LITERASI MEDIA
Ketika Kebodohan Telah Tiba
ABDULLAH KHUSAIRI
"Jurnalis itu tahu banyak hal tapi serba sedikit, sedangkan Akademisi itu tahu banyak hal tapi satu bidang saja."
Istilah ini lahir berdasarkan fakta-data yang ada pada jurnalis dan akademisi. Lalu menjadi pendapat umum untuk membatasi ruang gerak lahan masing-masing. Terserahlah.
Namun demikian, pernyataan di atas bisa digugat sepanjang ada data-fakta baru. Misalnya, kadang-kadang di lapangan, ditemukan juga jurnalis tidak tahu banyak hal. Tidak semua jurnalis bisa dianggap profesional, sepanjang belum ada pengakuan dari lembaga penilai sertifikasi atau dikenal dengan kompetensi.
Di kampus, sebaliknya, ada juga dosen yang tidak mendalam dalam satu hal sesuai dengan bidang secara tertulis mesti dikuasainya. Kemudian, banyak juga dosen belum mendapat pengakuan profesional, sepanjang belum mengikuti mendapatkan sertifikat.
Di atas kenyataan itu, yang sudah mendapatkan sertifikat juga bila diuji kembali bisa jadi tidak profesional lagi. Atau dalam perjalanannya bisa jadi profesionalitas cedera karena salah langkah dalam menjalankan tugas sehingga membuat profesionalitasnya dicabut.
Pada konteks inilah ada kode etik dalam setiap profesi. Sebagai koridor seseorang bisa selamat dalam menjalankan tugas-tugas profesinya. Profesionalitas berhubungkait dengan kreativitas dan kualitas keluaran (output) yang dilakukannya. Inilah yang akan dicatat sebagai reputasi perjalanan profesi yang ditekuni.
Dua profesi ini kebetulan saja pernah dan sedang saya lakoni. Pendapat di atas bisa saja masih berlaku dan bisa juga tidak. Ada akademisi memang yang hanya mau tahu satu hal saja, ada juga punya kapasitas lebih dari itu. Sangat tergantung kehendak dan pilihan personal. Begitu pula di dunia wartawan, ada yang memilih meliput banyak hal, sehingga kaya pengalaman. Tetapi ada pula yang satu hal saja, misalnya dunia olahraga.
Pada suatu siang, saya terlibat diskusi soal jurnalis apakah mesti memilih spesifikasi liputan atau tidak. Menurut Wartawan Senior, Eko Yanche Edrie (EYE), sangat perlu seorang jurnalis untuk menguasai satu spesifikasi tetapi bukan berarti ia tidak bisa meliput yang lain.
Hal ini disetujui senior yang hadir pada saat ngopi itu, Nasrul Azwar (NA).
Saya setuju dengan kedua senior ini. Seseorang harus menguasai satu hal tetapi peduli dengan banyak hal. Apapun profesi mestinya begitu, bukan tak mau tahu dengan banyak hal di sekitarnya. Menguasai satu dua hal mendasar merupakan kepakaran. Seorang tukang pangkas yang sudah bertahun-tahun akan sangat profesional dibandingkan dengan siswa yang baru tamat sekolah pangkas. Inilah yang disebut penguasaan teori dan praktek, yang satu menguasai praktek yang satu menguasai teori. Keduanya memiliki kekuatan yang berbeda-beda.
Ada baik memang, seseorang mengakui ketika ia tak menguasai suatu bidang lalu menyatakan: "itu bukan bidang saya." Walaupun sebenarnya ia mampu menjawabnya. Namun demikian, tidak mau tahu dengan bidang lain akan membuat seorang mengerdilkan diri dalam dunia yang begitu luas ini. Pengetahuan itu saling berkaitan. Saling minta bantuan. Misal, tukang pangkas yang sudah bertahun-tahun itu membutuhkan pisau cukur terbaik. Pisau cukur itu diproduksi oleh pakar pisau cukur yang tidak pakar dalam memangkas. Ia hanya pakar memilih bahan dan membuat pisau cukur.
Begitulah, banyak orang yang berpikir sempit karena hanya punya satu kaca mata atau satu perspektif. Salah satu fungsi literasi adalah membuka banyak perspektif untuk melihat persoalan dan jalan keluar. Prof. Atho' Mudzhar pernah mengungkapkan, lebih baik anda punya satu pick-up sayur-sayuran dari pada satu truk bawang. Maksudnya, punya berbagai perangkat ilmu itu perlu dari pada punya banyak perangkat tetapi satu fungsi.
"Akademisi itu tidak serba tahu tetapi tahu cara untuk tahu," tegas Prof. Atho'. Pendapat ini sebenarnya bisa berlaku untuk semua profesi. Apapun profesi, landasan berpikir kritis, rasa ingin tahu (curiosity), merupakan modal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan. Begitu juga bagi seorang jurnalis, yang membutuhkan banyak perspektif untuk melatih ketajaman karya jurnalistik. Begitu juga bagi akademisi, agar memiliki ketajaman analisis karya akademiknya.
Terakhir, apapun profesi yang ditekuni hendaknya mampu dikuasai dengan baik sejak dari dasar pijakan ideologis dan filosofis, teoritis, hingga praktisnya. Hal itulah yang membuat seseorang bisa menjiwai, mencintai profesinya sepenuh hati. Semua itu bisa belajar sambil berjalan (learning by doing) dengan kesadaran, belajar tidak boleh berhenti dan tak pernah merasa pintar. Sekali saja merasa pintar, ketika itulah kebodohan telah tiba. Salam. [] sumber: https://bakaba.co/ketika-kebodohan-telah-tiba/
No comments:
Post a Comment