Gagal Negoisasi dengan Tuhan
Pada bingkai kosmologi, nalar memang tidak mampu sampai pada hukum tuhan yang paling puncak, bernama kepastian. Akal terus berjuang aktif hingga menyikapi satu persatu lautan ilmu pengetahuan tentang kehidupan paling hakiki, kebenaran paling hakiki, sertai bagaimana sunatullah telah ditetapkan di alam ini, yang biasa disebut hukum alam.
Akal sangat terbatas, membatasi sendiri dan dibatasi keadaan. Akal diberikan kepada ummat manusia hanya untuk memikirkan alam, tidak Pencipta Alam, apalagi zat Pencipta Alam. Memikirkan alam Maha Pecipta saja, akal ternyata tidak mampu seutuhnya. Setiap hasil rekayasa nalar selalu ditemukan titik rumpang.
Begitulah catatan sehabis menikmati tontonan teater berjudul Anak Adam, produksi Teater Imam Bonjol (TIB) Padang, di Gedung Teater Tertutup, Taman Budaya Sumbar, Jumat (27/12), pukul 20.00 WIB.
Anak Adam, sebuah naskah yang menghadirkan dua kutub keyakinan yang berkembang dalam memahami takdir. Mengambil setting sejarah dalam al-Quran, peristiwa Habil dan Qabil, anak manusia pertama, Adam. Pada Teologi Islam, ini sudah jamak ditemukan, ada kutub yang meyakini seluruh kehidupan sudah menjadi rekayasa tuhan, sungguh tak ada campur tangan manusia. Sementara pada kutub yang lain, meyakini ada kebebasan yang diberikan tuhan untuk campur tangan manusia melalui akal. Manusia mendapat kesempatan untuk memilih jalan dari hukum alam (sunatullah) yang disiapkan Allah SWT.
Tentu saja, naskah ini dapat dikatakan sebagai naskah yang berat. Bermain di wilayah aqidah filsafat. Agak berat dipahami bilamana datang ke tribun penonton untuk mendapatkan hiburan, atau penyegaran. Justru yang didapatkan, setelah menonton ini, kembali berpikir berat. Pertanyaan filosofis yang biasa hadir saat sendiri dalam memahami kehidupan, akan datang lagi. Apakah arti hidup ini, apakah arti semua ini, dari mana semua ini, hidup ini digerakkan atau menggerakkan, atau kedua-duanya sedang berjalan. Dan pertanyaan-pertanyaan filsafat yang lainnya.
Pada dialog dua tokoh perempuan, Iqlima dan Labuda sangat jelas, yang seorang mewakil kutub kepasrahan kehidupan atas keseluruhan kehidupan ini sudah ada takdirnya sedangkan yang seorang lagi mewakili kebebasan berpikir dan peran akal dalam kehidupan diberi porsi, lebih. Hal itu juga terlihat dalam dialog dua tokoh laki-laki, Habil dan Qabil. Hingga puncak kematian pertama berdarah di muka bumi terjadi, negoisasi keinginan tuhan dengan keinginan manusia selalu berada dalam alam pikiran manusia. Dari sini, diduga, frasa "kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan" dilahirkan.
Pesan Gagal Terkirim
Pada dasarnya, pesan sangat sampai ke penonton, bagaimana maunya naskah dan kreasi sutradara. Namun hal teknis, yang ini mungkin sering luput, beberapa narasi penting dari narator ketika menghantarkan bingkai cerita, tidak sampai dengan utuh. Teriakan yang sayup-sayup itu, mungkin saja diniatkan bukan pesan utama. Namun demikian, sebagai penonton awam, yang ingin mendengar langsung dengung bunyi sastrawi berjiwa falsafi dari bingkai itu, ingin mengetahui lebih jauh. Apalagi jika sebelum menonton, tak memiliki katalog produksi. Ini menyakitkan, bagi penikmat teater awam seperti saya. Pemahaman saya, narasi haruslah menggema ke ruang utama dan dapat didengar secara jelas. Ini pesan yang gagal dalam produksi, apalagi jika penonton tidak memiliki frame teologi yang sama, atau memiliki persepsi yang berbeda.
Kegagalan ini memang bisa ditutupi totalnya para aktor dan piawainya sutradara dalam mengemas panggung. Pesan utama Anak Adam, sampai ke tujuannya, penonton.
