Bathin
Kebudayaan
ABDULLAH
KHUSAIRI*
Jika mata dibayar dengan mata, maka seluruh dunia
akan buta.
Mahatma Gandhi (1869 – 1948)
Setiap
hukum adat di atas dunia ini memiliki kearifan untuk kehidupan dimana ia
berada. Termasuk hukum adat yang berlaku di kepulauan mentawai. Pun tiga pula
itu, tidak pula bisa disamakan. Hingga pada lokus paling kecil, hukum adat
tumbuh menjadi sebuah sistem nilai yang dihormati warga setempat.
Tetapi
ada yang berkuasa dari hukum adat. Ia datang dari luar. Datang dengan
bermacam-macam wajah. Ada yang tersenyum, ada yang wajah sangar. Biasanya,
konflik berawal dari sini. Bersua antara kepentingan dan saling bergesekan.
Konflik itu bisa semakin meruncing, tajam dan melukai satu sama lain. Tetapi
ada juga yang langsung bersua dalam satu titik temu.
Pada
sebuah kehidupan yang baru datang lalu bersentuhan dengan kehidupan lain,
secara alamiah memang mengalami gesekan-gesekan. Sepanjang ada kesepakatan di
atas kata perdamaian, maka kehidupan akan berjalan dengan baik. Sungguhpun
akhirnya perubahan demi perubahan seiring waktu, sering tak disadari.
Sebaliknya, bila sebuah kedatangan membawa permusuhan tentu saja ada pertahanan
yang harus dilalui. Perang segera dimulai dari sini.
Mahatma
Gandhi akhirnya menjawab seluruh pengalaman hidupnya dengan tawaran akselarasi
damai. Hanya itu. Jika tak ingin ada kehancuran akibat berbentur dua
kepentingan, kepentingan yang datang dan kepentingan yang menunggu, maka
jawabnya adalah jalan damai. Tapi jalan damai itu dimana? Sering sekali jalan
tersebut sulit dilalui. Ada rimba kepentingan yang siap melanyau kehidupan di
atasnya.
Gejala
tentang keterjajahan hukum adat di berbagai tempat dapat dibaca demikian.
Ketika hukum adat harus berurusan dengan hukum positif yang lebih luas, besar
dan paling berkuasa atas nama negara, sering kali hukum adat menjadi kalah.
Sungguhpun hukum adat sudah dilindungi melalui undang-undang tetapi begitu
banyak oknum-oknum yang mau dan mampu mematahnya. Baik dari dalam maupun dari
luar atau keduanya bekerja sama untuk menebas hukum adat. Jika berhasil maka
lesap sudah satu hal di muka bumi ini; kebudayaan lokal!
Konflik
kepentingan terhadap kekuasaan atas wilayah dan sumber daya alam memang menjadi
masalah. Berbagai pendekatan agar sumber daya alam bisa diambil percuma dari
sebuah wilayah hukum adat, dilakukan oleh orang-orang cerdik dari luar warga
yang menetap di suatu tempat. Sekadar misal, ketika Suku Anak Dalam (SAD) yang
sangat menghormati hutan, digoda oleh materi yang sangat susah mereka dapat, akhirnya
ada di antara mereka mengkhianati adat sendiri. SAD akan membayar denda kepada
penegak hukum dalam komunitas mereka jika ada yang salah, misalnya salah
menebang, dendanya bisa berbentuk lusinan kain. Kain itu mahal bagi mereka, tapi
bagi orang luar, mau berapa ratusan potong kain pun diberi asal dapat
pohon-pohon berumur puluhan tahun itu. Begitulah kenyataannya.
Pertanyaannya,
sekuat apakah hukum adat melindungi agar tidak ada yang mengkhianati kehidupan
yang telah diciptakan leluhur mereka? Bagaimana kekuatan itu harus ditumbuhkan
seiring dengan kemajuan demi kemajuan di dapat dari luar kehidupan komunal itu?
Inilah tugas dari elit di antara mereka lewat bimbingan negara. Sayangnya,
negara jarang hadir dalam keadaan begini. Sebaliknya, justru atas nama negara
sering sekali oknum-oknum aparat mengeruk untung dari ketidakberdayaan elit
warga setempat.
Jika
sudah berada dalam tataran kepentingan yang bernilai materialisme dan
kapitalisme, maka keberadaan mata hati yang paling tajam memang sering menumpul.
Nafsu menguasai dan menang membuat kepedulian terhadap hal-hal yang adiluhung dikubur
hidup-hidup. Pada konteks itulah, akhirnya orang tak mau lagi memakai mata
bathin untuk melihat persoalan. Pangkal dari kerusakan alam memang berangkat
dari sini. Dimulai dari robohnya hukum adat setempat, lalu berkuasanya uang,
maka terkubur pula mata hati mereka.
Kita
telah banyak kehilangan kebudayaan yang tumbuh dari masa lalu. Dibunuh untuk
masa depan dengan iming-iming kebahagiaan yang berlebihan. Tapi nyatanya,
merana sepanjang hayat sering didapatkan oleh masyarakat adat dan masyarakat
setempat. Misalnya, SAD kini hidup seperti orang biasa tetapi watak rimbanya
tak mungkin bisa hilang. Bisa jadi mereka menganggap ini sebuah kemajuan, sudah
bisa hidup berdampingan dalam kehidupan desa tetapi alangkah banyak yang tidak kompitable dengan watak mereka.
Bagaimana idealnya? Saya membayangkan, jika rimba tempat mereka dijaga negara,
hukum adat mereka tetap terpakai, kemakmuran dan kesejahteraannya dapat
dipenuhi melalui kreativitas, maka kelanggengan kebudayaan itu tetap terjaga.
Mereka dapat dijadikan mitra dalam mengelola hasil hutan. Semoga ini belum terlambat
di beberapa tempat.
Mata
bathin kita memang harus dipelihara dalam skala yang lebih manusiawi dalam melihat
persoalan. Kekayaan alam semestinya dapat termanfaatkan dengan sempurna tanpa
merusaknya. Hal itu hanya bisa dengan hukum adat setempat, jangan sampai hukum
di luar itu yang melakukannya. Pengalaman menunjukkan, begitu banyak
kepentingan yang menyaru atas nama hukum positif yang melanyau hukum adat.
Saya
masih meyakini, pada kehidupan yang tumbuh di sebuah kawasan, apapun
keyakinannya, agamanya, sukunya, di situlah tumbuh kebudayaan yang sesuai
dengan filosofi hidup kawasan tersebut. Orang pintar menyebutnya, kearifan
lokal (local wisdom). Tidak bisa dibawa
keluar dan tidak boleh dirusak di luar dirinya.
Di situlah ada budaya yang mesti dihormati, dijaga, dibiarkan berkembang
sendiri. Mereka dari luar hanya berhak memberinya jalan baru yang patut mereka
pilih tanpa perlu mengintervensi atas nama kehidupan baru tetapi sebenarnya
terjadi penipuan dan membawa mereka hancur.
Tentu
saja, yang berpikir melalui alur ini sudah sangat langka. Sekali lagi, godaan
nafsu kuasa dan merebut aset sebuah daerah telah menjadi simpul penjajahan baru
yang berwajah ramah. Itulah yang merobohkan sendi kebudayaan kita yang kaya
raya ini. Pada kontek ini, mereka yang berada di dalam lingkaran hukum adat
mesti mengabaikan kata Mahatma Gandi di atas. Lawan! Jika yang datang hanya
untuk merusak kehidupan kebudayaan yang telah dibangun oleh nenek moyang.
Tetapi jika datang untuk mendidik kehidupan kebudayaan itu sendiri, ajaklah
dengan tetap siaga dan menjaga yang ada. Saya kira, begitu. []
*Kandidat Doktor Filsafat Islam
di Pascasarjana UIN Syarif Ciputat
No comments:
Post a Comment