Monday, February 26, 2018

RUANG PUBLIK


Bathin Kebudayaan

ABDULLAH KHUSAIRI*

Jika mata dibayar dengan mata, maka seluruh dunia akan buta.
Mahatma Gandhi (1869 – 1948)

Setiap hukum adat di atas dunia ini memiliki kearifan untuk kehidupan dimana ia berada. Termasuk hukum adat yang berlaku di kepulauan mentawai. Pun tiga pula itu, tidak pula bisa disamakan. Hingga pada lokus paling kecil, hukum adat tumbuh menjadi sebuah sistem nilai yang dihormati warga setempat.

Tetapi ada yang berkuasa dari hukum adat. Ia datang dari luar. Datang dengan bermacam-macam wajah. Ada yang tersenyum, ada yang wajah sangar. Biasanya, konflik berawal dari sini. Bersua antara kepentingan dan saling bergesekan. Konflik itu bisa semakin meruncing, tajam dan melukai satu sama lain. Tetapi ada juga yang langsung bersua dalam satu titik temu.


Pada sebuah kehidupan yang baru datang lalu bersentuhan dengan kehidupan lain, secara alamiah memang mengalami gesekan-gesekan. Sepanjang ada kesepakatan di atas kata perdamaian, maka kehidupan akan berjalan dengan baik. Sungguhpun akhirnya perubahan demi perubahan seiring waktu, sering tak disadari. Sebaliknya, bila sebuah kedatangan membawa permusuhan tentu saja ada pertahanan yang harus dilalui. Perang segera dimulai dari sini.

Mahatma Gandhi akhirnya menjawab seluruh pengalaman hidupnya dengan tawaran akselarasi damai. Hanya itu. Jika tak ingin ada kehancuran akibat berbentur dua kepentingan, kepentingan yang datang dan kepentingan yang menunggu, maka jawabnya adalah jalan damai. Tapi jalan damai itu dimana? Sering sekali jalan tersebut sulit dilalui. Ada rimba kepentingan yang siap melanyau kehidupan di atasnya.

Gejala tentang keterjajahan hukum adat di berbagai tempat dapat dibaca demikian. Ketika hukum adat harus berurusan dengan hukum positif yang lebih luas, besar dan paling berkuasa atas nama negara, sering kali hukum adat menjadi kalah. Sungguhpun hukum adat sudah dilindungi melalui undang-undang tetapi begitu banyak oknum-oknum yang mau dan mampu mematahnya. Baik dari dalam maupun dari luar atau keduanya bekerja sama untuk menebas hukum adat. Jika berhasil maka lesap sudah satu hal di muka bumi ini; kebudayaan lokal!

Konflik kepentingan terhadap kekuasaan atas wilayah dan sumber daya alam memang menjadi masalah. Berbagai pendekatan agar sumber daya alam bisa diambil percuma dari sebuah wilayah hukum adat, dilakukan oleh orang-orang cerdik dari luar warga yang menetap di suatu tempat. Sekadar misal, ketika Suku Anak Dalam (SAD) yang sangat menghormati hutan, digoda oleh materi yang sangat susah mereka dapat, akhirnya ada di antara mereka mengkhianati adat sendiri. SAD akan membayar denda kepada penegak hukum dalam komunitas mereka jika ada yang salah, misalnya salah menebang, dendanya bisa berbentuk lusinan kain. Kain itu mahal bagi mereka, tapi bagi orang luar, mau berapa ratusan potong kain pun diberi asal dapat pohon-pohon berumur puluhan tahun itu. Begitulah kenyataannya.

Pertanyaannya, sekuat apakah hukum adat melindungi agar tidak ada yang mengkhianati kehidupan yang telah diciptakan leluhur mereka? Bagaimana kekuatan itu harus ditumbuhkan seiring dengan kemajuan demi kemajuan di dapat dari luar kehidupan komunal itu? Inilah tugas dari elit di antara mereka lewat bimbingan negara. Sayangnya, negara jarang hadir dalam keadaan begini. Sebaliknya, justru atas nama negara sering sekali oknum-oknum aparat mengeruk untung dari ketidakberdayaan elit warga setempat.