Kegagalan ini memang bisa ditutupi totalnya para aktor dan piawainya sutradara dalam mengemas panggung. Pesan utama Anak Adam, sampai ke tujuannya, penonton. Mereka total di Panggung, Jumiati Rahmayani (Labuda), Syaidatul Hadawiyah (Iqlima), Nia Rosniza (Saudari perempuan satu), Ravel Fadhila Mutia (saudari perempuan dua), Tari Rahman (saudari perempuan tiga), Sultan Jiyad Muqshith Asmara (Qabil) dan Oky Saputra (Habil).
Sementara di belakang panggung juga telah bekerja baik, Rian Afdola (Sutradara), Nur Widya Anggraini (pimpinan produksi), Yoki Suryawardana, Nanda Hidayat, Danul Quita, Rendy Hakimy Sadri (musik), Edo Pernanda (Tata Cahaya & Tata Panggung), Rahmadani (Make Up & Costum).
Saya suka teater dan pernah aktif. Beberapa kali mendapat peran panggung, besutan sutradara yang dosen saya waktu mahasiswa dulu, Sheiful Yazan. Ia juga hadir menonton Anak Adam. Kami memberi selamat kepada kru dan aktor usai pementasan. Kami bangga, tentunya.
Ada tiga orang dosen Fakultas Dakwah & Ilmu Komunikasi IAIN Imam Bonjol Padang yang menyempat hadir, Neni Efrita, Sheiful Yazan dan saya sendiri. Selain itu, di belakang panggung, yang biasa mengasuh UKM TIB, ada Zelfeni Wimra, dosen Fakultas Syariah yang pernah memimpin TIB 1999. Mandeh Neni hadir, ada putranya yang menjadi aktor. Ia bangga malam itu.
Produksi keseratus sekian, TIB patut diacungi jempol. Di tengah keterbatasan dana, tetap bergerak dan hidup. Selalu dapat tampil pada ivent penting kesenian di Sumatera Barat. Sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang, UKM ini telah melahirkan pekerja seni yang mumpuni dalam bidang menulis kreatif, aktor, pemusik, dll. Malahan, ada yang telah melangkah secara profesional di jagad seni.
Ketika panggung telah sepi, selalu ada pertanyaan yang menggantung. Bukan lagi pertunjukan teater bertajuk Anak Adam itu, tapi hal-hal lain. Tentang UKM TIB, yang sedari awal hadir membawa roh seni teater dan nasibnya sendiri. Yang senyatanya, juga kadang-kadang tidak bisa bernegoisasi dengan birokrasi di Kampus. Bernegoisasi untuk eksistensi, seperti halnya juga UKM-UKM lain, yang belum maksimal mendapat perhatian dari para pemimpin kampus. UKM masih menjadi urusan sambilan dan kadang-kadang seperti tampak tidak penting. Dianggap penting, bila ada gunanya, misal, menghabiskan proyek kemahasiswaan, menghabiskan anggaran tentunya, untuk bahan akreditasi, dll. Tapi kalau sudah urusan proposal dan dana, para pengurus UKM ini kerap mendapat hujatan, cacian, dari pada dihargai sebagai manusia kreatif yang harus dihargai setara konsumen! Boleh tanya, apa komentar pengurus UKM soal ini. Saya haqqul yakin, akan bersepakat dengan ini.
Sebagai orang yang pernah aktif di UKM, juga sangat dekat UKM TIB, urusan dana memanglah sangat klasik di rumah sendiri. Ini menyakitkan tentunya, di tengah gelora muda untuk berkreasi dan berprestasi. Sayangnya, malam Anak Adam dipertunjukkan di gedung utama ini, tak satu pun petinggi IAIN hadir. Dapat dimaklumi, betapa sibuknya program kerja akhir tahun untuk sebuah lembaga yang sedang mengejar status UIN.
Mujurnya, tuhan memang sayang bagi mereka yang terus berjuang, Anak Adam pernah menghadirkan 1500 orang penonton di Gedung Serba Guna (GSG) IAIN. Momentum kehadiran awal semester ganjil, hadirnya mahasiswa baru dapat dibaca oleh tim produksi. Ini dengan tiket, lho. Tentu, UKM TIB bisa bernapas lagi.
Terakhir, selamat teman-teman TIB. Teruslah berproduksi, teruslah berjuang, teruslah bernegoisasi dengan tuhan dan juga dengan birokrasi di kampus ini. Salam kreatif! []
Colek para senior, bang Yusran Harianto, bang Ivan, Marhalim Zaini, Rinal Sagita, Joko, Isral, Monjais, Mardianto. Saya jadi ingat produksi awal, semoga dimainkan lagi, Ini Bui Budi.... Hehehe....
No comments:
Post a Comment