Bulan Manja dari Ayah

HIKMAH


Bulan Manja dari Ayah


ABDULLAH KHUSAIRI


Alhamdulillah. Kita bertemu lagi di bulan suci Ramadhan. Bulan penuh berkah. Bulan penuh perenungan. Bulan peperangan bathin menahan hawa nafsu. Bulan penuh kasih sayang.


Soal kasih sayang, saya punya pengalaman indah tentang kasih sayang Ayah, yang sebelumnya tak disadari. Hanya tahu, membenci rotan di tangannya. Setelah dewasa, barulah tahu, maksud kasih sayang itu. Ayah yang pendiam, kasih sayangnya sangatlah dalam!


Sekitar tahun 80-an, sebagai seorang bocah Sekolah Dasar (SD), tugas sudah didapatkan dari Ayah, yaitu mengembala sapi dan kambing. Setiap sore, harus dihidupkan api di dalam kandang sapi. Dengan begitu, sapi akan nyaman. Kandang sapi harus bersih, sebelum beberapa ekor sapi itu masuk. Ayah akan inpeksi mendadak (Sidak), sewaktu-waktu. Kalau sempat kandang sapi kotor, kalau api padam, siap-siaplah menghadapi murkanya!


Setelah disapu dan diserakkan abu pembakaran dari kotoran sapi pada perapian khusus di sudut kandang, sapi digiring masuk. Sapi saya jinak di tangan, rajin pula pulang. Sesekali saja punya masalah, jauh pergi mainnya dan tak mau pulang. Saya bisa menangis sendiri, bila ada sapi jantan payah diajak pulang ke kandang. Sapi jantan itu hanya mau pulang ke kandang betinanya, jauh pula.


Kambing. Saya punya juga, berkeliaran tak jauh. Sering beranak kembar. Kandangnya dibuat seperti pondok, agak tinggi. Jauh dari tanah. Kata ayah, kambing rawan kembung. Jadi tak boleh dibiarkan tidur di tanah. Harus di atas, lebih tinggi.


Demikianlah akhirnya bila datang Bulan Suci Ramadhan, saya harus puasa, kata ayah. Agar lancar jaya, latihan puasa itu, saya dibebaskan dari tugas rutin. Tugas rutin hari-hari biasa, sebelum main sepak bola telanjang kaki hingga menjelang maghrib di padang rumput penuh kotoran sapi dan kubangan kerbau itu. Saya bahagia, dibebastugaskan.


Pada hari biasa, mengembala sapi dan kambing, itu keharusan setelah sekolah dan belajar mengaji di surau, sehabis maghrib. Belajar mengaji di surau, juga dengan Ayah. Kata teman saya, rotan di tangan Ayah, lebih pedih dari guru yang lain. Memang. Selain belajar mengaji, juga mengajar santri kelas bawah. Diam-diam, itulah arahan awal yang baru hari ini dapat dimengerti.


Bukan dibebastugaskan saja yang membuat bahagia, bila adzan Asyar tiba terdengar dari radio di sudut ruangan, selesai shalat, ayah mengajak saya ke pasar dengan sepeda kesayangannya. Kenangan itu sangat membekas, karena terjadi berkali-kali. Sampai-sampai, jika hari ini adzan yang persis nadanya serupa di radio itu, saya akan ingat masa kecil dan manja Ayah itu.


Saya akan diboncengi ke pasar, membeli batu es, karena kami belum punya kulkas. Kulkas baru ditemukan di rumah-rumah orang-orang mapan, kala itu. Selain batu es, saya bebas memilih mau beli apa saja, misalnya, minuman kaleng, minuman kotak, juga roti. Walau di rumah, ibu sudah memasak apa yang saya suka. Pokoknya, beli saja, rasanya akan bisa dimakan semua, sehabis berbuka nanti. Boleh juga, sesekali beli mercon dan kembang api, tapi tak boleh dinyalakan waktu shalat tarawih. Kalau itu dilakukan, kiamat kecil akan terjadi pada saya.


Cara ayah memuliakan anak yang puasa, ternyata membekas istimewa. Selain dibebastugaskan, juga diwajibkan shalat tarawih di surau, itu belum cukup, ditambah lagi dengan tadarus. Tadarus, bagi saya terasa monumental. Karena pakai mikrofon, di dengar seantero kampung. Tidak itu saja, akan ada ibu-ibu dan gadis remaja akan mengantar makanan. Bersama teman-teman sebaya, kami akan melahap habis makanan itu.


Begitulah, Bulan Ramadhan di masa kecil itu menjadi kerinduan luar biasa. Puluhan tahun sesudahnya, hari ini, ketika menulis catatan hikmah ini. Pembaca tentu juga punya hal demikian. Kenangan manis jika diingatkan, sungguhpun waktu itu, mungkin saja pahit.


Kini, Ayah telah tiada, 17 tahun lalu, selepas lebaran, ia dipanggil menghadap Ilahi. Pergi untuk selamanya. Meninggalkan saya yang sedang menggarap skripsi. Duh. Begitulah, akhirnya, setiap Ramadhan datang, kerinduan kepada Ayah melebihi hari-hari biasa. Lahu alfatihah! Selalu ada yang menetes dari mata saya. Maka benar, bulan suci Ramadhan perenungan paling canggih bagi setiap jiwa yang ingin memahami arti hidup ini. Selamat menunaikan ibadah puasa! [] dimuat di harian umum independen singgalang, Juli 2015

Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA