Empat Faktor Penyebab Adanya 5 Perbedaan 1 Ramadhan di Sumbar


RANAHBERITA--Di Sumatera Barat (Sumbar), egaliterisme tak hanya hidup di ruang-ruang yang sifatnya interaktif dan komunikatif, tapi juga mengalir di ruang spritualitas. Indikator ini terlihat takkala memasuki bulan suci Ramadhan, dimana berbagai macam aliran dalam Islam diberi ruang untuk menentukan awal penanggalan Ramadhan.

Ramadhan 1434 Hijriah ini, ada 5 penanggalan awal puasa yang ditetapkan oleh berbagai organisasi Islam, tarekat tertentu, dan juga otoritas pemerintah. Tarekat Naqsyabandiyyah mencuri perhatian terlebih dahulu karena mencuri star puasa kali ini. Tarekat yang berbasis di daerah Pauh dan Lubuk Kilangan, Padang ini, mengawali puasa pada 7 Juli 2013, tiga hari lebih cepat dari ketetapan pemerintah.


Berselang sehari kemudian, Tarekat Saman di Kelurahan Koto Panjang, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, juga memulai puasa. Buya Safar, pimpinan tarekat tersebut beralasan, penetapan penanggalan puasa berpedoman pada kalender hijriah dan ada hitungannya menurut guru-guru terdahulu.


Lalu, tanggal 9 Juli secara serentak, salah satu organisasi Islam terbesar di tanah air, Muhammadiyah menetapkan puasa untuk massanya.  Organisasi Islam lain semisal Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) juga menetapkan awal puasa di tanggal yang sama.


Sementara pemerintah, lewat Kementerian Agama, setelah melakukan sidang Isbat yang dihadiri oleh berbagai organisasi Islam, ahli astronomi, dan ilmu Falakh, menetapkan awal puasa tanggal 10 Juli kemarin.


Terakhir, penetapan awal puasa di Sumbar, ditutup oleh aliran Tarekat Sattariyah. Tarekat yang berpusat di Ulakan, Padang Pariaman ini, baru menjalani puasa kemarin, Kamis (11/7/2013). Keputusan itu diambil setelah melihat hilal dari Pantai Ulakan di Pariaman Rabu (10/7/2013) senja.


"Tadi sore kita telah melihat bulan (hilal). Bulan tampak pada pukul 18.15 WIB," kata Tuanku Ali Imran, salah seorang ulama Tarekat Sattariyah kepada ranahberita.com

Melihat banyaknya versi penanggalan awal puasa Ramadhan di Sumatera Barat, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Syamsul Bahri Khatib kepada ranahberita.com, Kamis (11/7/2013), mengatakan, itu suatu hal yang biasa, tapi yang penting berbeda dalam kesatuan.


Menurutnya, ada empat faktor penyebab perbedaan penetapan penanggalan ini yakni sebagai berikut, pertama, perbedaan penghitungan untuk jatuhnya awal Ramadhan. “Bila berbeda cara penghitungan, beda hasilnya. Kebenaran sukar kita mengukurnya,” ucap Buya Syamsul.


Dalam hal ini, yang benar menurutnya adalah sepanjang penghitungan tersebut berpedoman pada Alquran dan Hadist. “Melihat kepada sejarah Islam, perbedaan itu biasa. Kita tahu, mazhab saja ada 5,” tukasnya.


Kedua, dasar berpegangan. Selain Alquran dan Hadist, penghitungan berpegangan pada metode ilmu hisab dan rukyat. Hisab adalah penghitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dan menentukan dimulainya awal bulan di kalender Hijriah.


Sementara rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, penampakan bulan sabit setelah terjadinya ijtimak. Pengamatan dengan metode ini dilakukan dengan mata telantang atau dengan alat bantu optik, setelah matahari terbenam.


“Tiap aliran dalam Islam ada hitungan dengan pegangan yang berbeda,” katanya.


Ketiga, cara memahami atau menafsirkan ayat Alquran, dan juga hadist. Menurutnya, ayat Alquran yang menjelaskan soal memandang bulan antara lain di Surat Al-Baqarah ayat 185. Sementara hadist yang bicara soal rukyat cukup banyak.


Antara lain, Hadist Riwayat (HR) Muslim ada 13 jumlah hadist, dan HR Al Bukhari ada 14 hadist yang bisa dipedomani.


“Yang penting perbedaan ini harus diketahui seluruh umat. Jadi jangan ada salah menyalahkan orang lain,” ujar Buya.


Keempat, kedalaman ilmu tentang rukyat. Hal ini menurut Buya, juga bisa dipengaruhi oleh faktor geografis.


“Dahulu di dalam Ilmu Fiqih diperhitungkan tempat terbit matahari. Kalau berbeda tempat melihat terbitnya, berbeda cara pemahamannya,” imbuhnya.


Perbedaaan ini, dikatakan Buya Syamsul, kalau dari perspektif kesultanan (pemimpin), pemerintah boleh memaksakan. Tapi harus diingat, cetusnya, agama memberi kelapangan untuk berpikir dan berbuat.


Melihat perbedaaan penetapan puasa ini, akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang, Abdullah Khusairi mengatakan, masing-masing kelompok berbeda kebijakan sebagai bentuk menunjukan eksistensi.


“Jadi kecurigaan pada perbedaan penetapan itu bukan hanya pada persoalan spritualitas, tapi juga organisasi,” pungkasnya. (Chende) sumber: www.ranahminang.com Jumat, 12 Juli 2013 11:49 WIB

Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA