Wednesday, September 18, 2019

CATATAN PENDIDIKAN


CATATAN PENDIDIKAN
 Jalan Berliku Menuju Podium Itu...
Oleh: 
Dr. Abdullah Khusairi, MA


Andrea Hirata menulis suasana tegang dan degup kencang jantung Ikal –tokoh dalam novel— ketika akan menghadapi ujian akhir di sebuah ruangan yang berumur ratusan tahun. “Inilah altar ilmu yang angker, mulia dan terhormat,” kata budak Belitong itu dalam dalam salah satu trilogy novelnya, Laskar Pelangi, Edensor, Sang Pemimpi.

Ketika akan menulis suasana hati ujian Sidang Promosi Doktor, narasi di atas mengalir saja. Ingatan kembali kepada sebuah bacaan yang entah halaman keberapa tetapi sangat jelas; Andrea mendeskripsikan perasaan mahasiswa sebuah universitas di Sorbonn Prancis itu.
Saya tidak di Prancis, tetapi di Ciputat. Kuliah di Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Sebuah universitas yang memang sudah diperhitungkan di tingkat Asean. Tak perlu pula berkecil hati, tak sampai ke Sorbonn  seperti Ikal. Setiap orang memiliki starting point yang berbeda-beda. Bisa ke Ciputat, sudah luar biasa, mengingat kesempatan untuk ikut Program Doktor lewat beasiswa adalah hal yang langka, sulit dan ajaib. Tidak semua bisa ikut. Baik karena pertimbangkan keluarga, biaya, juga hal-hal lain yang sering mengganggu.

Anak petani, anak dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ayah yang hanya guru mengaji di malam hari, selalu menyuruh sekolah tinggi-tinggi. Emak yang bermimpi selalu anaknya sukses melebihi dirinya. Itulah modal utama dari segala mimpi yang dicapai hingga sampai ke sebuah podium terhormat itu.
Jalan berliku dan panjang telah dilalui sejak September 2016 hingga  Agustus 2019, atas Beasiswa Program Doktor dari Ministri of Religion Affair (Mora) Kementerian Agama Republik Indonesia (RI). Alhamdulillah, jalan ke puncak pendidikan di Indonesia dapat dicapai sesuai target. Program ini resmi berakhir September 2019. Setelah itu, harus kembali ke kampus. Mengajar, setelah belajar. Dua tugas yang tak boleh berhenti, belajar dan mengajar.
“Memang tak mudah, jika itu mudah tentu saja semua orang sudah menjadi doktor.” Ini juga berlaku untuk jadi apapun, termasuk menjadi seorang tukang pangkas. Harus ada perjuangan untuk tahu, paham, menguasai, serta kecakapan yang terus dilatih terus menerus. “Bukankah pelaut ulung diciptakan oleh ombak dan badai?” 
Sepanjang waktu dengan berkutat dengan buku dan jurnal, akhirnya terikatlah satu karya Diskursus Islam Kontemporer di Media Cetak: Kajian terhadap Radikalisme dalam Artikel Populer Harian Kompas dan Republika 2013-2017. Pada sidang ujian promosi, Senin, 15 Juli 2019 pukul 11.55 Wib, selesai diuji dengan raihan nilai 95. Alhamdulillah. Disaksikan, Emak tercinta, Isteri tersayang, adik, anak-anak tersayang, teman-teman dan hadirin yang memenuhi auditorium Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat.
Tak perlu lagi membayar uang kuliah tambahan setelah beasiswa berakhir. Beasiswa habis, kuliah selesai. Khusus Mora Angkatan 2016, ada beberapa orang teman yang sampai ke podium promosi doktor, Dr. Mahfud Fauzi, M.Pd, saya, Dr. Moh. Nor Ichwan, Dr. Masyrofah. Bisa jadi nanti akan menyusul, Komarudin, Roni Paslah, Yuminah, dan seterusnya. Atau mereka akan bayar SPP satu dua semester, tak masalah dan lazim!
Mereka yang rajin, fokus dan intens bercengkrama dengan draft disertasi akan segera mencapai podium sakral, yang kata Andrea Hirata sebagai altar ilmu. Sementara yang tidak, akan terbengkalai dan mengelak dengan berbagai kesibukan yang menyita. Tergoda dengan berbagai alasan. Ada yang malas pulang ke home base, ada yang justru dapat kesempatan mengajar di kampus baru, ada pula lebih memilih mengerjakan proyek yang mendatangkan uang.
Saya memilih untuk menyelesaikan secara cepat, lari ke pangkal laras agar tak dikejar oleh peluru dari ujung laras. Maksudnya, kalau takut ditembak, jangan lari jauh, peluru keluar dari ujung laras akan mengejar, oleh karena itu larilah ke pangkal laras. Selamat!

