Wednesday, December 11, 2013

Rose Rida K Liamsi

”Rose” Menggetarkan Bukittinggi


Padang Ekspres • Rabu, 11/12/2013


4
Malam Puisi Rose: Rida K Liamsi membacakan puisi dari buku kumpulan puisi ”Rose” karyanya dalam ”Malam Puisi Rose”, di Hotel Rocky Bukittinggi, tadi malam (10/12).


Padek— Acara ramah-tamah sastra bertajuk  “Ma­lam Puisi Rose” bersama penyair In­donesia Rida K Liamsi di Hotel Rocky, Bukittinggi, Sumbar, Selasa (10/12), malam, berlangsung hangat.
Puluhan sastrawan, penyair, cer­p­enis, novelis, seniman dan bu­dayawan Sumbar, hadir dalam ra­mah-tamah yang dikemas seba­gai apresiasi terhadap ter­bitnya buku kumpulan puisi dwi bahasa karya Rida K Liamsi tersebut.
Mengawali ramah-tamah, Rida K Liamsi menyampaikan terima­kasih kepada para penyair dan sas­trawan Sumbar yang telah meng­apresiasi kehadiran Rose, buku kumpulan puisi keempatnya, sete­lah ODE-X, Tempuling, dan Perjalanan Kelekatu.
Rida juga mengaku iri terhadap para penyair dan sastra­wan asal Sumbar yang terus berkarya, tanpa perlu dorongan.
“Saya iri dengan teman-teman di Sumbar yang setiap bu­lan memenuhi halaman sas­tra di Harian Kompas, Tempo, ataupun Jawa Pos,” ucapnya.
Penyair kelahiran Dabo Singkep, Kepulauan Riau,  7 Juli 1943 itu juga menyam­pai­kan komitmennya untuk terus mem­beri ruang bagi pertumbuhan sastra di Tanah Air.
“Saya sangat berusaha, apa yang diperoleh Riau Pos Group (perusahaan media yang dipim­pinnya, red), akan terus didedikasikan untuk perkembangan puisi dan sastra,” ucapnya.
Rida bercerita, ketika dipercaya sebagai Dirut Harian Indo Pos (anak perusahaan Jawa Pos) yang terbit di Ja­karta, dia tersentak, melihat koran tersebut tidak punya ruang untuk puisi.
“Saat itu, saya minta redak­si Indo Pos, memberi ruang  ha­laman puisi. Dan kini sudah ham­pir satu tahun terbit, setiap Sabtu. Sekarang, rubrik ini dijaga Sutarji Calzoum Bachri,” cerita Rida.
Selepas Rida menyam­pai­kan pengantar, panitia ramah-tamah sastra dari Padang Ekspres, menayangkan video yang menggambarkan sepak-terjang Rida K Liamsi, dari se­orang penyair, wartawan, sampai pengusaha media.
Setelah itu, penyair dan sastrawan dari Sumbar, secara ber­gantian, membacakan puisi-puisi Rida K Liamsi. Sementara, Komunitas Seni Intro dari Payakumbuh, menampilkan musikalisasi 2 puisi Rida K Liamsi.
Pembacaan puisi karya-karya Rida K Liamsi diawali sastrawan Darman Moenir. Pe­megang hadiah utama Sayembara Mengarang Roman DKJ 1980 itu membacakan dua puisi Rida K Liamsi dalam versi bahasa Inggris.
Sebelum membacakan pui­si di atas kursi roda, Darman Moenir yang juga pemenang hadiah sastra dari pemerintah Indonesia 1992, mengapresiasi puisi-puisi Rida K Liamsi.
”Saya, sudah membaca selintas, puisi-puisi Pak Rida dalam Rose. Ternyata, ada hal  ba­ru yang ditulis. Dengan pengucapan-pengucapan dan khas melayu. Dengan unsur-unsur pembaruan,” ungkap Darman Moenir.
Usai Darman, giliran penyair Rusli Marzuki Saria, 76, yang naik ke atas pentas. Papa dari para penyair Sumbar ini, membacakan tiga puisi Rida. Dua di antaranya berjudul “Sua­tu Pagi di Sebuah Beranda” dan “Rembang Petang."
Bagi Rusli Marzuki Saria, sosok Rida K Liamsi, punya ke­sa­maan dengan dirinya. “Bung Rida, sebagai wartawan, sebagai penyair, senasib dengan sa­ya. Antara fakta dan fiksi, bisa jalan. Ketika memuat berita, kita pakai fakta. Ketika menulis puisi, kita pakai visi. Menulis puisi itu butuh imajinasi,” ujar Papa Rusli.
Penulis buku kumpulan puisi ”Mangkutak di Negeri Prosa Liris” itu mengaku, sudah hampir 36 tahun mengamati perkembangan puisi di Sum­bar dan di Riau. Khusus di Riau, dia sudah mengamati, sejak era UU Hamidi dan Idrus Tintin.
“Riau dan Sumbar, selama ini berjalan sejajar di bidang ke­senian dan kebudayaan. Dan perkembangan sebagai seorang tua, Rida 70, saya 78, ber­harap untuk orang-orang muda, lebih kreatif lagi,” pinta Rusli.
Dia menyebut sosok Rida K Liamsi sebagai maecenas. “Bung Rida adalah maecenas, orang yang menyumbang ter­ha­dap kesenian dan kebuda­yaan. Kelebihan Bung Rida dan Riau Pos Group yang dipimpinnya, ada di bidang kesenian dan kebudayan,” ujar Rusli Marzuki Saria.
Selepas Rusli tampil, giliran Ketua Wanita Penulis Indonesia Sumbar Sastri Yunizarti Y. Bakri, tampil membacakan puisi-puisi Rida K Liam­si berjudul “Di Seberang Gedung Putih”.
Menurut penulis yang juga Inspektur Khusus di Irjen Kemendagri tersebut, Rida K Liamsi adalah sosok yang luar biasa. Karena, tidak banyak orang yang punya kesibukan bisnis, peduli dengan dunia sastra.
”Pak Rida adalah sosok yang jujur, rendah hati dan me­ng­apresiasi semua orang. Bia­sanya, para sastrawan dan penyair itu kan sombong, tapi pak Rida tak begitu. Beliau sangat rendah hati,” puji penulis buku Siti Manggopoh ini.
Setelah mantan Sekretaris DPRD Padang itu, giliran Komunitas Seni Intro dari Payakumbuh yang menyuguhkan musikalisasi puisi di hadapan pu­luhan seni­man, sastrawan, dan budayawan yang hadir.
Rendah Hati dan Peka
Begitu musikalisasi puisi Intro selesai, dua pembawa acara yang sehari-hari presen­ter Padang TV (Grup Padang Ekspres), mengajak sastrawan Gus tf Sakai yang datang dari Payakumbuh, naik ke atas panggung, untuk mem­bacakan puisi Rida K Liamsi.
Gus tf, memilih mem­baca­kan dua puisi Rida berjudul “Mengingat Kalian” dan “Bah”. “Saya memilih baca puisi ini karena saya melihat, dalam pui­si-puisi Pak Rida, ada 2 mahakata yang sepertinya se­lalu menggetarkan beliau. Yakni, Mak dan Bah,” ujar peraih Sea Write Award dari Kerajaan Thailand tersebut.
Sebelumnya, Gus tf  yang sudah menulis 3 buku kum­pulan puisi, 4 buku kumpulan cerpen, dan 6 judul novel, juga mengapresiasi sosok Rida K Liamsi. Gus tf menyebut, dalam prinsip kepengarangan, ada jenis penulis yang meru­sak, yaitu orang-orang yang bicara atau menulis ten­tang ke­manusiaan, tapi kehidupan mereka sehari-hari sangat ber­beda, bahkan berlawanan dari apa yang mereka tulis.
“Dan menurut saya, Pak Rida  tak seperti itu. Ia bahkan justru identik dengan seninya: rendah hati, peka, walau apa yang sudah dicapainya seka­rang, sangat mungkin menjauhkan ia dari semua itu,” ujar Gus Tf yang belum lama ini menerima penghargaan Sastrawan Berdedikasi dari Harian Kompas.
Penyair Upita Agustin yang naik pentas usai Gus Tf,  mem­bacakan 3 puisi.
Awalnya, penyair bernama asli Puti Reno Raudha Thaib itu membacakan puisi “Ode-X” yang pertamakali diterbitkan dalam ben­tuk sten­silan. Kemudian, Profesor Benih dari Universitas Andalas Pa­dang yang baru saja mene­rima Anugerah Kebudayaan dari Mendikbud itu, memba­cakan puisi Rida berjudul “Di Stockholm” dan “Jebat”.
