Friday, December 27, 2013

PRO SUMBAR

Tradisi Menulis Berganti Pidato, Memandulkan Pemikiran


Peluncuran Buku “Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau (1859-1945)”


Tradisi berpidato memandulkan pemikiran. Padahal, bahasa tulis dan pers menjadi peranti komunikasi dari masa ke masa. Layaknya kanvas yang menampilkan mozaik situasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang membungkus keseharian orang di zamannya.

Sejarah mencatat, per­golakan pemikiran yang ber­gumul di periode awal pe­nerbitan surat ka­bar di Mi­nangkabau, turut me­nyum­­bangkan kemer­deka­an bagi Republik Indonesia. Demikian ter­ungkap da­lam Book Laun­ching and Talkshow ber­tema “Se­­jarah Perkem­bangan Pers Minang­kabau 1859-1945” karya Yu­li­an­dre Dar­wis di Fakultas Kedokteran Unand, Li­mau­manis, Padang, ke­marin (23/12).Diskusi dan bedah buku itu menghadirkan CEO Pa­dang Ekspres Sutan Zaili Asril dan Pemimpin Redaksi Singgalang Khairul Jasmi, yang dipandu Sekretaris PWI Padang Eko Yance.


Era penjajahan Belanda di Indonesia memakan garis masa yang sangat panjang. Sampai-sampai pergumulan antar dua etnis ini melahirkan ras baru yang dikenal dengan istilah kaum Indo (campuran Belanda-Indonesia). Meski sedarah, butuh waktu untuk menyatukannya dengan pen­duduk asli, terkhusus masya­rakat Minangkabau.

Surat kabar Pelita Ketjil, po­tret kerja sama pertama orang­ Indo dengan Minang­ka­bau. Kerja sama ini pula, yang menjadi ciri lain dari su­rat kabar periode pertama. Ber­­lanjut hingga ratusan se­na­rai surat kabar dan majalah Me­layu di Sumbar terbit da­lam ku­run tahun 1900 hingga 1942.

“Dahulu, semuanya me­nu­lis. Cendikiawan menulis, pemikir menulis, ulama me­nu­lis. Ketika hari ini pemikir tidak menulis, mampukah dia menuangkan pemikirannya?” kata Sutan Zaili Asril.


Dia juga menyentil, ma­sya­rakat hari ini lebih tertarik untuk menjadi pejabat dari­pada penulis. Lalu berpidato dinaskahkan oleh orang ter­tentu. “Tradisi berpidato yang memandulkan pemikiran,” pa­parnya sembari menu­kil­kan, ternyata modernisasi pe­mikiran dipengaruhi oleh tulisan.

Khairul Jasmi berpen­dapat, pers di Minang dipicu kebiasaan lapau menjadi tem­­pat debat, surau tempat mengaji dan menulis. Dari sana lahir sebuah karya.

Perdebatan intelektual, katanya, memang sudah dibo­lehkan dan menjadi tradisi. Lalu, berkejaran kecende­rungan itu dengan waktu di antara orang yang ingin mem­baca dan mendengar radio.

Dalam sesi tanya jawab, KJ mengatakan, ada dua ala­san orang mendirikan perusa­haan pers. Yakni, kecanduan dan banyak uang. “Tidak mu­dah untuk mendirikan sebuah perusahaan pers,” paparnya.

Peserta diskusi, Abdullah Khusairi menyebut, pers men­jadi alat perjuangan di masanya. Hanya saja, tanya­nya, masihkah sama ideologi media hari ini dengan masa lalu? "Masih adakah pers yang ideal itu? " tan­tangnya.


Industri media tidak dapat di­pisahkan dari pers. Persoa­lan ideologi, hanya butuh ke­piawaian menempatkan porsi masing-masing sesuai kadar­nya. Jika mampu me­nem­patkan, pers akan berdiri de­ngan ideologi masing-ma­sing.


