Sunday, February 11, 2007

POLITIK SASTRA, SASTRA POLITIK

Tidak perlu ada politik sastra. Jika ada, sastra akan ternoda oleh kepentingan. Karena, politik pada dasarnya adalah kepentingan, kepentingan kelompok dan kepentingan kekuasaan. Sementara, sastra adalah sebuah ranah seni yang mengedepan keindahan untuk memanusiakan manusia.
Tak perlu ada politik sastra, jika ada, akan membuat para kreator hanya mengebiri karyanya dan menyampingkan kualitas dan idealitas. Sebab politik adalah kepentingan dan perjuangan kelompok-kelompok. Sudikah kiranya dalam ranah sastra yang hidup dari nurani ternyata digerus oleh kepentingan-kepentingan, mazhab-mazhab dan hegemoni?




Inilah sebuah apresiasi saya, setelah membaca tulisan Zelfeni Wimra, Padang Ekspres Minggu 4 Februari 2007, di bawah judul, Politik Sastra, Perlukah (?).
Menurut saya, sastra tidak perlu masuk wilayah politik. Apalagi politik praktis yang memperebut kesempatan hanya karena kepentingan sesaat (instans). Jika dimaksudkan adalah politik sastra untuk kepentingan sastra dalam mengaliri karya kepada penikmatnya, hal ini bukan politik, tetapi strategi. Dimana, ada kiat-kiat yang tak perlu berpolitik untuk mendapatkannya. Ia hanyalah proses, seperti proses dalam melahirkan karya. Proses yang instans akan melemahkan perjuangan dan nilai yang didapatkan. Ini berbahaya bagi kreator.
Sastra adalah sebuah perjuangan ide yang tak perlu ada nuansa politis. Lihatlah, betapa banyak buku sastra diluncurkan lalu tergeletak tak terbaca, karena memang belum mampu menarik minat dan tidak menghentakkan massa ketika ia lahir. Kecuali hasil kreasi para kreator yang sudah punya nama besar dan menjalankan proses penjang tanpa politik sastra. Mereka hanya menjalankan proses alamiah.
Terlepas dari itu, bisa jadi maksud politik sastra adalah sebuah strategi seorang kreator dalam menyelamatkan kreasinya dan mampu mempengaruhi masyarakat pembacanya, maka patut disebutkan, sastra butuh strategi dalam melanjutkan urusannya sebagai sastra.
Saya sependapat dengan Hamsad Rangkuti, suatu hari ia pernah terangkan hal tersebut. "Penulis urusannya menulis. Bukan urusan penulis soal dimuat atau tidak dimuat di surat kabar, majalah dll. Itu urusan redaktur. Dibukukan atau tidak itu bukan urusan penulis, itu urusan penerbit. Menang atau tidak itu urusan juri." Pada tataran ini, adalah baik dipandang dari sisi penjagaan kualitas dan proses. Karena, kreator tidak terganggu oleh sesuatu dalam melahirkan karya.
Mendengar pendapat demikian, akhirnya saya jadi punya pandangan baru. Dulunya saya sempat berorientasi, menulis harus dimuat di media massa. Dengan mendengar Hamsad Rangkuti, semuanya berubah. Sebagai kreator, yang berkreasi. Tiba masanya ia akan berjodoh dengan penikmat kreasi. Inilah ditanamkan kepada kreator agar tetap pada fungsinya, tidak berubah menjadi politisi sastra, apalagi politisi proyek sastra.
Adalah wajar, apabila ingin diapresiasikan kreator mengikuti lomba, aktif mengirim naskah ke media massa, ke penerbit, ke dewan juri lomba dan terus terus mengintip kesempatan. Hal ini namanya bukan politik, tetapi strategi. Hal yang belum masuk pada wilayah politik. Politik, biasanya akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Apakah sastra direlakan untuk itu, sungguh naif kiranya.
Soal hegemoni kaum tua dan perjuangan kaum muda, saya pikir adalah alamiah. Hanya saja memang, kekuasaan selalu membuat ketidakadilan terhadap yang dikuasainya. Dan hidup tidak akan pernah adil. Oleh karenanya, yang diperlukan adalah strategi dalam menekan kekuasaan.
Saya justru cenderung berpikir ekstrim ---kalau tidak pas disebut arif--- sebuah proses alamiah berjalan tanpa mampu dibendung oleh apa pun. Kreator yang terus menjaga proses dan maju dengan kualitas setiap kreasi yang dilahirkannya tentu akan ada kesempatan bagi dirinya. Yakinlah. Akan tiba masanya, redaktur, penerbit, juri, sedang berkuasa pada saat ini, akan lengser pada waktunya. Agaknya, kita patut kembali mengulang-ulang sajak Chairil Anwar, bila sampai waktuku/ tak seorangpun kumau/ tak juga kau/ tak perlu sedu sedan itu/ aku ini binatang jalan/ dari kumpulan orang terbuang.
Berpijak dari kenyataan dan perjuangan seperti ini, akan tampak, siapa yang telah berjuang dengan berdarah air mata dalam berkarya hingga sampai ia sukses pasaran, laku dan diminati. Agaknya, inilah yang membutuhkan kesabaran.
Suatu hari, Gus Tf Sakai pernah menyatakan, bahwa pekerjaan sesungguhnya, sehari-hari ia tak lebih banyak mengkliping dan membaca dari pada menulis.
"Jangan-jangan pekerjaan saya sebenarnya adalah tukang kliping." Saya mengambil makna begini, menulis kalau ada yang mau ditulis. Kalau ada sesuatu yang baru, dengan kualitas yang terus mengalami kemajuan. Dari sinilah nantinya akan tercapai sebuah mimpi setiap kreator. Artinya, tak perlu ada politik praktis dalam melintasi jagat sastra.
Soal kesempatan, memang amatlah sempit dan rumit. Tetapi, dengan demikian akan terasa betapa besar nilainya, jika sebuah karya telah lolos dari "lobang jarum" perjuangannya. Agaknya, nilai kepuasan kreator tetap ada pada cara berjuangnya, bukan hasil perjuangan. Patah dan kecewa adalah permainan dunia. Justru di situlah segala bentuk penempaan kreator untuk mengasah kualitas. Alangkah indahnya sebuah karya mampu melewati badai penjurian, seleksi editor dan redaktur. Sebaliknya, rasakanlah jika hasil karya itu hanya melewati riak gelombang yang tidak begitu menantang. Tentu saja tak terasa sebuah karya yang diingat sepanjang masa.
Ini juga pernah dikatakan oleh Gus Tf Sakai, "Silahkan, mau ikut pasar atau bertahan dengan cara sendiri." Benar, jika instans tentu saja hasilnya juga instans. Kalau mau bertahan lama, tentu saja resikonya mesti dihadapi. Lamban bertemu dengan muaranya, pasar dan industri. Ya, pasar dan industri memang menggiurkan tetapi apakah itu segalanya? Selain nama besar dan materi yang didapatkan kreator, sastra di tangan kreatorpun menjadi mesin uang. Ah, apakah sastra yang jadi mesin uang bisa bertahan kualitasnya?
Pasar adalah industri, hegemoni adalah politik, sastra adalah media perjuangan dengan seni, mengedepankan keindahan dalam menampilkan fenomena atau imajinasi. Di sinilah persoalan pilihan para kreator. Tetap bertahan pada ranah idealitas atau hanyut dalam ranah pasar? Konsekwensinya sudah tampak. Jika larut dalam pertahanan, ia akan matang dengan cobaan yang harus dihadapi. Sedangkan bila ia hanyut, lama ke lamaan, ada kejenuhan massa untuk menikmati karya dihasilkannya. Bahkan, sering pula disebut karya kacangan.
Saya cenderung berpendapat begini, kedua-duanya adalah pilihan. Tetapi, muara semua hal adalah kepuasan. Kepuasan bathin dan materi yang didapatkan dari bersastra. Tidaklah munafik, bersastra harus mendapatkan materi. Tetapi kata Hamsad Rangkuti, di negeri ini, menulis belum bisa menjadi pertahanan hidup, harus ada pekerjaan penopang. Nah, sudah jelas, persoalan yang dihadapi adalah makro dan diluar kemampuan kreator. Oleh karenanya, alih-alih ingin meningkatkan kualitas sastra, jika sudah berpolitik dulu lalu melahirkan karya sastra, ya alamat biaslah perjuangan dan kualitas sastra yang diusung.
Hidup adalah perjuangan dan persaingan. Termasuk pada jagat sastra. Dan apa jadinya kalau tak ada persaingan kualitas, sementara hal itulah yang menentukan suka atau tidak suka masyarakat sastra dan massa? Apakah kita harus larut dalam pendapat dan kenyataan yang ada; ada tidaknya sastra ia dianggap tidak ada, karena sastra tidaklah sedahsyat banjir dalam menggenangi semua kepala manusia.
Saya masih berpendapat dan memiliki harapan, sastra harus mampu mempengaruhi massa sesuai fungsi yang dijalani sastra. Keindahan dan kemanusiaan yang dibawanya adalah oase ketika industri dan pasar meniadakan kemanusiaan.
Sastra sebuah adalah semua media agar massa mengenal kemanusiaan dan keindahan. Di tengah kehidupan yang makin keras, perjuangan yang makin berat, persaingan makin ketat, agaknya adalah perlu strategi sastra. Tapi, jangan sekali-kali harus mengajak politik dalam bersastra. Atau bersastra dalam politik. Sastra harus menangkap fenomena politik, tetapi tidak diperkuda politik. Salam! []

No comments:

Post a Comment