Beragam terdengar curhat tentang menulis dan juga sulit bertemu profesor. Dua hal pokok yang sangat perlu dalam penyelesaian disertasi, selain remeh temeh yang mengganggu. Intensitas yang tinggi dan terjalinnya chamistri sangat penting antara kandidat doktor dengan promotor. Kuncinya, komunikasi yang intens.

Banyak keluhan karena para promotor adalah tokoh-tokoh penting yang super sibuk, sehingga sulit untuk berjumpa. Di sinilah perjuangannya, bukan hanya pada saat penulisan disertasi tetapi juga di hari-hari menjelang pendaftaran wisuda sekalipun juga susah. Di sini diperlukan keberanian dan kesabaran. Berani meminta waktu dengan bahasa yang sopan sebagai seorang mahasiswa kepada mahaguru. Rasa malas memang muncul mulai dari sini sehingga terbengkalai sudah tugas mulia nan suci dari negara. Lalu mencari kesibukan lain. Padahal, jika sedikit berani, promotor pasti mau menerima dan mencari waktu untuk kita, karena itu sudah tugasnya. Padatnya agenda kerja, memang harus dipahami dengan tingkat kesabaran yang tinggi.

Kata Prof. Atho’ Mudzhar, ada banyak factor dalam menyelesaikan sebuah karya akademik, bukan hanya material penelitian, namun juga faktor-faktor di luar proses penelitian yang bisa mengganggu fokus kerja akademik. Mulai dari persoalan keluarga, finansial, hingga suasana hati. Oleh karenanya, perlu menjaga perencanaan dan menjalankan strategi yang taktis dan praktis. Disiplin di situ, jangan kemana-mana. Suasana hati  juga perlu dijaga, agar tidak tambah galau.

Keluhan lain, sulitnya menuangkan pikiran-pikiran menjadi kalimat-kalimat yang hebat dalam disertasi. Ini soal kebiasaan, keterampilan, juga daya juang seperti keberanian dalam berkomunikasi dengan promotor tadi. Kebiasaan dan keterampilan memang harus diasah. Mereka yang sehari-hari di depan laptop dapat mengetik dengan baik, biasanya akan lancar. Apalagi dengan sistem pemahaman “qwerty” yang baik, mengetik dengan 10 jari akan sangat enak melakukannya. Tinggal lagi, isi yang hendak dituangkan. Soal ini, memang mesti banyak membaca. Banyak membaca, akan berdampak banyak menulis. Ketika pemahaman sudah matang, maka akan lancarlah pikiran-pikiran bisa dituangkan.

Di atas semua itu, para kandidat ini bukanlah orang baru di bidangnya. Hanya saja, fokus yang minim, godaan untuk mengerjakan hal-hal lain, terutama menyangkut uang, akan datang mengalih perhatian. Belum lagi ditambah factor-faktor di luar hal yang ditulis, misalnya keluarga, teman dan masalah lainnya. Pokoknya, menulis itu sederhana namun hal-hal yang mengitarinyalah yang sering memberatkan. Menjadikannya tidak sesederhana yang diperkirakan.
Kuliah program doktor tidaklah sulit jika bisa menjalankan strategi yang telah ditetapkan. Bisa berbeda strategi, asalkan disiplin menjalankannya. Tidak ada yang bodoh kalau sudah dijenjang ini. Hanya saja, sering kali ada faktor lain, yang mengganggu dan menggoda. Terutama rasa malas yang memang belum ditemukan obatnya.

