Sunday, May 25, 2025

Menjadi Pemimpin

Sejarah tidak pernah menulis para manajer. Ia menulis nama-nama pemimpin.

Nama-nama seperti Umar bin Khattab, Gandhi, Soekarno, Mandela, dan Roosevelt tidak dikenang karena mereka pandai menyusun laporan tahunan. Mereka dikenang karena mampu membaca tanda-tanda zaman, memilih titik-titik genting dari seratus masalah yang ada, dan mengubahnya menjadi lompatan peradaban. Mereka bukan orang yang hadir sekadar untuk memastikan semua lampu padam pukul sepuluh malam. Mereka hadir justru untuk mematikan beberapa lampu agar cahaya baru bisa dinyalakan dari tempat yang lain.

Kepemimpinan bukanlah jabatan. Bahkan bukan pula peran sosial biasa. Ia adalah panggilan batin yang hanya bisa dijawab oleh orang-orang yang melihat dunia bukan dari catatan absensi, melainkan dari peta sejarah dan arah masa depan. Seorang pemimpin sejati tidak tenggelam dalam pekerjaan rutin. Ia menyentuh yang 20 persen paling genting, paling menentukan, paling bernilai. Selebihnya, 80 persen lainnya, cukup berjalan sebagaimana mestinya. Karena memang, mengatur bukanlah tujuan seorang pemimpin. Membangun arah, itulah yang utama.

Seorang manajer akan memastikan semua kursi di rapat tersedia dan air mineral dibagikan merata. Seorang pemimpin akan bertanya: “Mengapa kita masih rapat jika tak ada ide baru yang lahir?” Itulah mengapa sejarah mencatat mereka yang berpikir jauh, bukan mereka yang bekerja dari pagi ke pagi tanpa sempat memikirkan ke mana kapal akan berlayar.

"Jabatan itu hanya status, seperti baju safari yang bisa dipakai siapa saja. Tapi pemimpin, itu tak bisa dibeli, tak bisa diwarisi, dan tak bisa dipalsukan.” Kalimat itu sederhana, tetapi menghantam kita yang gemar memuja simbol, menyembah kursi, dan tak tahu apa yang harus dilakukan begitu kita sudah duduk di atasnya.

Banyak dari kita ingin menjadi pemimpin karena ingin menjadi yang paling didengar. Tapi tidak siap menjadi yang paling mendengar. Kita ingin menjadi yang paling berkuasa, tapi takut berkorban. Kita ingin disambut dengan tepuk tangan, tetapi enggan memikul beban sejarah. Di titik inilah jabatan menjadi hampa: ketika ia direbut, diperebutkan, bahkan dibeli, tetapi tidak untuk membangun apa-apa, selain kebanggaan pribadi yang akan usang bersama kalender tahun depan.

Kekuasaan itu seperti senja. Indah jika dilihat dari kejauhan, muram dan penuh bayangan ketika terlalu dekat. Maka para pemimpin sejati tahu bahwa jabatan bukan mahkota, melainkan lentera. Ia menyala untuk menerangi jalan, bukan untuk menghiasi kepala.

Lihatlah para pemimpin yang membangun peradaban. Mereka hadir bukan untuk menjadi penguasa, tetapi pelopor. Mereka menyelesaikan masalah bukan satu per satu, tapi dengan membongkar akar dari pola pikir lama. Mereka tidak takut menabrak tembok rutinitas jika di baliknya ada dunia yang lebih luas menunggu. Bahkan kadang mereka harus menjadi “gila” lebih dulu, agar generasi sesudahnya punya warisan yang waras.

Di antara 100 persen pekerjaan negara, organisasi, atau institusi, seorang pemimpin tahu bahwa waktu dan tenaganya terbatas. Maka ia akan memilih pekerjaan yang memiliki efek paling panjang. Ia akan turun menyelesaikan krisis yang mengancam arah, bukan mengatur jenis bunga di halaman kantor. Ia akan memelihara ekosistem yang sehat, bukan setiap detail harian yang membuatnya lelah tetapi tak menghasilkan perubahan berarti.

Di sini letak kebijaksanaan seorang pemimpin: menyentuh sedikit tetapi mengubah banyak.

Orang-orang besar memahami hukum ini. Mereka tahu bahwa satu ide yang lahir dari perenungan dan keberanian bisa menggantikan ribuan langkah kecil yang sekadar menjaga status quo. Mereka tidak melawan waktu dengan kerja keras tanpa arah, melainkan dengan kerja cerdas yang membentuk makna.

Sayangnya, di zaman ini, kita sering melihat jabatan berubah menjadi rutinitas, dan rutinitas dijadikan ukuran keberhasilan. Padahal, ada banyak hal yang tetap stagnan meski semua indikator administratif terlihat hijau. Keberhasilan palsu, yang lahir dari rutinitas tanpa terobosan, hanya memperpanjang kemacetan sejarah.

Pemimpin yang tidak membangun arah ibarat nahkoda yang sibuk mengatur tempat duduk, sementara kapal kehilangan kompas.

Apa yang kita butuhkan hari ini bukanlah lebih banyak pejabat, tetapi lebih banyak pemimpin. Bukan yang bisa menyusun jadwal, tapi yang bisa menulis babak baru sejarah. Bukan yang pintar berpresentasi, tapi yang berani mengambil keputusan sulit di saat sunyi. Bukan yang menunggu gaji dan pujian, tapi yang menyalakan api dalam kegelapan dan membiarkan yang lain mengikuti cahaya.

Pemimpin seperti itu memang langka. Tetapi bukan mustahil. Karena setiap zaman melahirkan krisisnya sendiri, dan setiap krisis akan memanggil satu dua orang untuk menjawabnya. Jika kita diam, sejarah akan berjalan tanpa kita. Tetapi jika kita berani melangkah, mungkin—hanya mungkin—kita bisa ikut menuliskannya.

Menjadi pemimpin bukan tentang menjadi hebat. Tapi tentang berbuat di saat orang lain diam. Tentang menghadapi gelombang, bukan sekadar menjaga perahu. Dan tentang mengambil risiko, bukan mencari aman. Karena pada akhirnya, sejarah hanya menyisakan satu pertanyaan penting: setelah kau duduk di kursi itu, apa yang kau bangun?

Dan jawabannya akan terlihat bukan dari pidato atau baliho, tetapi dari jejak peradaban yang kau tinggalkan.

Bukan karena kau pernah menjadi pejabat. Tapi karena kau telah menjadi pemimpin. [] Catatan Hari Minggu, 25.5.2025

No comments:

Post a Comment