Pejabatnya tidak memenuhi standar dan kapasitas yang baik, hasil dari politik praktis tingkat paling ortodok. Pejabatnya banyak berpikir kerdil dan sempit. Tidak luas. Pemikiran serupa itu, dimungkinkan karena pengetahuan dan wawasan yang terbatas. Mereka berebut kekuasaan tapi tidak dengan kemampuan tapi bersandar sekte.
Walau mereka sudah bergelar akademik, doktor dan profesor namun sesungguhnya mendapatkan sesuatu dengan perjuangan paling minimal. Mereka melakukan apa saja demi jabatan dan pangkat naik. Ini baik, sayangnya tidak diikuti oleh pengetahuan dan kemampuan kepemimpinan. Mereka merangkak dari bawah, dari dasar di sini, bertahun-tahun lamanya. Hebat.
Sayangnya, mereka tidak siap dan peka dengan kemajuan atas nama lembaga. Mereka justru memiliki sikap, rebut ambil kuasa walau setelah itu tidak tahu apa-apa. Cita-cita mereka, rendah. Pragmatis.
Berpikir sempit akan membuat dunia jadi kecil, mental yang miskin akan membuat kehidupan jadi miskin. Ini juga berlaku dalam kepemimpinan di tingkat manapun. Jabatan dapat tapi kehormatan tidak.
Manajemen yang amburadul, pegawai yang tidak terpimpin dengan bijak. Tidak efektif. Matinya jalur birokrasi pada seseorang. Sistem kian kusut dengan rasa suka tidak suka pada seseorang.
Lembaga pendidikan yang diharapkan hadir sebagai lembaga ideal melayani dunia pendidikan hanyalah sebagai sarang busuk.
Awalnya, dapat diperkirakan, ini hanyalah semacam dinamika kantoran biasa. Namun lama kelamaan terasa, ada kekacauan cara berpikir tim kerja di setiap lini di lembaga pendidikan satu ini. Koordinasinya rendah sekali. Kinerjanya jangan dikata, begitu banyak waktu terbuang karena koordinasi dan kebijakan sangat lamban. Ketika masalah telah meruyak kemana-mana, kebijakan baru hadir terlambat dan sangat telat.
Beda lembaga swasta, yang setiap saat selalu ada koordinasi. Masif dan terukur. Siapa mengerjakan apa, waktunya berapa, dimana, bagaimana golnya. Di sini, tidak jelas. Pimpinannya petantang-petenteng, mengakui kehebatan dan membanggakan jabatan. Mereka memang mengejarnya dari bawah, sehingga jabatan tertinggi hari ini yang dipikulnya adalah tujuan, bukan akhir dan tempat berladang amal. Memang mereka tidak mampu, untuk itu.
Kalau di lembaga swasta, nyaris tak ada waktu tersisa mencapai tujuan bersama, sementara di lembaga pendidikan ini, kian tidak jelas hari-hari yang dijalani dengan apa yang dituju. Berserakan pegawai tanpa koordinasi. Kasihan negara. Habis uang. Mubazir.
Tulisan ini atas nama kecintaan dan kepedulian. Kalau tidak ditulis, maka saya akan sama dengan mereka cara berpikirnya. Itu bagi saya, dosa. Saya memikirkan bagaimana idealnya sebuah lembaga pendidikan, hasil dari riset dan pembacaan, melihat langsung bagaimana sebuah lembaga di tempat lain, seperti di Malaysia, di Singapura. Lembaga itu ideal ketika dilihat dari luar. di sini, luar dalam sangat keropos. Di luar, kita akan mendapat cemooh, dimana citra lembaga yang hancur. Tidak tertata dengan baik. Keropos di dalam keropos di luar.
Pelayanan masih manual dan sangat payah. Kegagalan manajemen akut ini tercitrakan dalam mental dan spiritual tenaga pekerja dan pejabat-pejabatnya, keadaan dari kampus ini sendiri amburadul. Tidak ada taman, tidak menarik untuk disinggahi, malahan amat malu kalau ada tamu masuk. Alasannya pasca gempa, tapi itu tidaklah mencari alasan. Harusnya giat mengejar penyelesaian setiap persoalan. Bagi habis pekerjaan setiap pagi, sore hari dievaluasi. Begitulah pengalaman mengajarkan. Setiap level pemimpin hendaknya membagi habis tugas-tugas rutin itu dan menyelesaikannya dalam waktu yang ditentukan. Kalau akhirnya seluruh tugas itu habis, ketika itulah kreativitas untuk perbaikan lebih lanjut akan lahir.
"Tidak ada dana, tidak ada dalam rancangan anggaran," begitulah kalau mereka tidak mau mencairkan dana untuk kegiatan mereka yang dibenci. Sementara, untuk mereka yang pandai menjilat, pandai menyuap, lancar saja. Sebenarnya ini, normal saja di tengah masyarakat yang haus dan rakus. Tapi akan sangat tidak normal, di tengah arus kehidupan yang membaik penuh cita rasa profesionalisme. Jawaban akan diterima tidaklah serupa itu, walau kadang-kadang akhirnya, kenyataan akan berubah serupa itu.
Malahan, ada tamu, bila waktu makan tiba, pejabat mengelak. Tidak ada dalam anggaran jamuan makan. Gila!
Selasa, 8 Desember 2015. Tak ada yang lebih gila dari peristiwa idiot satu ini. Undangan seminar ditanda tangani pimpinan dengan kop surat sebagai panitia. Seharusnya, ditanda tangani oleh ketua panitia dan turut mengundang di bawahnya pimpinan. Kali ini, hanya pimpinan. Lebih aneh lagi, dari pembicara seminar itu, pimpinan tampil pula sebagai pembicara. Ini diduga menyangkut honor. Menyedihkan.
Selain menyedihkan, ada pula yang paling ironis. Para pimpinan berangkat ke luar kota. melaksanakan penandatangan MoU dengan Pemkab. Pergi tidak dengan mobil dinas 2000 cc, sebagai simbol pimpinan. Tapi dengan mobil rental 1,3 cc. Lucu sekali. Selidik punya selidik, ternyata, anggarannya transportasi yang dipakai memang mobil rental. Aneh. Pimpinan pergi dengan mobil rental, sementara mobil dinasnya ngendon di kanopi. Saya kira, tak ada hidup yang sebodoh ini.
Pasti ada solusi untuk seorang pimpinan bilamana ia akan keluar kota. Selalu disediakan dana transportasi, tentunya. Sungguhpun dana sudah habis, tentu bisa dipakai dana talangan, atau entah apa namanya, saya tidak mengerti. Atau dengan dana pribadi pimpinan, toh tunjangan segede gaban tiap bulan diterima. Aduhai. Hahaha. Lawak. []
No comments:
Post a Comment