Menyelam pers Minang­kabau dekade 1859-1945, ka­um adat dan golongan muda berbicara nasionalisme dan kemerdekaan. Kemunculan pers di Minangkabau berkai­tan erat dengan sejarah per­kem­bangan Islam. Umpama dua sisi mata uang. Hampir seluruhnya berawal dari seko­lah. “Tidak ada sekolah yang tidak memiliki pers,” papar Yuliandre Darwis.


Setelah tahun 1900, mu­n­cul organisasi yang menjadi mata rantai pemikiran. Ter­ben­tuk dari pemikiran dan menjadi motor penggerak. Sebelum kemerdekaan, sete­lah medeka, hingga pecahnya reformasi merupakan output dari organisasi.


Eko Yance menyim­pul­kan, pers Minang lahir dari perde­batan berkepanjangan. Dari sana juga muncul tokoh-to­koh, pers industri dan idea­lis sama-sama menjadi kenis­ca­yaan. Tapi, tetap berideologi.


Bukan Perjalanan Sejarah
Penulis buku Sejarah Perkem­bangan Pers Minangkabau (1859-1945), Yuliandre Dar­wis mengatakan, buku yang berasal dari kepingan diser­tasi itu bukan perjalanan sejarah secara mutlak. Me­lain­kan, lebih kepada gam­baran pemikiran dan asal usul pemikiran pers Minang.

Buku setebal 209 halaman itu menunjukkan, pers Mi­nang­kabau tergolong salah satu yang tertua di Indonesia. Secara garis besar menun­jukkan, latar belakang sejarah Minangkabau, adat istiadat dan budayanya. Kedua, seja­rah pergerakan reformasi Islam di Minangkabau saat Islam diperkenalkan pedagang Gujarat pada abad ke-8. Baru, mengupas sejarah pers Mi­nang­kabau yang diawali de­ngan pemakaian bahasa dan abjad Arab-Melayu.

Periode awal, ditandai dengan penerbitan surat ka­bar berbahasa Belanda oleh orang Belanda (Indo). Sub­stansi surat kabar ini menyua­rakan kepentingan pemer­in­tah atau kaum penjajah, ter­masuk kaum Indo. Pemb­eri­taan berkisar kejadian Sum­bar bersifat penegakan rust en orde (ketenangan dan keter­tiban), promosi kepentingan kaum penjajah, informasi ekonomi dan iklan.

“Beberapa surat kabar yang termasuk kelompok ini adalah Sumatera Courant (1859), diterbitkan dan di­pim­pin oleh L.N.H.A Chatelin terbit dua kali seminggu. Menyusul surat kabar kedua milik kaum Indo bernama Padangsch Nieuws en Adver­tentieblab (1859) terbit sekali seminggu,” tulis Yuliandre.

Sejarah berlanjut hingga masa pemakaian sepenuhnya bahasa melayu oleh media. Perkembangan pers islami hingga organisasi dan lem­baga pendidikan menjadi lokasi awal produksi sebelum akhir­nya benar-benar ber­ben­tuk penerbitan. “Bukan perjalanan sejarah secara mutlak. tetapi lebih kepada substansinya sebagai alat pe­nyedia informasi kala itu,” kata Ketua Program Magister Ilmu Komunikasi FISIP Unand itu.

Uda Sumbar 2004 ini te­lah meneliti perkembangan pers Sumbar sejak menye­lesaikan pendidikan S-3 Mass Comunication, Communication and Media Studies Faculty, UiTM, Malaysia. Di te­ngah kesibukannya, Wakil Sekjen DPP Asita dan Duta Muda Unesco untuk Indonesia 2008 itu masih menyem­patkan waktu untuk mela­hirkan karya. “Ini sebuah apresiasi juga untuk Unand di tengah kesibukan para dosen dengan sejumlah proyek. Di­ha­rapkan dosen-dosen yang lain juga terpacu,” harap Rek­tor Unand Werry Darta Tai­fur. (debi vernando)

No comments:

Post a Comment