Tuesday, September 1, 2020

Catatan Malam

Mengukur Bayang-Bayang


Pernahkah lihat meme tentang mahasiswi berpakaian modis dengan suasana kota kontra orang tua mereka di sawah? Pernahkah lihat meme orang kaya di dunia berpakaian sederhana dibarengi dengan foto orang yang mengaku kaya dengan pakaian supermewah? Bila pernah, apakah komentarmu? 

Jawabannya banyak. Sebab pertanyaan terakhir memiliki kebebasan probabilitas. Pertama, ada yang menjawab suka-suka merekalah. Kedua, itu hak mereka. Ketiga, orang bebas melakukan apapun. Keempat, orang kaya biasanya tak hendak mengedepankan harta di samping dia juga berhak mengedepankannya. Kelima, orang kaya baru minta diakui sebagai orang kaya, kayak orang-orang kaya yang lain. Keenam, ada memang orang yang tak begitu kaya merasa sok kaya. Ketujuh, ada pula yang orang miskin menutupi kemiskinan. Kedelapan, jawaban yang paling mungkin yang merasa sok kaya biasanya tidak kaya dan cenderung tak tahu diri. Kesembilan, orang kaya menutupi kekayaannya. Kesepuluh, orang miskin dan mungkin juga kaum menengah, harus banyak tahu diri. 

"Menang di gaya kalah di nasib." 

"Rancak di labuh." 

Terserah jawabannya, yang jelas siapa dan apapun itu, pelajaran penting yang patut diambil dari meme tersebut, keberagamaan kurenah orang harus dihargai. Asal jangan menghina satu sama lain. Itu penting. Soal orang tak tahu diri, seperti yang hendak pembuat meme maksudkan, memang harusnya menjadi peringatan bagi siapapun. Bahwa hidup tak boleh lupa diri. Hidup harus mengenal diri agar mengenal tuhan. 

Ada orang di sekeliling kita yang membanggakan penampilan fisik, pakaian, harta, ada juga yang membanggakan bapaknya, jabatannya, juga isi otaknya. Orang harus punya kebanggaan, agar diakui. Tetapi yang tak boleh, mungkin ini penting, tak boleh berlebihan. Atau ingin lebih sedikit maju dari orang lain. 

Saya termasuk yang risih soal bangga membanggakan ini. Maklum bukan orang berpunya. Tetapi kadang-kadang kita dipaksakan untuk seperti itu, alangkah baiknya minggir dan menepi. Ketika ada yang sibuk menyatakan kehebatannya, harap dipuji, biar dia tidak sakit. 

Ketika booming media sosial memasuki daerah-daerah seiring dengan smartphone murah, kian menjadi risih melihat perlakuan orang-orang yang baru bersmartphone. Ada yang tiap sebentar menggelar acara ulang tahun, saban hari upload foto, penting tidak penting. Selfie sana-sini. Hingga sampai orang menyebutnya elit dan lebih dari yang lain. Itulah kepuasan awal dari orang-orang seperti ini. 

Itu mungkin kita. Sebagai generasi pertama sejak musim freindster hingga kini, pengalaman menunjukkan, bisa jadi ini adalah gejala yang pernah dirasakan oleh setiap orang kali pertama. Ingin tampil di media sosial. Seiring waktu, ada reda dan jenuh sendiri. 

Jadi ingat waktu kuliah 90an, ada banyak teman anak-anak orang kaya yang baju branded. Saya kagum tetapi tak salut. Sebab itu uang bapaknya. Saya orang tak berpunya, yang punya alasan kuat untuk salut dan kagum dengan barang mahal. Tetapi saya tak mau ikut-ikutan, selain tak punya uang juga tidak terasa keren. Entah mengapa. Mungkin saya sedikit mengambil jalan beda untuk mengaktualisasi diri. Ada cerita, mereka yang banyak pakai baju branded itu tidak mampu bicara lancar di depan kelas. Lagaknya bukan main. 

Kini itu juga sedang berlangsung. Sering ada baju seragam, dulu saat jadi aktivis sangat benci dengan keseragaman. Berlomba-lomba beli baju mahal juga masih terjadi, begitu juga barang-barang lain. Ini jenis materialisme yang membodohkan, memaksa diri dan termasuk tidak percaya diri. Tak percaya diri kalau memakai barang murah. Padahal, barang murah belum tentu jelek. Sebab ada kepatutan dalam memakai. 

Ada yang memaksa diri pakai barang mahal, sekalipun sangat tidak sesuai. Kadang-kadang kita kasihan dengan hal serupa ini. Tetapi begitulah kehidupan. Orang bisa diperbudak oleh imajinasi sendiri yang kadang-kadang tak mengukur bayang-bayang. []

No comments:

Post a Comment