Tradisi Menulis Berganti Pidato, Memandulkan Pemikiran
Peluncuran Buku “Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau (1859-1945)”
Tradisi berpidato memandulkan pemikiran. Padahal, bahasa tulis dan pers menjadi peranti komunikasi dari masa ke masa. Layaknya kanvas yang menampilkan mozaik situasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang membungkus keseharian orang di zamannya.
Sejarah mencatat, pergolakan pemikiran yang bergumul di periode awal penerbitan surat kabar di Minangkabau, turut menyumbangkan kemerdekaan bagi Republik Indonesia. Demikian terungkap dalam Book Launching and Talkshow bertema “Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau 1859-1945” karya Yuliandre Darwis di Fakultas Kedokteran Unand, Limaumanis, Padang, kemarin (23/12).Diskusi dan bedah buku itu menghadirkan CEO Padang Ekspres Sutan Zaili Asril dan Pemimpin Redaksi Singgalang Khairul Jasmi, yang dipandu Sekretaris PWI Padang Eko Yance.
Era penjajahan Belanda di Indonesia memakan garis masa yang sangat panjang. Sampai-sampai pergumulan antar dua etnis ini melahirkan ras baru yang dikenal dengan istilah kaum Indo (campuran Belanda-Indonesia). Meski sedarah, butuh waktu untuk menyatukannya dengan penduduk asli, terkhusus masyarakat Minangkabau.
Surat kabar Pelita Ketjil, potret kerja sama pertama orang Indo dengan Minangkabau. Kerja sama ini pula, yang menjadi ciri lain dari surat kabar periode pertama. Berlanjut hingga ratusan senarai surat kabar dan majalah Melayu di Sumbar terbit dalam kurun tahun 1900 hingga 1942.
“Dahulu, semuanya menulis. Cendikiawan menulis, pemikir menulis, ulama menulis. Ketika hari ini pemikir tidak menulis, mampukah dia menuangkan pemikirannya?” kata Sutan Zaili Asril.
Dia juga menyentil, masyarakat hari ini lebih tertarik untuk menjadi pejabat daripada penulis. Lalu berpidato dinaskahkan oleh orang tertentu. “Tradisi berpidato yang memandulkan pemikiran,” paparnya sembari menukilkan, ternyata modernisasi pemikiran dipengaruhi oleh tulisan.
Khairul Jasmi berpendapat, pers di Minang dipicu kebiasaan lapau menjadi tempat debat, surau tempat mengaji dan menulis. Dari sana lahir sebuah karya.
Perdebatan intelektual, katanya, memang sudah dibolehkan dan menjadi tradisi. Lalu, berkejaran kecenderungan itu dengan waktu di antara orang yang ingin membaca dan mendengar radio.
Dalam sesi tanya jawab, KJ mengatakan, ada dua alasan orang mendirikan perusahaan pers. Yakni, kecanduan dan banyak uang. “Tidak mudah untuk mendirikan sebuah perusahaan pers,” paparnya.
Peserta diskusi, Abdullah Khusairi menyebut, pers menjadi alat perjuangan di masanya. Hanya saja, tanyanya, masihkah sama ideologi media hari ini dengan masa lalu? "Masih adakah pers yang ideal itu? " tantangnya.
Industri media tidak dapat dipisahkan dari pers. Persoalan ideologi, hanya butuh kepiawaian menempatkan porsi masing-masing sesuai kadarnya. Jika mampu menempatkan, pers akan berdiri dengan ideologi masing-masing.
Menyelam pers Minangkabau dekade 1859-1945, kaum adat dan golongan muda berbicara nasionalisme dan kemerdekaan. Kemunculan pers di Minangkabau berkaitan erat dengan sejarah perkembangan Islam. Umpama dua sisi mata uang. Hampir seluruhnya berawal dari sekolah. “Tidak ada sekolah yang tidak memiliki pers,” papar Yuliandre Darwis.
Setelah tahun 1900, muncul organisasi yang menjadi mata rantai pemikiran. Terbentuk dari pemikiran dan menjadi motor penggerak. Sebelum kemerdekaan, setelah medeka, hingga pecahnya reformasi merupakan output dari organisasi.
Eko Yance menyimpulkan, pers Minang lahir dari perdebatan berkepanjangan. Dari sana juga muncul tokoh-tokoh, pers industri dan idealis sama-sama menjadi keniscayaan. Tapi, tetap berideologi.
Bukan Perjalanan Sejarah
Penulis buku Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau (1859-1945), Yuliandre Darwis mengatakan, buku yang berasal dari kepingan disertasi itu bukan perjalanan sejarah secara mutlak. Melainkan, lebih kepada gambaran pemikiran dan asal usul pemikiran pers Minang.
Buku setebal 209 halaman itu menunjukkan, pers Minangkabau tergolong salah satu yang tertua di Indonesia. Secara garis besar menunjukkan, latar belakang sejarah Minangkabau, adat istiadat dan budayanya. Kedua, sejarah pergerakan reformasi Islam di Minangkabau saat Islam diperkenalkan pedagang Gujarat pada abad ke-8. Baru, mengupas sejarah pers Minangkabau yang diawali dengan pemakaian bahasa dan abjad Arab-Melayu.
Periode awal, ditandai dengan penerbitan surat kabar berbahasa Belanda oleh orang Belanda (Indo). Substansi surat kabar ini menyuarakan kepentingan pemerintah atau kaum penjajah, termasuk kaum Indo. Pemberitaan berkisar kejadian Sumbar bersifat penegakan rust en orde (ketenangan dan ketertiban), promosi kepentingan kaum penjajah, informasi ekonomi dan iklan.
“Beberapa surat kabar yang termasuk kelompok ini adalah Sumatera Courant (1859), diterbitkan dan dipimpin oleh L.N.H.A Chatelin terbit dua kali seminggu. Menyusul surat kabar kedua milik kaum Indo bernama Padangsch Nieuws en Advertentieblab (1859) terbit sekali seminggu,” tulis Yuliandre.
Sejarah berlanjut hingga masa pemakaian sepenuhnya bahasa melayu oleh media. Perkembangan pers islami hingga organisasi dan lembaga pendidikan menjadi lokasi awal produksi sebelum akhirnya benar-benar berbentuk penerbitan. “Bukan perjalanan sejarah secara mutlak. tetapi lebih kepada substansinya sebagai alat penyedia informasi kala itu,” kata Ketua Program Magister Ilmu Komunikasi FISIP Unand itu.
Uda Sumbar 2004 ini telah meneliti perkembangan pers Sumbar sejak menyelesaikan pendidikan S-3 Mass Comunication, Communication and Media Studies Faculty, UiTM, Malaysia. Di tengah kesibukannya, Wakil Sekjen DPP Asita dan Duta Muda Unesco untuk Indonesia 2008 itu masih menyempatkan waktu untuk melahirkan karya. “Ini sebuah apresiasi juga untuk Unand di tengah kesibukan para dosen dengan sejumlah proyek. Diharapkan dosen-dosen yang lain juga terpacu,” harap Rektor Unand Werry Darta Taifur. (debi vernando)
No comments:
Post a Comment