Nama-nama seperti Umar bin Khattab, Gandhi, Soekarno, Mandela, dan Roosevelt tidak dikenang karena mereka pandai menyusun laporan tahunan. Mereka dikenang karena mampu membaca tanda-tanda zaman, memilih titik-titik genting dari seratus masalah yang ada, dan mengubahnya menjadi lompatan peradaban. Mereka bukan orang yang hadir sekadar untuk memastikan semua lampu padam pukul sepuluh malam. Mereka hadir justru untuk mematikan beberapa lampu agar cahaya baru bisa dinyalakan dari tempat yang lain.
Kepemimpinan bukanlah jabatan. Bahkan bukan pula peran sosial biasa. Ia adalah panggilan batin yang hanya bisa dijawab oleh orang-orang yang melihat dunia bukan dari catatan absensi, melainkan dari peta sejarah dan arah masa depan. Seorang pemimpin sejati tidak tenggelam dalam pekerjaan rutin. Ia menyentuh yang 20 persen paling genting, paling menentukan, paling bernilai. Selebihnya, 80 persen lainnya, cukup berjalan sebagaimana mestinya. Karena memang, mengatur bukanlah tujuan seorang pemimpin. Membangun arah, itulah yang utama.