Saturday, February 9, 2019

Wahai Pagi Sabtu Jadul

Ini pagi Sabtu benar-benar kurang ajar. Tiba-tiba Polytron jadul yang dipermak hingga bisa pake dicolok flasdisk buat putar mp3, memutar lagu Nike Ardilla. Judulnya, Bintang Kehidupan. Lagu lama sekali. Segala memory tentang masa lagu itu berputar di kepala saya. Benar-benar keparat. 


Kalau saja sekadar cinta remaja yang indah, ya enak. Saya akan menikmati hingga lagu ini habis, tapi seluruh kenangan pahit masa lalu itu teringat kembali. Sebuah pondok di tengah pohon kelapa, di bawahnya kandang ayam, di sampingnya ada kandang sapi. Serta seorang bocah yang memutar radio transistor tak memiliki sound yang memadai. Lagu-lagi baru diputar di situ, salah satunya lagu Bintang Kehidupan. 

Bagaimana menjadi Bintang Kehidupan di tengah pohon kelapa yang terus meninggi pongah itu? Lebih baik main sepak bola di padang rumput bersama kawan-kawan sehabis membuat unggun di dalam kandang sapi. "obat antinyamuk dan antilalat" bagi sapi-sapiku. 

Sehabis lagu Bintang Kehidupan, pindah lagi ke nomor Seberkas Sinar. Alamak, sinar apalagi ini. Saya sedang kesepian. Anak-anak sekolah. Ibunya mengantar sibungsu ke Taman Kanak-Kanak Hanifa. Sedang saya membaca saja sejak pagi. Entah apa yang dibaca. Bacaan pertama, setiap pagi pagi adalah http://disway.id, cerita hebat dari seorang idola sejak dulu, sejak di rumah yang masih pondok itu, ketika mendapat sobekan koran dari emak membeli bawang di pasar. Waktu itu, kaca mata Abah Dahlan Iskan besar, laporannya sudah saya baca. Tahun berapa itu, mana tahu saya, nggak ingat lagi. Koran apa itu, yang jelas koran daerah, yang jelas sudah ketinggalan tanggalnya sekian bulan. Koran basi yang isinya belum tentu basi, saya baca saja. Saya haus bacaan. 

Inilah pagi paling kurang ajar. Nike Ardilla tiba-tiba bernyanyi lewat mp3, dengan sound Polytron yang sangat memadai. Membawa saya jauh ke belakang. Semburan kenangan dalam kepala menjadi-jadi. Tiba-tiba ingat ayah, ayahku nomor satu. Seperti ayahnya Si Doel, yang baru dipenjara, seperti Ayah yang ditulis Hamka, seperti Ayah yang ditulis Andrea Hirata. Ayah, adalah laut. Tempat diam segala perih dalam menakhodai kehidupan rumah tangganya. 

Saya, kini sudah jadi ayah tiga putri. Cantik-cantik. Bundanya memang cantik. Alhamdulillah. Kini kami menua di bawah atap yang kami bangun dari segenap cinta. Kami jalani dengan segenap suka dan duka. Menginginkan sebuah masa depan yang indah. 

Ah, benar-benar sebuah lagu telah membuat tulisan ini memanjang. Membawa kenangan kembali keluar dari kuburnya. Tentang masa kecil, remaja dan segenap rasa pahit kehidupan. [AK]



No comments:

Post a Comment