MISKIN HATI

Seorang teman memberi apresiasi tulisan saya di sini, dengan penuh semangat melalui short message service (SMS). Saya jawab juga dengan penuh penghormatan atas apresiasinya. Kemudian, teman ini meminta saya untuk menulis tentang gaji dewan yang sedang dibicarakan. Lalu saya katakan, sudah terlalu banyak yang menyoalkannya. Semakin dipersoalkan, semakin tajam menyakitkan rakyat.


Sebab, perihnya hidup makin memperjauh rakyat dengan pemimpinnya. Pemimpin hanya memikirkan sesuatu yang tidak riil. Kemajuan, pembangunan, peningkatan ekonomi, pendapatan negara, dan segala macam hal yang tidak dekat dengan rakyat.



Mereka dengan retorika dan diplomasi yang handal berbiacara kapan saja dimana saja tentang itu. Agaknya, biar dianggap agar berpikir dengan alat ukur luas dan dalam. Biar dianggap hebat dan serba mengikut perkembangan.Biar dikatakan pemimpin sedang melakukan perjuangan untuk rakyat. Biar rakyat menunggu dengan rasa penasaran yang penuh harap.


Tapi harapan tetaplah harapan. Ternyata pesta pora itu hanya ada di atas sana. Rakyat hanya menunggu dan menunggu.Keajaiban untuk kesejahteraan hidup itu tak pernah datang dari pemimpinnya. Secara nyata penjajahan itu telah berlangsung sekian lama terjadi. Lewat kekuasaan yang terlegitimasi. “Tidak manusiawi, jika pemimpin hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompok. Itulah yang terjadi. Naif.” Ketika jarum jarum menunjukkan 00.01, mereka sudah dapat uang satu juta rupiah perhari. Pemimpin apa namanya itu?” Komentar teman saya ini mengiris kalbu. Betapa makin panjang jarak si miskin dengan si kaya, yang berkuasa dengan yang dikuasai, mereka yang di atas yang di bawah.


Entahlah. Makin tidak sesuai apa yang dikatakan dengan perbuatan. Katanya mau menaikkan harkat martabat si miskin. Tetapi si miskin tetaplah miskin.Betapa sombong dan angkuhnya pemimpin kita bicara soal kemiskinan. Betapa glamour pemimpin kita bicara rakyat kecil. Rakyat selalu jadi objek. Tak pernah jadi prediket apalagi subjek di negeri kaya sumber daya alam ini.Membaca “es em es-es em es” teman saya ini, saya jadi berpikir tentang banyak hal. Salah satunya adalah kekuasaan.


Dimana, kecenderungan untuk diselewengkan amat besar oleh siapa saja yang sedang memegangnya. Kesombongan dan keangkuhan cepat mendukung sebagai pendekatan yang mutakhir. Bermanis muka tetapi hatinya busuk karena mati.”Mereka itulah orang-orang yang miskin hatinya.” Itulah es em es terakhir. Saya berdecak dan kagum pada teman saya ini. Tak kurang akal, saya coba juga membalasnya. “Semoga kita diberi kekayaan lahir dan bathin.” Begitu kata saya. Eh, malah ia membalas lebih gawat.”Aku berlindung kepada Allah dari godaan kekuasaan yang terkutuk.” Wah, pesan terakhir ini benar-benar tak mampu saya balas. Betapa teman saya ini kreatif mencari kata-kata yang bernas untuk melampiaskan sakit hatinya yang tertusuk persoalan yang makin tajam di tengah-tengah kehidupannya.


Saya cuma ingat serangkaian kata di dalam sebuah buku praktis yang pernah terbaca, hidup di zaman industri saat ini, manusai harus ereksi setiap hari. Siapa yang kuat untuk itu, ya, ia akan bertahan. "Artinya, nasib naaslah bagi mereka yang impoten. Uh!" []

Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA