Monday, July 18, 2016

Nilai Kejujuran

"Kakak tidak bekerjasama. Tidak mencontek. Hasil usaha sendiri," sedikit manyun gadisku memberi penjelasan. Sebenarnya, ia sedang membanggakan diri, walau sedang takut dengan nada tinggi suara ayah. Ia juga sedang ingin berusaha tegak di kebenaran yang pernah diberikan ayah.


Nilainya sedikit anjlok dari perkiraan. Saya masih bersyukur, nilainya masih rata-rata air dari yang lain. Tetapi dia sepertinya tetap puas, melakukan sendiri. Sebaliknya, saya gelisah setengah mati, karena teman-temannya dapat nilai tinggi dan bisa lolos ke sekolah selanjutnya dengan mulus.
Melalui kajian sedikit serius, mengerut kening, akhirnya gadisku lolos di sebuah sekolah pilihan ketiga. Tak apa. Dia juga nothing to lose, dimanapun sekolah, dia mau. Walau pilihan awal memang tidak mungkin terjadi, karena mesin urut kacang itu sudah bekerja dengan baik.

Catatan saya, Ujian Nasional (UN) akhirnya dapat dikatakan memang bermasalah dari segi penyelenggaraan. Ada ketimpangan yang luar biasa ketika menegakkan nilai-nilai kejujuran. Kebetulan kepala sekolah tempat gadisku sekolah, tak mau memainkan nilai. Ia menjaga integritas moral di atas rata-rata. Tak mau disogok, tak mau main uang. Kalau ada yang mau masuk sekolah tempatnya sedang menjabat, harus sesuai dengan aturan! Tak cukup umur, walau beberapa hari saja tak ada tolerir, tak bisa masuk ke kelas satu.

Sayangnya, dalam pelaksanaan UN pengawas memberi kebebasan luar biasa kepada peserta ujian untuk bekerja sama, asalkan nilai akhirnya bagus. Dampak awal adalah, mereka yang memang di bawah rata-rata bisa punya nilai tinggi dan masuk ke sekolah unggulan. Tidak tahu kita, di sekolah unggulan nanti, apa masih bisa memperbaiki diri.

Gadisku memang memiliki nilai rata-rata yang baik. Jika ia mau ikut arus dalam dua hari itu penuh horror pengawasan itu, tentunya ia bisa juga lebih baik. Bekerja sama dengan teman-temannya. Tetapi dia tidak mau. Dia fokus mengerjakan sendiri. Ini dampak sifat jujur yang ditanamkan.

Ini pengalaman pertama mengurus anak dengan pendaftaran siswa baru (psb) melalui online. Memang tidak ribet, karena memang mesin yang bekerja. Tetapi, jelas, angka-angka yang muncul bukanlah angka hasil kejujuran.
Ini penting dikemukakan, karena memang orientasi pada angka lebih, sangat penting bagi siswa dari pada ilmu dan tindak kejujuran. Sementara, nilai-nilai kejujuran itulah pada dasarnya yang harus ditanamkan.

Wajah kemenangan dari mereka yang punya nilai tinggi sudah tidak tercermin rasa bersalah, rasa puas mereka juga dibarengi dengan rasa puas para guru dan orang tua. Inilah wajah pendidikan yang kita agungkan itu.

Awalnya saya kesal dengan gadis kecilku, tetapi saya tahan saja. Karena memang, dia memang fokus belajar sejak awal kelas enam. Selain kesal, saya akhirnya diam-diam, saya juga menyesal memberi nilai-nilai kejujuran itu, sehingga ia sangat terasa dirugikan dalam situasi sulit dan jamak ini.

Pengalaman hebat, bagi saya. Tiba-tiba ada pertanyaan, kenapa harus menyesal? Bukankah itu baik, agar anak tetap jujur dalam hidupnya. Tapi entahlah, di tengah kehidupan yang membangun cara pikir kian praktis ini, menanam sifat dan sikap jujur menjadi agak terasa lain. Air liur ku terasa pahit sendiri.

Selamat sekolah hari pertama, nak! Ayah bangga... []

No comments:

Post a Comment