati, tetapi juga dengan akal.

Bukan artian ibadah tidak penting, tetapi wilayah ini tak lagi harus pakai cambuk untuk mengerjakannya. Ia harusnya sudah menjadi gaya hidup yang matang.

Pada zaman pertengahan, memang filsafat ”dikanvas” oleh Al-Ghazali, karena dianggap menyesatkan dan cenderung membuat manusia melompat ke wilayah terlarang, bicara dzat tuhan. Di sinilah lahirnya fundamentalis yang bertahan pada wilayah sakral agama tak boleh digerogoti oleh filsafat. Tetapi beberapa dekade setelah itu, filsafat berkembang baik menjadi “hikmah dari timur.” Ia dicari oleh bangsa Barat. Karena Barat sudah mendapatkan rasionalitas yang berkembang menjadi ilmu pasti. Kalaupun perlu jujur, rasionalitas Barat juga dibawa oleh Averoes (Ibn Rusd) dari timur.
”Averoes sukses di Barat, Al-Ghazali berhikmah di Timur.” Begitulah bahasa yang dapat disederhanakan.

Begitulah akhirnya hari ini masalah rasionalitas dan spritualitas terus menggoncang manusia. Bagaimana menyeimbangnya dalam kehidupan sehari-hari.

Zaman modern kemarin, agama tak penting kalau hanya membawa kemunduran berpikir. Sekarang, agama dijemput untuk keseimbangan. Tetapi, kalau tidak dipelajari lebih dalam dan berdinamika rasional, tidak terkooptasi di wilayah halal- haram, harapan spritualitas dan rasionalitas bisa membuat ummat manusia makin sempurna.

Seperti diungkapkan Adik Hasan Albana—pendiri Ikhwanul Muslimin, Gamal Albanna, umat Islam memahami syariat sebagai ajaran ritual dalam Islam, seperti Shalat, Puasa, Haji dan lain sebagainya. Menurutnya, dengan mengutip pandangan tokoh terkemuka di dunia Islam, Ibnu Qayyim, syariat adalah keadilan, kerahmatan dan kemaslahatan. Apabila sebuah ajaran tak berjalan di atas nilai-nilai universal di atas, itu bukan syariat. Syariat terkait erat dengan pemerintahan dan kemaslahatan masyarakat.

Ironisnya, nilai-nilai universal di atas justru menjadi titik lemah umat Islam secara umum. Berbagai macam aksi kekerasan, ketidakadilan,

Pertanyaan lain, sejauh mana bisa didalami spritualitas? Bagaimana mensejajarkannya antara ummat yang satu, kelompok yang satu, dengan yang lain? Perbedaan sering kali masuk pada klaim paling benar. Di sinilah sesaknya spiritualitas membunuh antara satu yang lain. Kata lainnya adalah, pemahaman yang sempit akan membawa orang berpikir sempit pula. Sebaliknya, pemahaman yang luas akan membawa orang berpikir lapang pula.

Jika seperti ini, apa yang dikomentari oleh Corinne Maier, menjadi tepat. Industri, orang-orang yang terlibat di dalamnya, konsumen yang dijajahnya, harus selalu ereksi setiap hari. Kalau tidak, ia bukan berada di zaman itu.

Paparan ini disimpulkan, hipokrisi akan berjalan dengan bebas di zaman posmodernis ini, kalau tidak dibuat format pemahaman spritualitas yang tak-tis sesuai dengan tingkat rasionalitas terendah masa ini. Tetapi tentulah dimulai dari kekuatan cendikiawan dan ilmuwan sosial dan agama mencari dan mengintervensinya ke wilayah publik. Kalau tidak, hipokrisi atas aliran-aliran yang masih berkeliaran akan tetapi terjadi.

Akankah kita harus hidup berputar pada kain sarung ketololan dan kemunafikan? Tentu saja tidak.***
Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres Edisi Minggu, 17 Desember 2006

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA