Thursday, November 7, 2019

catatan

Catatan yang Tercecer 


Puncak pendidikan itu bergelar doktor. Dua huruf  yang disematkan di depan nama. Sebuah capaian yang sebenarnya tak pernah terbetik di waktu kecil. Perjalanan telah menggiring langkah ke sana, pergi dari dunia profesi yang sejak awal sudah digandrungi. Berawal dari menekuni dunia tulis menulis lalu menjadi profesi yang mengasyikkan. Entah itu wartawan, sastrawan, budayawan, seniman, menulis dan membaca adalah pokok kerjanya.

Tulisan Wartawan Utama, Khairul Jasmi di Harian Umum Independen Singgalang, Wartawan Senior Wiztian Yoetri di Harian Pagi Padang Ekspres dan tulisan salah seorang guru, Dr. Sheiful Yazan, M.Si, Dt. Mangkudun di Harian Khazanah telah menggugah saya untuk menulis. Saya terharu karena tiga nama di atas orang-orang yang saya hormati. Banyak sekali bantuan dari mereka hingga sampai ke puncak pendidikan yang memang tidak semua orang mau menuju ke sana kecuali atas desakan kewajiban karena sebagai seorang dosen. 


Saya pun begitu. Sulit sekali bermimpi menjadi seorang yang bergelar doktor tetapi secara nyata telah mencapainya. Ada rasa bangga tetapi begitu banyak rasa haru. Melow, kata muda-mudi sekarang atau baper, kata para netizen. 

Keharuan itu dimulai sejak Prof. Dr. Jamhari, MA mengumumkan hasil ujian promosi doktor. Padahal, sejak pagi dag dig karena akan menghadapi ujian promosi. 

"Saudara berhak menyandang gelar doktor," ujar Jamhari sembari meneruskan bacaannya terhadap Berita Acara Promosi Doktor hasil rapat para profesor penguji, beberapa saat sebelumnya. Ia juga membacakan nilai 95 untuk hasil ujian promosi, yang April lalu, pada ujian tertutup mendapatkan nilai 92. Sedangkan pada ujian Work in Progress (WIP) II, mendapat nilai 90. 

Sejak pengumuman itu, saya tercekat untuk mengungkapkan kesan dan pesan yang tak diduga. Saya berusaha menyudahi dengan banyak terima kasih kepada para profesor yang telah memberikan secara langsung maupun tidak langsung atas kelancaran penulisan disertasi. Hampir dua tahun menulis. 

Hari itu, Senin 15 Juli 2019, pukul 11.58 WIB, ruangan auditorium Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat riuh dengan tepuk tangan. Sejak itulah sering kali menyelinap suasana haru, baper mungkin juga melow. Biarlah, saya menanggungnya. Saya masih melihat seulas senyum emak yang hadir dalam acara yang khidmat itu. Saya melihat isteri saya yang tampak kikuk karena hari bersejarah baginya, duduk mendampingi seorang suami yang keras kepala. Tentu saja, hari yang tak biasa baginya. Perempuan yang telah memberikanku tiga putri itu, tampak memesona dan membanggakan. Anak-anakku, juga mengikuti bersalaman dengan para profesor. Kepala mereka dielus oleh para profesor. 

Pada acara itu, ada Dr. Mafri Amir, M.Ag, seorang mahaguru semasa kuliah dulu. Dialah bersama Dr. Sheiful Yazan, M.Si, yang telah menyeret nasib seorang mahasiswa dekil menjadi seorang jurnalis, tetiba digiring masuk kandang, pulang ke kampus. Hebat. Mereka tak pernah menyatakannya tetapi bergerak diam-diam bersama Prof. Dr. H. Salmadanis, M.Ag, Drs. Abd Rahman, MA, Drs. Masrial, MA. Mereka ini adalah para dosen-dosen saya yang terhormat.

Sebab itulah saya kian melow, begitu banyak ucapan selamat di media sosial dan juga karangan bunga di halaman kampus. Apalagi kehebohan teman seangkatan berfoto bersama usai acara, semua itu membuat saya baper. 

Kehadiran Bobi Lukman Piliang, Vinna Melwanti, dua orang yang mewakili redaksi harian pagi Padang Ekspres. Keduanya juga telah pergi dari ruang bersejarah itu. Ditambah lagi dengan kehadiran Bang Taslim Chaniago bersama Wiztian Yoetri. Itulah hari puncak yang sangat berarti di antara hari-hari penuh sejarah lainnya. Ya allah, terima kasih. [abdullah khusairi]


No comments:

Post a Comment