Saya termasuk yang sering tergoda ketika ada kesempatan yang datang. Tetapi sering kali mundur dengan mengingat pepatah: “jangan cari peniti justru hilang penokok.” Maksudnya, jangan tergoda dengan untuk sesuatu yang mungkin mengkilap dan menarik tetapi justru menelantarkan tujuan utama. Kali ini saya tak banyak tergoda, walau dengan resiko, misalnya, sering kehabisan uang. Tak apa.

Soal kuliah, meneruskan pendidikan ini, juga banyak aral. Tak seperti banyak orang. Sekali lagi, memang starting point orang berbeda-beda. Saya, khususnya lebih memilih jalan yang sedikit melambat karena kondisi diri. Tamat kuliah s1 tahun 2000, tetapi melanjutkan kuliah s2 tahun 2006. Artinya, ada jeda enam tahun memasuki lorong lain, kerja sebagai orang media. Menambah pengalaman lapangan yang luar biasa hebat dalam dunia jurnalistik. Kerja untuk menghidupi keluarga, juga memodali diri untuk kuliah s2 2006-2008. Jangka waktu 1,8 bisa magister dengan kesibukan kerja di media masa.

“Seperti dikejar hantu saja,” bersama Dr. Riki Saputra, MA, yang kini sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB), menyelesaikan kuliah, agar tidak membayar uang SPP di semester IV.

Begitu juga jeda dari s2 ke S3. Begitu tenggelam dengan dunia kampus dan beragam kegiatan sosial kemasyarakatan. Hingga ada kesempatan pada tahun 2016 ikut mendapatkan beasiswa Mora. Dapat. Artinya, ada jeda delapan tahun, sejak 2008 baru terealisasi kembali meneruskan wasiat keramat dari ayah: sekolah tinggi-tinggi! Pada tahun 2016 dan selesai 2019.

Saya selalu ingin menyatakan, alangkah bahagianya teman-teman yang bisa merajut langkah akademik sambung menyambung tanpa jeda. “Tapi minim pengalaman lapangan,” celetuk seorang teman. Ya, paling tidak, modal akademik itu sudah bisa dibawa ke lapangan.
Saya juga selalu menyayangkan, banyak anak orang berada justru tidak jalur pendidikan ke jenjang yang memungkinkan. Selain karena ketidakmauan, ketidaktertarikan, juga karena menganggap pendidikan menghabis-habis waktu saja. Lebih baik cari uang, didik ayah sendiri dan langsung bisa on the track meneruskan usaha sang ayah. Itu enak juga, ada banyak yang begitu, sukses. Ada juga yang sekolah jauh-jauh, lalu revitalisasi usaha sang ayah, jauh lebih sukses. Lebih merugi lagi, justru ada teman-teman yang berada, justru terlibat narkoba dan hancur hidupnya berakhir di penjara. Nauzubillah.

Sebuah perjalanan, sekecil apapun dipandang oleh orang lain, bagi saya patut dicatat, menjadi bacaan di waktu senggang, syukur-syukur menjadi motivasi bagi mereka yang sempat membaca. Jika tidak, pun tak apa-apa.

Begitulah, hingga sampai ke podium keramat yang diakhiri dengan pengumuman hasil dan hak menyandang gelar doktor, adalah perjuangan untuk fokus dan intens menyelesaikan program. Memang butuh beberapa jeda dan pesta tetapi setiap target harus diselesai pada waktunya. Mengubah strategi bisa terjadi serupa kata, Prof. Dr. Suwito, mungkin segalanya mungkin! Ternyata, saya bisa melaksanakannya, hingga ke podium itu. []

1 comment:

  1. Luarbiasa. Sebuah perjuangsn yang memgesankan, pak doktor.

    ReplyDelete