Akhirnya kembali ke laptop. Menulis lagi. Menulis apa saja yang ada. Sebab kata-kata adalah angin yang tak berbatas. Uang buat lebaranlah yang selalu terbatas. Hahaha. Kecuali bagi orang kaya raya. Ya, 'kan?
Lebaran 1443 H, hari raya yang datang setelah dua tahun dikacaukan oleh pandemi. Sebuah tikungan sejarah ummat manusia menghadapi ketakutan. Jutaan tewas karenanya sebagai korban. Sekejap menjadi catatan sejarah, dilupakan. Kegembiraan di hari kemenangan menguburkan di hati, orang-orang tercinta telah pergi selamanya.
Kami pulang kampung, Kamis (28/04). Meluncur mulus hingga Kabupaten Sarolangun. Tersendat dikit di beberapa kemacetan yang tak parah amat dibanding orang-orang yamg belasan jam. Lebih kurang 485 Km, bertemu emak, nenek anak-anak dan sepupu-sepupu mereka Senyum sumringahnya melunas lelah. Itu tiada ternilai harganya. Sungguh.
Sarolangun, kota kecil. Bergeliat sendiri di tengah tamparan harga tandan buah segara (TBS) melorot. Walau begitu, sikap konsumtif tetap tinggi. Tak terbendung. Lebaran harus meriah, apapun itu. Nafsu memang diam-diam menjadi raja. Sarolangun, kota masa kecil yang banyak kenangan pahit dan manis. Kabupaten baru dengan keadaan masyarakat yang terbuka terhadap kemajuan, kadang juga latah karenanya. Tak apalah, semua proses hingga sampai pada sebuah pandangan hidup yang tidak terpeleset pada kepentingan duniawi semata.
Sabtu (30/04) kami meluncur lagi, 300 Km ke Manna, Bengkulu Selatan. Bertemu emak mertua, nenek anak-anak, sepupu-sepupu mereka. Kali ini lebih banyak. Senyum mereka membawa berkah bahagia tiada tara. Melunaskan semua rindu yang tiada dapat dibayar dengan sekadar video call.
Lebaran, ritual mudik, kembali ke akar, masa kecil, menjemput energi, adalah mimpi kaum urban yang berjuang di kota-kota. Merebah lelah di kampung halaman, yang kadang-kadang juga sudah urbanic melebihi kota-kota. Karakter desa bersahaja kian jauh, industri telah melalapnya dengan rakus. Teknologi informasi masuk ke sendi-sendi paling dalam. Uang adalah raja yang paling semu menggoda untuk membeli setiap cerlang gemilang kebahagiaaan di layar seluler.
Harga TBS jatuh menampar siapapun. Ada yang rugi besar, rugi sedang, rugi kecil. Ada yang menggiring ke ranah spiritual ada yang sekadar persoalan akal; Ekonomi seperti sebuah permainan kalah menang semata. Sementara itu, lebaran adalah kebahagiaan yang harus digelar dengan pesta. Hentikan sejenak perih kehidupan.
Lebaran tiba, jatuh di pinggir pagi yang dingin. Deru ombak mengiringi takbir, tahlil, tahmid, memuja Maha Kuasa. Sebuah pagi yang rindang dengan aroma masakan dan baju baru. Berangkat ke masjid, ke lapangan, untuk shalat. Romantisme berulang, setelah terhenti dua tahun, mudik dilarang, pandemi menghadang.
Mudik, pulang kampung, apalah namanya itu, adalah budaya kaum urban. Setelah merantau menjemput nasib. Berbagai perspektif, dua arus ini telah membawa warna kehidupan anak manusia. Pada sisi lain, ada yang tak merantau atau tetap menetap. Tetap di mana ia tumbuh di situ tumbuh besar.
Dunia begitu cepat berubah. Seiring waktu, jarak dan waktu bisa dipangkas. Informasi begitu cepat terkirim. Barang dapat diukur tiba di suatu tempat. Jarak dan waktu seperti bisa dikuasai, namun bertatap muka secara langsung adalah hal yang belum bisa secara total dibayarkan dengan teknologi. Oleh karenanya, mudik adalah keharusan sosial bagi sebagian orang justru dipandang eksistensi dan aktualisasi bahkan mungkin pelarian dari persoalan.
Lebaran kali ini bersama DKTV yang mempersembahkan sebuah film pendek berjudul Taranti. Selama 24 jam tembus 1.000 viewer. Terima kasih, mahasiswa kreatif. Tetap berkarya, apapun alasannya. Jangan dengarkan pandangan negatif, itu akan selalu ada. Ucapkan terima kasih kepada semua yang telah memberikan apresiasi.
Lebaran kali ini, melibas jalan tol baru. Benar-benar bebas hambatan. Coba kalau semua ada tol, hebat pula terasa. Entah kenapa, rumit sekali membangun jalan toll. Tak sudah-sudah, lalu ada yang masuk penjara karenanya. Wahai nasib.
Lebaran kali ini, tak ada sesi foto bersama anak-anak. Mereka malu. Sudah besar. Cantik. Juga katanya, tidak secure. Nah. Sudah merasa terancam untuk ke ruang publik. Bagus, ada filter tersendiri. Hanya pada waktu2 tertentu posting foto. Aneh, di tengah pesta posting lebaran, kita tak posting. Hebat, selalu berbeda dengan keadaan. Tidak selalu ikut arus. Ini baru keren.
Lebaran kali ini, belum banyak berubah. Macet dimana-mana. Laku berkenderaan tidak berubah walau kenderaan bertambah. Knalpot bising, sein kiri belok kanan, roda dua jalan di tengah, dll. Kemajuan teknologi memang kunci perubahan. Penguasaan teknologi adalah kunci namun moral dan etik di ruang publik harus ditegakkan. Kemajuan teknologi tanpa dibarengi peningkatan pengetahuan dan pengamalan moral dan etik, dunia akan rusuh selalu. Gemuruh caci maki, egoisme, sektarianisme, diperlihatkan orang-orang yang rendah pengamalan moral dan etik. Alih-alih malu, mereka justru bangga melanggar tata krama dan merugikan orang lain.
Ramadhan telah berlalu. Sibuk dengan penyusunan bahan pangkat Lektor Kepala. Proses panjang segera dinant, semoga tak banyak rintangan. Hidup memang susah, harus dilewati untuk senang. Susah senang jalani karena kalau tak dijalani, tetap saja susah. Tetap semangat.
Inilah libur sederhana yang perlu dinikmati. Bersyukurlah. Sejauh ini, sudah memberi arti lebih dari keadaan sebelumnya. Harus ada progres, lebih baik, walaupun sedikit. Ya, 'kan?
Menjadi baik itu harus sukses, sukseskan diri, biar bisa membawa sukses orang lain. Jangan bawa susah ke orang lain. Berjuanglah. Tak ada yang sia-sia. Berjuanglah, sehabis lebaran ini. Ramadhan harus membawa perubahan sikap, tindakan, lebih baik dari sebelumnya. Kalau sama saja, tentu kita gagal menempa diri di bulan ramadhan. Jauhi sikap buruk, benci, ego, dan hal-hal buruk. Kalau masih ada di sekitar kita, berjuanglah mengubah, kalau tak juga berubah tinggalkanlah. Mantun. [Abdullah Khusairi]
No comments:
Post a Comment