ANAK TIMTIM ALUMNI PADANG JOPANG

Achang Hanyut Dibawa Untung

Darahnya berdesir, jika melihat seseorang mempermainkan bendera merah putih. Sebab, masa lalunya penuh keringat dan darah untuk memilih hidup di bawah naungan merah putih. Berpisah dengan sanak saudara, bercerai-berainya kehidupan.

Abdullah Khusairi – Padang

Itulah Hasan Subang Lamanepa (25). Seorang anak bangsa yang memilih untuk berpisah dengan kedua orang tuanya, pasca konflik bercerainya Timor Leste dari ibu pertiwi. Ia pergi dengan segenap kecewa.

“Terdampar ke Padang tak pernah terpikirkan sebelumnya, nasib ternyata menghanyutkan,” kenang Achang, demikian ia akrab disapa. Terbesit di matanya, kerinduan atas tanah kelahiran di Timor sana. Kenangan yang tak pernah mudah hilang. Rumah yang dibakar massa, mengungsi berbulan-bulan, pahitnya kehidupan, dan seterusnya.

Tak terasa, sudah 11 tahun lebih ia pergi dari pangkuan orang tua. Itu semua hanya karena konflik berkepanjangan demi harkat martabat Merah Putih di tanah Leste.

Pilihan untuk terlibat memperjuangkan Merah Putih merupakan tekad. Bermodalkan pengetahuan di bangku sekolah tentang Republik Indonesia tercinta ini.

Kini, ketika hari-hari cerita tentang nasionalisme, bertepatan dengan hari kebangkitan nasional, kenangan itu kembali melintas di hadapannya. Nasionalisme dalam darahnya mendidih kembali. Ternyata, memilih Indonesia adalah jalan terbaik. Walau dengan akhir yang berat.

“Mati hidup dengan Indonesia,” begitu katanya, beberapa waktu lalu di Kampus IAIN Imam Bonjol Padang.

Masih Hangat di Dada
Kala itu, referendum segera dimulai. Jajak pendapat membawa hawa politik yang bermuara perceraian sebuah negeri. Achang termasuk dalam posisi memilih. Pro integrasi atau merdeka bersama milisi.

Di bawah kepemimpinan Eurico Guetteres, seorang aktivis pro integrasi, Achang ikut di dalamnya. Walau nun jauh di kabupaten, ia masih merasakan, darahnya adalah Indonesia. Inilah perjuangan, agar sepetak tanah ini bagian dari Indonesia Raya. Melalui Forum Pembela Bendera Merah Putih, remaja, pemuda Timor Leste yang mencintai Merah Putih bergerak mengkampanyekan; Pilih Indonesia!

“Masih kelas 2 SMPN 1 Manatuto, sebuah ibu kota kabupaten di Timor Timur, Dilli. Memang banyak yang ikut untuk memperjuangkan Merah Putih tapi juga banyak yang enggan. Artinya, dengan sendirinya, terjadi kubu-kubuan antara pro dan kontra,” ungkap Achang semangat.

Tapi angin bertiup kencang. Talak jatuh! Timor Lestepun berdiri di bawah naungan Xanana Gusmao, pemimpin fretelin yang aktif mengadu persoalan Timor Timur ke panggung internasional. Ini pula yang mengundang aparat bermerk, Unamed. Sebuah misi perdamaian dan mediasi yang direstui PBB, dikomandoi Australia.

Perjuangan itu gagal dan eksesnya, perpecahan dalam sistem komunal mulai terjadi. Ada saudara yang hidup di negeri lain. Berpisah oleh sistem politik walau sama dalam sistem budaya. Teritorial telah membuat mereka harus berbeda negara. ,

Sementara di Jakarta, Presiden R.I, B.J. Habibie harus mengurut dada atas keputusan jajak pendapat yang telah dibuat atas dasar demokrasi. Lepas sudah sepotong tanah negeri pertiwi.

