MANUSIA BACA

Dr M Quraish Shihab menyatakan di dalam buku Membumikan Al-Quran, falsafah dasar iqra' bukan sekedar membaca tetapi juga diteruskan dengan menelaah, mengkaji dan memahami.


Hal ini dijelaskan dengan kata akram setelah iqra'. Di dalam Al-Quran ada tiga kali pengulangan kata qaraa. Sedangkan dalam berbagai bentuk kalimat kata qaraa---sebagai akar kata--- muncul sebanyak 70 kali. Pada akhir pembahasan falsafah iqra' dikatakan, syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia. Inilah perintah paling berharga kepada ummat manusia. Menjadi makhluk membaca.



Soal minat baca, ada yang menyebutkan, minat baca kita tetap tinggi tetapi minat beli sangat minim.


Saya pikir, terlepas apologi atau tidak, sangat jelas terlihat bagaimana wawasan seorang manusia baca---bahasa Quraish Shihab Makhluk Membaca---dengan mendengar dan melihat.


"Makanya, kalau ada orang yang memegang jabatan publik tak berani tampil itu salah satu akibat dari tak mau membaca. Membaca akan mengakibatkan anda pintar bicara dan lancar menulis," kata seorang pengarang yang menyatir pesan pemerintah pada bungkus rokok.



Saya tersenyum mendengarnya. Karena pengalaman lapangan saya menemukan banyak pejabat yang serba tahu. Lalu disebut kakek segala tahu, tokoh dalam serial Wiro Sableng karya Bastian Tito (almarhum).
Ya, kedengarannya memang amat remeh dan sedikit nyeleneh. Tapi bolehlah, saya menangkap sebuah kearifan bahwa membaca adalah alat utama untuk meningkatkan kualitas diri.


"Karena kalau melihat (visual), mendengar (audio), tak selalu mengajak akal untuk fokus berpikir secara mendalam ke arah apa yang dilihat dan di dengar. Tetapi kalau membaca, selain dengan fokus mendalam ia langsung membuka ruang nalar. Buktikanlah, bagaimana rasanya menonton serial Wiro Sableng dengan membaca serialnya dalam bentuk buku," ungkap seorang sastrawan.


Agaknya demikian dulunya, ketika tontonan minim masih minim, orang hanya baru bersua ilmu pada buku dan majalah saja. Maka banyak muncul karya baru karena nalar terbuka setelah membaca.


Tetapi walau demikian, seharusnya teknologi audio visual membantu bukan membuntu nalar. Sebuah dampak bukan datang dari sesuatu yang baru tetapi bagaimana cara menerima dan memanfaatnya. Buktinya, saat mendapat kesempatan ke National Library Singapore April 2006 lalu, dapat dilihat dengan jelas teknologi dimanfaatkan dengan sempurna. Pustaka dengan 14 tingkat dan tiga tingkatnya dibangun di dalam tanah hanya memiliki beberapa orang pegawai saja. Selebihnya teknologi membantu. Pengunjung bak mengunjungi swalayan, sirkulasi digital tak perlu antri, entri buku tak perlu susah mencari, semua buku diberi chip, semua anggota punya card elektronis. Ah, saya jadi mengimpikan pustaka seperti ini ada di sini.


"Entah kapan. Pengadaan buku saja menabur masalah, apalagi pengadaan digitalisasi," seorang teman pesimis. Mungkin setelah mendengar berita tentang kasus pustaka baru-baru ini.


Satu yang mesti di sadari dalam hal minat baca, motivasi masih terbatas pada tugas bukan kecintaan. "Kalau masih begitu adanya, alamat makin jauhlah kita tertinggal. Bagi saya membaca tidaklah harus dengan pustaka dengan teknologi sanggih. Tetapi sadar sebagai kebutuhan berpikir," ia menyindir.


"Saya bukan mau menyebut soal pustaka mereka canggih. Tapi menyatakan, mereka begitu cinta buku dan pengetahuan sehingga pustaka dibangun sedemikian rupa. Tempat ilmu yang dimuliakan," jawab saya.


"Jangan mengharap terlalu besar negara yang sedang berkembang. Ilmu pengetahuan, kecintaan ilmu, baru sebatas prestasi dan prestise. Bukan cinta yang tulus. Artinya, belum ada kejujuran untuk kebijakan seperti masa Abdul Aziz Daulah Abbasiah dulu. Di situ, ilmu adalah emas."


Saya mangut-manggut melihat ia berpendapat. "Pasti ia banyak baca buku," pikir saya. []

Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA