Sekali Seminggu, 1 Jurnalis jadi Korban
Buku Melawan Ancaman Kekerasan Dibedah
Padang, Padek—Kekerasan pada jurnalis masih membayangi profesi jurnalis di Indonesia. Boleh dikatakan, sejak 17 tahun terakhir, setiap enam hari sekali ada satu jurnalis yang jadi korban kekerasan.
Kasus kekerasan tersebut terus meningkat, bahkan ketika setelah Undang-Undang Pers disahkan. Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, terdapat 967 kasus kekerasan pada jurnalis di Indonesia.
“Artinya, setiap tahun ada 57 jurnalis yang kena kekerasan. Dengan kata lain, setiap enam hari sekali atau seminggu ada satu jurnalis yang jadi korban,” kata Ketua AJI Padang Hendra Makmur dalam acara bedah buku dan launching buku “Melawan Ancaman Kekerasan” di Kampus Universitas Bung Hatta (UBH) Ulakkarang, kemarin (1/7).
Menurutnya, ancaman terhadap kebebasan pers dapat dilihat dalam tiga aspek. Pertama, tingginya tingkat kekerasan fisik dan nonfisik pada jurnalis. Kedua, masih adanya kriminalisasi dan gugatan hukum terhadap karya jurnalistik. Ketiga banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengancam kebebasan pers.
Sementara itu, salah satu narasumber bedah buku Melawan Ancaman Kekerasan, R Kristiawan mengatakan, kekerasan terhadap jurnalis cenderung naik, apalagi menuju pemilu. Dalam analisisnya, dia menyatakan, pada masa Orde Baru (Soeharto) terjadi represi negara terhadap perusahaan media. Berbeda dengan era Reformasi, yang terjadi adalah represi politik. Hari ini, katanya, terkadang yang muncul itu represi negara dan terkadang represi ekonomi. Industrialisasi pers mengarah pada determinan ekonomi.
“Ironisnya, kemerdekaan dan perserikatan pers menurun, kesejahteraan boleh dikatakan rata-rata, kalau bukan dikatakan rendah. Anehnya, penghasilan belanja iklan terus naik. Tahun 2011 mencapai Rp 90 triliun dan kue ini yang dibagi oleh perusahaan media,” kata Program Manager for Media & Information TiFA ini.
Kristiawan mengatakan, selama perusahaan pers belum memperhatikan kesejahteraan awak jurnalisnya, dengan sendirinya memberi peluang pada jurnalis menerima “amplop” dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Dalam paparannya, dia mengapresiasi keberhasilan jurnalis Padang dalam mengadvokasi kasus kekerasan aparat beberapa waktu lalu. “Ini jarang terjadi di Indonesia. Buku ini juga mencatat sejarah itu. Karena itu harus disebarluaskan dan didokumentasikan. Buku ini jadi dokumentasi, bagaimana masyarakat memperjuangkan dan menjaga haknya,” kata R Kristiawan.
Di sisi lain, pembicara lainnya, Abdullah Khusairi berpendapat, harus ada kesadaran internal media. Tanpa itu, akan muncul penumpang gelap demokrasi dalam trias politika. “Sangat disayangkan jika keempatnya selingkuh. Kompletlah kesepahaman dan kemesraan keempat pilar ini. Seperti bahasan awal tadi, muncul penumpang gelap demokrasi sehingga terjadi liberalisasi media,” ujarnya.
Partisipasi kritikan juga dilontarkan peserta. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar, Khalid Saifullah mengatakan, berbicara ancaman berarti bicara potensi yang akan terjadi. Kata “melawan”, berarti menyinggung bagaimana strategi pencegahannya. Seperti halaman delapan kalau saya tidak salah. Dan, kekerasan nonfisik, menurut saya termasuk juga upah yang tidak layak bagi wartawan. Ini ancaman juga walaupun mungkin secara psikologis,” paparnya. (cr1/cr4)
No comments:
Post a Comment