CATATAN PENDIDIKAN
Oleh:
Dr. Abdullah Khusairi, MA
Andrea Hirata menulis suasana tegang dan degup
kencang jantung Ikal –tokoh dalam novel— ketika akan menghadapi ujian akhir di
sebuah ruangan yang berumur ratusan tahun. “Inilah altar ilmu yang angker,
mulia dan terhormat,” kata budak Belitong itu dalam dalam salah satu trilogy
novelnya, Laskar Pelangi, Edensor, Sang
Pemimpi.
Ketika akan menulis suasana hati ujian Sidang
Promosi Doktor, narasi di atas mengalir saja. Ingatan kembali kepada sebuah
bacaan yang entah halaman keberapa tetapi sangat jelas; Andrea mendeskripsikan
perasaan mahasiswa sebuah universitas di Sorbonn Prancis itu.
Saya tidak di Prancis, tetapi di Ciputat.
Kuliah di Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah. Sebuah universitas yang memang sudah diperhitungkan di tingkat
Asean. Tak perlu pula berkecil hati, tak sampai ke Sorbonn seperti Ikal. Setiap orang memiliki starting point yang berbeda-beda. Bisa
ke Ciputat, sudah luar biasa, mengingat kesempatan untuk ikut Program Doktor
lewat beasiswa adalah hal yang langka, sulit dan ajaib. Tidak semua bisa ikut.
Baik karena pertimbangkan keluarga, biaya, juga hal-hal lain yang sering
mengganggu.
Anak petani, anak dari keluarga yang biasa-biasa
saja. Ayah yang hanya guru mengaji di malam hari, selalu menyuruh sekolah
tinggi-tinggi. Emak yang bermimpi selalu anaknya sukses melebihi dirinya.
Itulah modal utama dari segala mimpi yang dicapai hingga sampai ke sebuah
podium terhormat itu.
Jalan berliku dan panjang telah dilalui sejak
September 2016 hingga Agustus 2019, atas
Beasiswa Program Doktor dari Ministri of Religion Affair (Mora) Kementerian
Agama Republik Indonesia (RI). Alhamdulillah, jalan ke puncak pendidikan di
Indonesia dapat dicapai sesuai target. Program ini resmi berakhir September
2019. Setelah itu, harus kembali ke kampus. Mengajar, setelah belajar. Dua
tugas yang tak boleh berhenti, belajar dan mengajar.
“Memang tak mudah, jika itu mudah tentu saja
semua orang sudah menjadi doktor.” Ini juga berlaku untuk jadi apapun, termasuk
menjadi seorang tukang pangkas. Harus ada perjuangan untuk tahu, paham,
menguasai, serta kecakapan yang terus dilatih terus menerus. “Bukankah pelaut
ulung diciptakan oleh ombak dan badai?”
Sepanjang waktu dengan berkutat dengan buku dan
jurnal, akhirnya terikatlah satu karya Diskursus
Islam Kontemporer di Media Cetak: Kajian terhadap Radikalisme dalam Artikel
Populer Harian Kompas dan Republika 2013-2017. Pada sidang ujian promosi,
Senin, 15 Juli 2019 pukul 11.55 Wib, selesai diuji dengan raihan nilai 95. Alhamdulillah.
Disaksikan, Emak tercinta, Isteri tersayang, adik, anak-anak tersayang,
teman-teman dan hadirin yang memenuhi auditorium Sekolah Pascasarjana (SPs)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat.
Tak perlu lagi membayar uang kuliah tambahan
setelah beasiswa berakhir. Beasiswa habis, kuliah selesai. Khusus Mora Angkatan
2016, ada beberapa orang teman yang sampai ke podium promosi doktor, Dr. Mahfud
Fauzi, M.Pd, saya, Dr. Moh. Nor Ichwan, Dr. Masyrofah. Bisa jadi nanti akan
menyusul, Komarudin, Roni Paslah, Yuminah, dan seterusnya. Atau mereka akan bayar
SPP satu dua semester, tak masalah dan lazim!
Mereka yang rajin, fokus dan intens
bercengkrama dengan draft disertasi akan segera mencapai podium sakral, yang
kata Andrea Hirata sebagai altar ilmu. Sementara yang tidak, akan terbengkalai
dan mengelak dengan berbagai kesibukan yang menyita. Tergoda dengan berbagai
alasan. Ada yang malas pulang ke home base, ada yang justru dapat kesempatan
mengajar di kampus baru, ada pula lebih memilih mengerjakan proyek yang
mendatangkan uang.
Saya memilih untuk menyelesaikan secara cepat,
lari ke pangkal laras agar tak dikejar oleh peluru dari ujung laras. Maksudnya,
kalau takut ditembak, jangan lari jauh, peluru keluar dari ujung laras akan
mengejar, oleh karena itu larilah ke pangkal laras. Selamat!
Beragam terdengar curhat tentang menulis dan
juga sulit bertemu profesor. Dua hal pokok yang sangat perlu dalam penyelesaian
disertasi, selain remeh temeh yang mengganggu. Intensitas yang tinggi dan
terjalinnya chamistri sangat penting antara kandidat doktor dengan promotor.
Kuncinya, komunikasi yang intens.
Banyak keluhan karena para promotor adalah
tokoh-tokoh penting yang super sibuk, sehingga sulit untuk berjumpa. Di sinilah
perjuangannya, bukan hanya pada saat penulisan disertasi tetapi juga di
hari-hari menjelang pendaftaran wisuda sekalipun juga susah. Di sini diperlukan
keberanian dan kesabaran. Berani meminta waktu dengan bahasa yang sopan sebagai
seorang mahasiswa kepada mahaguru. Rasa malas memang muncul mulai dari sini
sehingga terbengkalai sudah tugas mulia nan suci dari negara. Lalu mencari
kesibukan lain. Padahal, jika sedikit berani, promotor pasti mau menerima dan
mencari waktu untuk kita, karena itu sudah tugasnya. Padatnya agenda kerja,
memang harus dipahami dengan tingkat kesabaran yang tinggi.
Kata Prof. Atho’ Mudzhar, ada banyak factor
dalam menyelesaikan sebuah karya akademik, bukan hanya material penelitian,
namun juga faktor-faktor di luar proses penelitian yang bisa mengganggu fokus
kerja akademik. Mulai dari persoalan keluarga, finansial, hingga suasana hati.
Oleh karenanya, perlu menjaga perencanaan dan menjalankan strategi yang taktis
dan praktis. Disiplin di situ, jangan kemana-mana. Suasana hati juga perlu dijaga, agar tidak tambah galau.
Keluhan lain, sulitnya menuangkan
pikiran-pikiran menjadi kalimat-kalimat yang hebat dalam disertasi. Ini soal
kebiasaan, keterampilan, juga daya juang seperti keberanian dalam berkomunikasi
dengan promotor tadi. Kebiasaan dan keterampilan memang harus diasah. Mereka
yang sehari-hari di depan laptop dapat mengetik dengan baik, biasanya akan
lancar. Apalagi dengan sistem pemahaman “qwerty” yang baik, mengetik dengan 10
jari akan sangat enak melakukannya. Tinggal lagi, isi yang hendak dituangkan.
Soal ini, memang mesti banyak membaca. Banyak membaca, akan berdampak banyak
menulis. Ketika pemahaman sudah matang, maka akan lancarlah pikiran-pikiran
bisa dituangkan.
Di atas semua itu, para kandidat ini bukanlah
orang baru di bidangnya. Hanya saja, fokus yang minim, godaan untuk mengerjakan
hal-hal lain, terutama menyangkut uang, akan datang mengalih perhatian. Belum
lagi ditambah factor-faktor di luar hal yang ditulis, misalnya keluarga, teman
dan masalah lainnya. Pokoknya, menulis itu sederhana namun hal-hal yang
mengitarinyalah yang sering memberatkan. Menjadikannya tidak sesederhana yang
diperkirakan.
Kuliah program doktor tidaklah sulit jika bisa
menjalankan strategi yang telah ditetapkan. Bisa berbeda strategi, asalkan
disiplin menjalankannya. Tidak ada yang bodoh kalau sudah dijenjang ini. Hanya
saja, sering kali ada faktor lain, yang mengganggu dan menggoda. Terutama rasa
malas yang memang belum ditemukan obatnya.
Saya termasuk yang sering tergoda ketika ada
kesempatan yang datang. Tetapi sering kali mundur dengan mengingat pepatah:
“jangan cari peniti justru hilang penokok.” Maksudnya, jangan tergoda dengan
untuk sesuatu yang mungkin mengkilap dan menarik tetapi justru menelantarkan
tujuan utama. Kali ini saya tak banyak tergoda, walau dengan resiko, misalnya,
sering kehabisan uang. Tak apa.
Soal kuliah, meneruskan pendidikan ini, juga
banyak aral. Tak seperti banyak orang. Sekali lagi, memang starting point orang
berbeda-beda. Saya, khususnya lebih memilih jalan yang sedikit melambat karena
kondisi diri. Tamat kuliah s1 tahun 2000, tetapi melanjutkan kuliah s2 tahun
2006. Artinya, ada jeda enam tahun memasuki lorong lain, kerja sebagai orang
media. Menambah pengalaman lapangan yang luar biasa hebat dalam dunia
jurnalistik. Kerja untuk menghidupi keluarga, juga memodali diri untuk kuliah
s2 2006-2008. Jangka waktu 1,8 bisa magister dengan kesibukan kerja di media
masa.
“Seperti dikejar hantu saja,” bersama Dr. Riki
Saputra, MA, yang kini sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
(UMSB), menyelesaikan kuliah, agar tidak membayar uang SPP di semester IV.
Begitu juga jeda dari s2 ke S3. Begitu
tenggelam dengan dunia kampus dan beragam kegiatan sosial kemasyarakatan.
Hingga ada kesempatan pada tahun 2016 ikut mendapatkan beasiswa Mora. Dapat.
Artinya, ada jeda delapan tahun, sejak 2008 baru terealisasi kembali meneruskan
wasiat keramat dari ayah: sekolah
tinggi-tinggi! Pada tahun 2016 dan selesai 2019.
Saya selalu ingin menyatakan, alangkah
bahagianya teman-teman yang bisa merajut langkah akademik sambung menyambung
tanpa jeda. “Tapi minim pengalaman lapangan,” celetuk seorang teman. Ya, paling
tidak, modal akademik itu sudah bisa dibawa ke lapangan.
Saya juga selalu menyayangkan, banyak anak
orang berada justru tidak jalur pendidikan ke jenjang yang memungkinkan. Selain
karena ketidakmauan, ketidaktertarikan, juga karena menganggap pendidikan
menghabis-habis waktu saja. Lebih baik cari uang, didik ayah sendiri dan
langsung bisa on the track meneruskan usaha sang ayah. Itu enak juga, ada
banyak yang begitu, sukses. Ada juga yang sekolah jauh-jauh, lalu revitalisasi
usaha sang ayah, jauh lebih sukses. Lebih merugi lagi, justru ada teman-teman
yang berada, justru terlibat narkoba dan hancur hidupnya berakhir di penjara.
Nauzubillah.
Sebuah perjalanan, sekecil apapun dipandang
oleh orang lain, bagi saya patut dicatat, menjadi bacaan di waktu senggang,
syukur-syukur menjadi motivasi bagi mereka yang sempat membaca. Jika tidak, pun
tak apa-apa.
Begitulah, hingga sampai ke podium keramat yang
diakhiri dengan pengumuman hasil dan hak menyandang gelar doktor, adalah
perjuangan untuk fokus dan intens menyelesaikan program. Memang butuh beberapa
jeda dan pesta tetapi setiap target harus diselesai pada waktunya. Mengubah
strategi bisa terjadi serupa kata, Prof. Dr. Suwito, mungkin segalanya mungkin!
Ternyata, saya bisa melaksanakannya, hingga ke podium itu. []
Luarbiasa. Sebuah perjuangsn yang memgesankan, pak doktor.
ReplyDelete