Seperti tidak mau ketinggalan dengan Upita, penyair yang mencatat rekor sebagai penulis puisi dan pantun cerita terpanjang di Indonesia, Adri Sandra, juga tampil mem­bacakan puisi Rida K Liamsi.
Berbeda dengan teman-temannya, Adri Sandra yang menyebut Rida K Liamsi sebagai penyair pencatat sejarah, mem­bacakan satu buah puisi saja. Puisi yang dibacakan ber­judul “Aceh, Satu Hari Sesudah Tsunami”. Kendati puisi ini cu­kup panjang, tapi penonton cukup menikmati bait demi baitnya, karena Adri Sandra membacakan sangat baik.
Usai penampilan Adri Sandra dengan suaranya yang khas, bulat dan sedikit nge­bass, Komunitas Seni Intro kembali naik ke atas pentas. Kali ini, para punggawa Intro yang terdiri dari Iyut Fitra, Ijot Goblin, Sanur, Adna Lestari, Yoserizal, Riza Fajri, menam­pilkan musikalisasi puisi Rida berjudul “Episode II” dan Rose “III”.
Selanjutnya, acara ramah-tamah sastra yang dihadiri jajaran pimpinan Padang Eks­pres Group, mulai dari Sutan Zaili Asril, Marah Suryanto, Jayusdi Efendi, Sukron Putra, Firdaus, Sukri Umar, Two Efly, Montosori, Suleman Tanjung, Hendra Efison, Harmen, sam­pai Vinna Melwanti itu, dilanjutkan pembacaan puisi Rida K Liamsi oleh sastrawan Haris Efendi Tahar.
Sebelum membacakan puisi, Haris yang merupakan Guru Besar Pendidikan Sastra Indonesia Universitas Negeri Pa­dang, sempat menceritakan per­te­muan pertamanya dengan Rida K Liamsi. Dalam pertemuan itu, ia menangkap sosok Rida sebagai seorang pengusaha media, sekaligus penyair dan sastrawan yang rendah hati.
“Malam ini, saya akan bacakan sebuah puisi Pak Rida yang bermuatan sejarah. Memang, puisi bukan sejarah, tapi puisi adalah karya sastra yang merefleksikan suasana sosial pada zamannya,” kata Haris Efendi Thahar, seraya mem­ba­cakan puisi Rida berjudul “Perjalanan”.
Begitu pencipta cerpen “Si Padang” itu selesai puisi melafadzkan puisi Rida K Liamsi, gerimis kecil mengguyur Bukittinggi. Membuat para sastrawan dan seniman yang duduk di ruang terbuka, di ping­gir kolam renang Rocky Hotel, beringsut ke tempat lebih teduh.
Saat itulah, penyair muda Sumbar Esha Tegar Putra, yang kini menjadi dosen Sastra Indonesia, Universitas Bung Hatta Buku tampil mem­baca­kan puisi Rida K Liamsi, ber­judul “Ombak Sekanak” dan “Rose”.
“Saya senang, bisa mem­baca puisi Pak Rida, dalam suasana puitik ini,” kata Esha dalam kesempatan yang juga dihadiri mantan Pemred Pa­dang Ekspres Kazaini KS dan Wiztian Yoetri ini. Penulis buku kumpulan puisi “Pinangan Orang Ladang” itu juga memuji sosok Rida K Liamsi, sebagai seorang pengusaha media, jurnalis dan sas­trawan yang punya dukungan besar terhadap anak-anak muda.
Hanya berselang dua menit setelah Esha Tegar Putra membaca puisi, giliran Rida K Liamsi yang tampil ke pentas. Membuka jaket parasut hitamnya, Rida tampak enjoy membacakan puisi karya sendiri, diiringi irama khas alat musik Melayu.
Ada empat puisi yang diba­cakan penyair bernama asli Ismail Kadir tersebut. Di anta­ranya, “Bulang Cahaya”, “Tempuling”, dan “Rose II”. Saat puisi Rose II dibacakan Rida dengan penuh peng­hayatan, suasana di Rocky Hotel Bukit­tinggi, seakan bergetar.
”Puisi Rose II yang menjadi pamungkas pembacaan puisi malam ini, benar-benar menggetarkan Bukittinggi,” kata penyair Abdullah Khusairi yang duduk berdekatan de­ngan S Metron Masdison, Nas­rul Azwar, Asril Koto, Son­dri BS, Yetti AKA dan sejumlah nama lain. (fajar rillah vesky)

No comments:

Post a Comment