Jika sudah berada dalam tataran kepentingan yang bernilai materialisme dan kapitalisme, maka keberadaan mata hati yang paling tajam memang sering menumpul. Nafsu menguasai dan menang membuat kepedulian terhadap hal-hal yang adiluhung dikubur hidup-hidup. Pada konteks itulah, akhirnya orang tak mau lagi memakai mata bathin untuk melihat persoalan. Pangkal dari kerusakan alam memang berangkat dari sini. Dimulai dari robohnya hukum adat setempat, lalu berkuasanya uang, maka terkubur pula mata hati mereka.

Kita telah banyak kehilangan kebudayaan yang tumbuh dari masa lalu. Dibunuh untuk masa depan dengan iming-iming kebahagiaan yang berlebihan. Tapi nyatanya, merana sepanjang hayat sering didapatkan oleh masyarakat adat dan masyarakat setempat. Misalnya, SAD kini hidup seperti orang biasa tetapi watak rimbanya tak mungkin bisa hilang. Bisa jadi mereka menganggap ini sebuah kemajuan, sudah bisa hidup berdampingan dalam kehidupan desa tetapi alangkah banyak yang tidak kompitable dengan watak mereka. Bagaimana idealnya? Saya membayangkan, jika rimba tempat mereka dijaga negara, hukum adat mereka tetap terpakai, kemakmuran dan kesejahteraannya dapat dipenuhi melalui kreativitas, maka kelanggengan kebudayaan itu tetap terjaga. Mereka dapat dijadikan mitra dalam mengelola hasil hutan. Semoga ini belum terlambat di beberapa tempat.

Mata bathin kita memang harus dipelihara dalam skala yang lebih manusiawi dalam melihat persoalan. Kekayaan alam semestinya dapat termanfaatkan dengan sempurna tanpa merusaknya. Hal itu hanya bisa dengan hukum adat setempat, jangan sampai hukum di luar itu yang melakukannya. Pengalaman menunjukkan, begitu banyak kepentingan yang menyaru atas nama hukum positif yang melanyau hukum adat.

Saya masih meyakini, pada kehidupan yang tumbuh di sebuah kawasan, apapun keyakinannya, agamanya, sukunya, di situlah tumbuh kebudayaan yang sesuai dengan filosofi hidup kawasan tersebut. Orang pintar menyebutnya, kearifan lokal (local wisdom). Tidak bisa dibawa keluar dan tidak boleh dirusak di luar dirinya.  Di situlah ada budaya yang mesti dihormati, dijaga, dibiarkan berkembang sendiri. Mereka dari luar hanya berhak memberinya jalan baru yang patut mereka pilih tanpa perlu mengintervensi atas nama kehidupan baru tetapi sebenarnya terjadi penipuan dan membawa mereka hancur.

Tentu saja, yang berpikir melalui alur ini sudah sangat langka. Sekali lagi, godaan nafsu kuasa dan merebut aset sebuah daerah telah menjadi simpul penjajahan baru yang berwajah ramah. Itulah yang merobohkan sendi kebudayaan kita yang kaya raya ini. Pada kontek ini, mereka yang berada di dalam lingkaran hukum adat mesti mengabaikan kata Mahatma Gandi di atas. Lawan! Jika yang datang hanya untuk merusak kehidupan kebudayaan yang telah dibangun oleh nenek moyang. Tetapi jika datang untuk mendidik kehidupan kebudayaan itu sendiri, ajaklah dengan tetap siaga dan menjaga yang ada. Saya kira, begitu. []
*Kandidat Doktor Filsafat Islam
di Pascasarjana UIN Syarif Ciputat 


No comments:

Post a Comment