Tanggapi Isu Siloam dengan Nalar yang Jernih
Saat ini, rencana pendirian rumah sakit Siloam yang mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat Minang di Sumbar, terutama Padang, masih menjadi topik yang hangat dibicarakan. Berbagai isu muncul dalam pembicaraan tersebut, mulai dari kemungkinan adanya misi kristenisasi di balik pendirian rumah sakit tersebut, hingga sekadar persaingan antar pebisnis yang kemudian memunculkan berbagai isu provokatif.
Persoalan ini diangkatkan dalam diskusi menjalin aspirasi masyarakat (Asmara) bersama Abel Tasman dengan tema “Menafsir Misi Siloam di Balik Investasi”, di Sarangidea, Sarang Gagak, Lubuk Lintah, Padang, Sabtu (29/6) malam.
Abel mengatakan, saat ini masing-masing pihak yang pro-kontra terhadap pendirian rumah sakit Siloam milik James Riady masih adu argumentasi. Untuk itu, setiap individu dituntut agar jernih melihat persoalan tersebut dari berbagai segi.
“Saat ini, sebagian besar generasi kita masih mengalami kemampuan berfikir sangat rendah. Mereka masih menggunakan logika awam, sehingga efek yang ditimbulkan adalah sikap mudah reaktif ketika berhadapan dengan suatu persoalan. Padahal dalam Islam kita diajarkan agar jangan terlalu cepat membenci ataupun mencintai sesuatu, karena belum tentu apa yang kita benci itu buruk bagi kita, begitu juga sebaliknya, mencintai sesuatu yang belum tentu baik bagi kita,” ungkapnya di hadapan puluhan mahasiswa, dosen, serta aktivis dari berbagai organisasi yang hadir malam itu.
Dalam diskusi tersebut, salah seorang peserta diskusi, Nofel Nofriadi, menyinggung isu megathrust yang selama ini dibesar-besarkan seakan menginginkan warga yang mendiami garis pantai untuk eksodus. Kemudian realita yang terjadi malah bertumbuhnya bisnis di sepanjang pantai, termasuk rencana pendirian Rumah Sakit Siloam.
Terkait isu misionaris, Nofel memaparkan, selama ini tidak pernah ada kasus orang Islam yang berobat ke rumah sakit milik Kristen, yang kemudian membuat mereka pindah agama.
“Kita tidak punya data yang menyatakan adanya konversi agama oleh rumah sakit Kristen terhadap orang Islam yang berobat kesana. Menurut saya, ini sama halnya dengan para bisnismen yang ‘menjual’ agama, untuk kepentingan bisnis mereka,” ungkap Dosen Fakultas ADAB IAIN Imam Bonjol Padang ini.
Hal senada juga disampaikan Abdullah Khusairi, yang menyatakan memilih abstain dalam hal setuju atau tidaknya atas pendirian Rumah Sakit Siloam. Ia menilai, dalam hal investasi tidak mungkin digunakan pendekatan aqidah. Lagipula, mereka yang menyatakan tidak setuju ternyata ada pula kepentingan bisnisnya.
“Kita memang mesti berhati-hati. Tapi, kalaupun ada rumah sakit itu, belum tentu juga orang Islam akan berobat kesitu semuanya, apalagi diketahui biaya berobat di rumah sakit tersebut cukup mahal,” ujarnya.
Perspektif berbeda disampaikan Zelfeni Wimra, yang menilai adanya konteks kompetisi serta perang budaya di balik persoalan tersebut. Menurutnya, dengan adanya rumah sakit Siloam yang terkenal dengan pelayanannya yang baik, akan menjadi motivasi bagi rumah sakit Islam untuk memperbaiki manajemen. Jika memang terjadi kristenisasi, ia yakin orang Islam di Sumbar pasti akan melawan.
Sementara itu, Tokoh Muda Magistra Nuzul Iskandar mengatakan, pendirian Rumah Sakit Siloam tak lain adalah karena alasan bisnis. Kalaupun ada penolakan dengan alasan dikhawatirkan adanya isu kristenisasi, ataupun disebabkan pemilik Siloam tersebut adalah penganut kristen, maka tidak tertutup kemungkinan akan ada pula penolakan-penolakan berikutnya ketika muslim minoritas ingin mendirikan bangunan, misalnya masjid, di daerah yang mayoritas penduduknya beragama kristen.
“Ini adalah logika terbalik jika yang terjadi adalah sebaliknya, lalu bagaimana jika seandainya si pemilik Siloam ini masuk Islam, apakah yang tadinya menolak akan beramai-ramai mendukung? Jika memang ini alasan penolakannya, toh Matahari yang sudah lama berdiri di Padang ini juga punya Lippo Group, apakah ada kasus setelah orang Islam mengunjungi tempat tersebut kemudian otomatis pindah agama? Tidak pernah ada kasus demikian,” ungkapnya.
Melihat dari sisi kultur masyarakat Minangkabau yang sejak kecil telah ditanamkan nilai-nilai agama Islam, Debi Virnando mengatakan, mestinya ada sikap optimis terhadap keimanan masyarakat Sumbar, jika memang yang dikhawatirkan adalah adanya misi kristenisasi di balik investasi tersebut.
“Sebetulnya, dari segi kultur, masyarakat Minang sejak dini telah ditanamkan nilai-nilai Islam, pendidikan surau, dan lain sebagainya, kalaupun ternyata memang ada misi kristenisasi dan masyarakat terpengaruh, berarti bukan Siloamnya yang hebat, akan tetapi kita yang lemah,” ungkapnya.
Ditambahkan, dilihat dari persoalan bisnis, pada umumnya para pebisnis di kawasan Pondok adalah non muslim. Akan tetapi, selama ini masyarakat Islam yang berlanja di kawasan tersebut tetap berbelanja dengan nyaman tanpa terusik aqidah mereka, terangnya.
Sebagai kesimpulan, Abel menekankan agar dalam menanggapi suatu persoalan, mesti dengan nalar yang jernih, dan kegiatan diskusi merupakan salah satu sarana mengasah nalar agar makin maksimal, terutama dalam melihat dan menilai suatu persoalan. (Yeni) sumber : padangmedia.com
No comments:
Post a Comment