Wednesday, July 3, 2013

Sekali Seminggu, 1 Jurnalis jadi Korban

Buku Melawan Ancaman Kekerasan Dibedah


02072013114719157720Padang, Padek—Kekerasan pada jurnalis masih membayangi profesi jurnalis di Indonesia. Boleh dikatakan, sejak 17 tahun terakhir, setiap enam hari sekali ada satu jurnalis yang jadi korban kekerasan.

Kasus kekerasan tersebut terus meningkat, bahkan ketika setelah Undang-Undang Pers disahkan. Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, terdapat 967 kasus kekerasan pada jurnalis di Indonesia.

“Artinya, setiap tahun ada 57 jurnalis yang kena kekera­san. Dengan kata lain, setiap enam hari sekali atau seming­gu ada satu jurnalis yang jadi korban,” kata Ketua AJI Pa­dang Hendra Makmur dalam acara bedah buku dan launching buku “Melawan Ancaman Kekerasan” di Kampus Universitas Bung Hatta (UBH) Ulak­karang, kemarin (1/7).
Menurutnya, ancaman ter­ha­dap kebebasan pers dapat dilihat dalam tiga aspek. Perta­ma, tingginya tingkat keke­rasan fisik dan nonfisik pada jurnalis. Kedua, masih adanya kriminalisasi dan gugatan hu­kum terhadap karya jurna­listik. Ketiga banyaknya pera­turan perundang-undangan yang mengancam kebebasan pers.



Sementara itu, salah satu narasumber bedah buku Mela­wan Ancaman Kekerasan, R Kristiawan mengatakan, keke­ra­san terhadap jurnalis cen­derung naik, apalagi menuju pemilu. Dalam analisisnya, dia menyatakan, pada masa Orde Baru (Soeharto) terjadi represi negara terhadap perusahaan media. Berbeda dengan era Reformasi, yang terjadi adalah represi politik. Hari ini, kata­nya, terkadang yang muncul itu represi negara dan terka­dang represi ekonomi. Indus­trialisasi pers mengarah pada determinan ekonomi.



“Ironisnya, kemerdekaan dan perserikatan pers menu­run, kesejahteraan boleh dika­takan rata-rata, kalau bukan dikatakan rendah. Anehnya, penghasilan belanja iklan terus naik. Tahun 2011 mencapai Rp 90 triliun dan kue ini yang dibagi oleh perusahaan media,” kata Program Manager for Media & Information TiFA ini.

Kristiawan mengatakan, selama perusahaan pers belum memperhatikan kesejahteraan awak jurnalisnya, dengan sen­di­rinya memberi peluang pada jurnalis menerima “amplop” dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Dalam paparannya, dia mengapresiasi keberhasilan jurnalis Padang dalam meng­advokasi kasus kekerasan apa­rat beberapa waktu lalu. “Ini jarang terjadi di Indonesia. Buku ini juga mencatat sejarah itu. Karena itu harus disebar­luaskan dan didokumen­tasi­kan. Buku ini jadi dokumen­tasi, bagaimana masyarakat memperjuangkan dan men­ja­ga haknya,” kata R Kristiawan.

Di sisi lain, pembicara lain­nya, Abdullah Khusairi ber­pen­dapat, harus ada kesadaran internal media. Tanpa itu, akan muncul penumpang gelap de­mok­rasi dalam trias politika. “Sa­ngat disayangkan jika k­e­em­patnya selingkuh. Kom­plet­lah kesepahaman dan kemes­raan keempat pilar ini. Seperti bahasan awal tadi, muncul penumpang gelap demokrasi sehingga terjadi liberalisasi media,” ujarnya.

Partisipasi kritikan juga dilontarkan peserta. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar, Khalid Saifullah mengatakan, ber­bicara ancaman berarti bicara potensi yang akan terjadi. Kata “melawan”, berarti me­nying­gung bagaimana strategi pen­cegahannya. Seperti halaman delapan kalau saya tidak salah. Dan, kekerasan nonfisik, me­nu­rut saya termasuk juga upah yang tidak layak bagi warta­wan. Ini ancaman juga walau­pun mungkin secara psiko­logis,” paparnya. (cr1/cr4)

No comments:

Post a Comment