Prestasi yang diraih seseorang, siapapun itu akan membanggakan bagi yang menyukai capaian itu. Sebaliknya akan menjadi kebencian bahkan ancaman bagi mereka yang merasakan hal tersebut mengganggu eksistensi mereka. Begitulah hidup yang harus dihadapi, kenyataan yang sulit terelak dalam situasai dan kondisi dimanapun itu.
Hal ini sudah disebutkan dalam teori-teori klasik, yang hingga kini bisa dilihat dalam kehidupan kelompok dimana seseorang di dalamnya sebagai individu.
1. Social Comparison Theory (Leon Festinger, 1954)
Teori ini menjelaskan bahwa individu selalu menilai diri mereka dengan membandingkan diri pada orang lain. Implikasi, prestasi seseorang memicu upward comparison bagi yang lain — mereka merasa terancam atau minder jika posisi sosialnya tergeser. Dalam konteks kelompok, ini melahirkan kecemburuan sosial dan resistensi simbolik terhadap anggota yang lebih menonjol. Kaitannya, Orang yang sukses bisa menjadi ancaman psikologis bagi rekan satu kelompok, terutama jika keberhasilan itu menggeser hierarki informal dalam kelompok.
2. In-Group vs Out-Group Dynamics (Tajfel & Turner, 1979 – Social Identity Theory)
Teori identitas sosial menjelaskan bahwa anggota kelompok cenderung menjaga status dan citra kelompoknya. Jika ada anggota yang terlalu menonjol, kelompok bisa menilai dia sebagai “menyimpang” karena membuat ketidakseimbangan identitas bersama. Hal ini memicu perilaku ingroup policing atau penegakan konformitas. Kaitannya, keberhasilan individu dianggap “mengkhianati” solidaritas kelompok, terutama dalam organisasi yang punya kultur hierarkis atau iri struktural.
3. Groupthink (Irving Janis, 1972)
Dalam kelompok yang sangat kohesif, muncul tekanan untuk berpikir seragam. Prestasi individu yang berbeda arah sering ditolak karena dianggap mengguncang kesatuan. Kecenderungan ini menekan kreativitas, mendorong homogenitas, dan memunculkan “hukuman sosial” bagi anggota yang menonjol. Kaitannya, reaksi negatif terhadap prestasi bisa muncul dari keinginan kelompok menjaga kesepakatan dan menghindari konflik internal.
4. Theory of Power and Threat (Raven & French, 1959; Tedeschi, 1981)
Dalam kelompok politik atau organisasi, kekuasaan adalah sumber stabilitas identitas dan kepentingan. Prestasi orang lain bisa dilihat sebagai ancaman terhadap sumber daya simbolik: status, pengaruh, legitimasi. Karena itu, mereka yang merasa posisinya terganggu akan menolak, memusuhi, atau menghalangi si berprestasi. Kaitannya, ini menjelaskan dimensi politik dari kecemburuan — bukan semata soal perasaan, tetapi soal perebutan ruang eksistensial dalam struktur kekuasaan kelompok.
5. Theory of Envy and Schadenfreude (Smith & Kim, 2007; Van Dijk et al., 2011)
Teori ini menjelaskan dua emosi sosial utama, Envy (iri) muncul ketika orang lain mencapai sesuatu yang kita inginkan tapi tak punya. Schadenfreude muncul ketika kita merasa senang atas kemalangan orang lain yang sebelumnya sukses. Kaitannya, Reaksi kebencian terhadap orang berprestasi merupakan bentuk social envy — ekspresi emosional dari ketimpangan prestasi dalam kelompok sosial.
6. Political Group Communication Perspective (Bales, 1950; Poole, 1983)
Dalam komunikasi kelompok politik, terjadi interaksi antara task-oriented (fokus pada tujuan) dan relationship-oriented (fokus pada kohesi). Ketika prestasi seseorang mengganggu keseimbangan relasi, komunikasi berubah menjadi defensif dan kompetitif. Hal ini membentuk coalition atau factionalism — fenomena umum dalam politik kelompok. Kaitannya, prestasi menjadi isu politik internal: siapa yang dianggap “layak menonjol” dan siapa yang harus “ditundukkan” demi stabilitas kelompok.
“Prestasi individu dalam kelompok sosial dan politik sering memicu reaksi ambivalen — kekaguman bagi sebagian dan ancaman bagi yang lain — akibat proses perbandingan sosial, dinamika identitas kelompok, serta distribusi simbolik kekuasaan dalam sistem komunikasi kelompok.” AK
No comments:
Post a Comment