Kini. Achang adalah mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang. Setelah sekolah di Pesantren Darul Funun El Abbasyiah Padang Jopang Kabupaten 50 Kota. Terdampar melalui perjalanan berliku, Timor Leste, Jakarta, Padang hingga Kabupaten 50 Kota.

Bagaimana itu bisa terjadi? Ketika jajak pendapat selesai, suasana belum reda. Terjadi konflik atas hasil dari jajak pendapat waktu itu. Konflik itu pula membuat suasana chaos. Achang bersama keluarga dan temannya berangkat ke Kupang untuk mengungsi. Meninggalkan sebuah kota kecil yang sedang terbakar. Dibakar massa. Dibakar oleh mereka yang marah. Sialnya, Achang sempat berpisah dengan orang tua selama beberapa bulan.

Deru langkah bersama pengungsi dijalani. Di Kupang, berbulan-bulan menunggu kepastian kedamaian hidup. Ingin kembali ke tanah kelahiran, tapi tak kunjung ada kabar. Pun kembali, rumah sudah tiada, termasuk surat-surat penting. Mulai dari akta kelahiran hingga ijazah. Hidup terasa di bawah bayang-bayang ketidakpastian.

Akhirnya, suatu waktu, ada yang menawarkan untuk bersekolah ke Jawa. Achang bersama lima orang temannya bersetuju untuk itu. Lebih-lebih, kekecewaan telah melekat di hati. Pergi, jalan terbaik pada waktu itu. Demikianlah, akhirnya si sulung dari enam bersaudara ini meminta izin kepada orang tuanya, adik-adik, serta kaum kerabat yang ikut mengungsi pada waktu itu. Ia berlayar ke tanah Jawa selama tiga hari tiga malam. Kepergian pertama dari kampung halaman seorang bocah.

Di tanah Jawa, ia bukannya langsung menikmati kehidupan yang diimpikan. Masih terlunta-lunta menunggu kepastian, seminggu lebih. Seseorang yang mengajaknya belum juga bertemu tempat untuk anak bangsa korban politik ini. Kabar terakhir, ia mesti ke Sumatera, karena di tanah Jawa, hanya untuk mereka yang baru duduk di Sekolah Dasar saja.

“Makanya, jangan main-main dengan merah putih di hadapan saya. Sebab saya sudah memperjuangkannya dengan nyata. Sampai hampir mengorbankan nyawa,” ungkap anak pasangan Baharuddin Subang (46) – Aisyah Lamanepa (45) ini.

Kini, Achang masih mengenang tanah penuh kenangan itu. Sesekali ingin pulang. Melunaskan rindu yang bertumpuk di dadanya. Apa boleh buat, ia sudah menemukan jalan baru. Jalan penuh harapan. Achang menjadi anak oleh seorang warga Padang Jopang, Drs. Syafril Munir. Guru SMAN 1 Kecamatan Suliki. Meski demikian, ia mandiri. Sejak pesantren, terlatih untuk menakhodai waktu, antara bekerja, belajar, dan sebagainya.

Apa obsesi Achang? “Ingin ke Tanah Leste satu kali dalam satu tahun jadilah,” begitu jawab Achang. Berharap bertemu dengan sanak keluarga, handai taulan yang telah ditinggalkannya.

Selebihnya, ingin sekali ia bertemu dengan aktivis pro integrasi yang banyak menginspirasi jalan pikirannya waktu masih di Timor Leste, Eurico Guetteres.

“Bertemu menyapa dan ingin terus menjalin silaturrahmi,” harap Achang.

Seterusnya menyalurkan kembali semangat juang untuk negeri tercinta. Berguna untuk bangsa dan negara. Indonesia. Bila saja itu terpenuhi, betapa bahagianya Achang. Pilihan untuk bernaung di bawah Merah Putih ternyata tepat adanya. Merdeka! [] Sumber: www.hariansinggalang.co.id

Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA