Reformasi 1998

Tokoh Reformasi 98, Syahrul Ramadhan Tanjung 

Mahasiswa Bangkit dan Bergeraklah!

Jenderal Besar Reformasi
Syahrul Ramadhan Tanjung (SRT) sedang orasi di hadapan ribuan mahasiswa se-Sumbar menjelang runtuhnya Rezim Soeharto, Mei 1998. Dok. Tabloid Suara Kampus IAIN Imam Bonjol Padang | Nizam dan Khusairi

Hari ini, 15 tahun lalu, runtuhnya sebuah rezim yang telah berkuasa 32 tahun. Tapi reformasi belum usai. Masih banyak yang berserakan. Malahan kian jauh panggang dari api.


Romantika runtuhnya sebuah rezim tidak bisa dilupakan begitu saja. Walau sebuah cita-cita tidak bisa serta merta segera tuntas. Tuntutan reformasi masih banyak yang terbengkalai.

“Masih banyak yang terbengkalai. Otonomi Daerah memang terjadi, tetapi ada banyak masalah. Yang terasa berhasil, hanya kebebasan pers, hilangnya dwi fungsi ABRI,” ujar mantan aktivis reformasi, Syahrul Ramadhan Tanjung, Senin (20/5).

Tetapi reformasi di bidang hukum, ternyata belum bisa sampai. Malahan hukum kini, tajam ke bawah tumpul ke atas. Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), makin marak. Raja-raja kecil tumbuh di daerah, seiring dengan otonomi daerah yang rancu. Keluar dari rel yang dicita-citakan.


“Hari ini, kita hanya dapat mengenang. Lalu mengutuk atas nama reformasi yang kadang-kadang dianggap gagal. Kalau memang gagal, ya revolusi sajalah,” ujar Syahrul yang disebut koran-koran waktu itu sebagai Jenderal Besar Reformasi.

Kini tokoh-tokoh reformasi sudah banyak yang lupa. Ada yang nyaman dengan kedudukannya di tengah hiruk pikuk perebutan kekuasaan. Mulai duduk di legislatif, eksekutif, juga di yudikatif dan pers.

“Cita-cita reformasi itu berserakan setelah para aktivisnya tak lagi merasa perlu bergerak bersama. Konsep dasarnya sudah tak lagi berjalan. Nasib para aktivis pun ada yang beruntung ada yang tidak. Ini soal kepentingan pribadi dan pilihan hidup pula. Semuanya jadi sejarah,” papar sang Jenderal yang kini memilih menjadi politisi di Partai Bulan Bintang (PBB) Sumbar.

Mahasiswa Hari Ini

Syahrul memiliki harapan, agar mahasiswa hari ini memiliki sikap untuk mengisi kekurangan dari reformasi yang sudah berjalan. Sikap seorang mahasiswa, sebagai agent of change dan elite minority.

“Sejarah telah berlalu. Setiap generasi punya sejarah tersendiri. Bisa jadi, di era teknologi hari ini, wacana kemahasiswaan sudah banyak berubah. Apakah bisa sama, gerakan hari ini dengan 15 tahun sebelumnya. Tentu tidak,” jelas Syahrul.

Mahasiswa hari ini, mengisi dengan idealisme orang muda. Mengacu kepada perubahan negara dan bangsa ini. Turun ke jalan, bisa jadi tidak tepat lagi. Ada banyak cara yang lain bisa dibuat mahasiswa. Bisa lebih canggih!  Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi.

“Ditimbang-timbangkan, pra reformasi, pasca reformasi entah mana yang parah. Reformasi mengalami distorasi. Kerancuan gerakan ternyata terjadi tanpa disadari. Reformasi india mengacu kembali kepada kebudayaan. Reformasi di China mengacu kepada revalitalisasi ekonomi. Menghapus korupsi. Reformasi di jepang industri dan teknologi. Reformasi di Amerika kembali ke ajaran ortodok. Reformasi di Indonesia, entah!” ujar Syahrul yang punya gelar adat Sinaro Penghulu Basa ini.

Bagi Syahrul, sebagai pelaku jalannya reformasi 98 di Sumbar, tidak terlalu memiliki harapan terlalu banyak. Karena memang telah berlalu oleh perjalanan waktu.

“Reformasi memang melibatkan mahasiswa, tetapi tidak dilanjutkan. Sehingga diambil oleh mereka yang sudah merasa reformis. Kaum idealis tersingkir dengan sendirinya. Kini, mahasiswa bergeraklah. Ikutlah urus negeri ini, ” tutup mantan mahasiswa Syariah IAIN Imam Bonjol Padang ini. [Abdullah Khusairi]


Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA