Sebuah Terminal
Mentari
tegak di atasnya. Membakar ubun-ubun. Orang-orang tetap lalu lalang. Tak
peduli. Paling juga mengernyit dahi. Selebihnya, waktu berlalu dengan hiruk
pikuk keramaian. Suara pengamen. Musik dari kaki lima.
Ditingkahi
suara para agen. Riuh menyebut semua nama daerah tujuan bus. Mulai dari yang
Angkutan Kota dalam Provinsi (AKDP) hingga Angkutan Kota Antar Provinsi
(AKAP).
"Sangka...
Sangka..."
"Pikumbuh...
Pikumbuh..."
"Bukik...
Bukik..."
"Medan...
Medan..."
"Jambi...
Jambi..."
"Pakan...
Pakan..."
"Bengkulu...
Bengkulu..."
Dua
bagian terminal yang ditandai dengan satu menara pengawas Dinas Lalu Lintas dan
Jalan Raya (DLAJ). Baju mereka hijau muda, biasanya petugasnya berkumis dan
berkaca mata hitam. Kesannya sangat bangga dengan korp, kalau tak boleh disebut
sangat sombong dengan korp. Bagian Selatan menara ada bus agak kecil dari yang
Bagian Utara. Tapi bagian Utara tetap akan melewati pintu keluar ke Bagian
Utara. Lewat jalan yang sumpek. Berjejal bus dan pedagang kaki lima. Semuanya
merasa punya hak yang sama hidup di terminal ini. Tak boleh ada yang marah.
Selalu ada petugas yang kontrol dari menara. Ada micropon dari atas sana
memberi informasi dan ajakan ketertiban. Juga himbauan ketertiban dan keamanan.
Tapi copet tetap beraksi.
Masuk
terminal bayar. Kalau dari belakang, sering tidak bayar. Petugas berbaju hijau
muda bersama beberapa orang tidak berseragam sering tak ada. Kalau ada satu
orang, biasanya mengantuk. Orang-orang boleh lalu lalang. Tapi agen biasanya
tetap aktif setiap waktu. Melengking nyaring suara mereka menyebut nama daerah
tujuan bus. Entah yang mana kondektur entah mana yang agen. Semuanya berebut
bila sudah melihat seorang atau serombongan orang yang datang membawa tas
besar. Nah, kalau beli tiket, disarankan jauh hari atau beberapa hari sebelum
berangkat, lalu datanglah dengan karcis itu. Agaknya lebih aman dari pada beli
waktu berangkat. Bisa-bisa jadi bulan-bulanan para agen. Tas bisa dibawa kemana
kemari. Atau bisa jadi, hilang ditelan kerubungan.
Bulan
puasa, apalagi menjelang lebaran, Terminal Andalas adalah pusat arus orang dan
barang yang sangat padat. Tak seperti di awal puasa, di sini, biasa saja
orang-orang menjaja makanan. Orang-orang merokok. Bebas. Kalau sudah berada di
atas bus, jangan heran ada pengamen, penjaja makanan, juga koran dan majalah.
Bahan
bacaan ini ada yang bisa dikonsumsi umum ada pula untuk pria dewasa. Biasanya,
kalau penjaja agak berbisik untuk menawarkan bacaan untuk pria dewasa. Satu
yang perlu diingat, jangan coba-coba hanya melihat atau sekedar memegang saja,
jika tak jadi beli, persoalan akan ribet. Jadi, kalau tak mau beli, lebih baik
abaikan seluruh tawaran manis dari penjaja ini. Tal perlu benci mereka, itu
sudah laku sehari-hari sebab hidup memaksa membuat mereka harus bersikap
seperti itu. Logika dasar hidup manusia, bertahan hidup dengan cara apa pun.
Atau bahasa lain, berdagang dengan cara apa pun yang penting laku.
Pedagang
bingkuang, buah khas dari kota ini, agak ramah. Mereka suka ditawar-tawar. Buah
putih ini manis dan banyak air. Patut dibeli untuk oleh-oleh, selain kerupuk
sanjai dan beberapa penganan khas. Semuanya murah meriah dan terjangkau untuk
seluruh lapisan masyarakat. Namun tawar menawar harga tetap ada, sebab hal itu
adalah seni berbelanja dan pertanda bisnis memang butuh diplomasi.
Galibnya
sebuah terminal, menjelang lebaran, menjadi arus utama antara yang datang dan
yang pergi, baik barang maupun orang. Di antara itu, terminal mengisi
kekosongan bernama perpisahan dan tentu saja pertemuan.
Kekosongan yang sepi ketika malam lelap.
Sebuah terminal akan sedikit menepi dan hanya diisi orang-orang yang menetap.
Pedagang kaki lima, petugas ronda, gembel dan orang gila. Bila pagi tiba
kembali, suasana riuh itu datang lagi. Begitulah terminal. Begitulah kedatangan
dan kepergian yang diterima terminal. [] Padang, 11 Agustus 2011.
Pukul 12.08 WIB. Tidak sedang di Terminal Andalas. Tidak juga sedang di Plaza
Andalas. Tidak pula sedang berpanas-panas.
No comments:
Post a Comment