Cebong - Kampret

Cebong - Kampret 

Banyak sekali yang menanyakan bahkan menebak sendiri, saya cebong atau kampret! Paling banyak yang menuduh saya cebong. Biar sajalah, hak dia pula untuk berpendapat. Hormati pendapat orang, walaupun salah! hahaha. 

Padahal, teman-teman saya banyak di kampret. Mereka baik-baik semua. Begitu juga di cebong, baik-baik juga. Lalu saya dimana? 

"Apa urusan anda menanyakan begitu?" kata seorang gubernur saat wawancara live streaming dari redaksi televisi. Sebuah pernyataan yang sangat menggelitik dan viral jadinya. 


Saya? Lha, apa urusan. Saya Aparatur Sipil Negara (ASN) diatur UU ASN, UU Dosen, UU Sisdiknas. Juga kadang-kadang harus patuh pula dengan UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE, dan UU lainnya. Turunan UU itu, juga banyak. Mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dsb. Saya senyatanya tak boleh berpartai, tak boleh berpolitik praktis, tak boleh ini tak boleh itu? Apalagi saya harus masuk ke arus cebong atau kampret! Saya dimana? 

"Saya di tribun paling murah, menikmati permainan yang tak terlalu asyik. Tetapi masih bisa berkomentar?" saya menjawab dengan analogi sedang menonton dua kesebelasan. 

Saya dicibir. Tidak nasionalis. Tidak agamis. Tidak islamis. Lha, ini bagaimana urusannya? Apakah tanpa jadi cebong maupun kampret bisa tetap nasionalis, agamis dan islamis? Sejak sekolah dasar, saya belajar di lembaga Islam hingga ke tingkat doktoral. Tak percaya, baca curiculum vitae, tak juga, datanglah ke rumah saya, lihat ijazah saya. 

"Dari pernyataan anda, anda memang cebong dengan aliran liberal." 

Terserah. Bagi saya, cebong atau kampret, keduanya tak penting, tak memiliki signifikansi atas visi dan misi yang saya emban. 

"Anda egois."

Situ juga. Jangan harap saya mau ikut tanpa ada sesuatu yang bisa tertarik dan mendapat keuntungan. Untuk apa saya berhabis hari berhabis waktu untuk menjadi bagian dari cebong atau kampret? 

"Anda materialistis" 

Terserah. Memangnya salah. 

"Anda pragmatis." 

Amerika maju pesat dengan pragmatisme. Ada yang salah? Jika pilihannya dua, cebong dan kampret, kenapa tak boleh dibuat tiga. Misalnya, jawi, wowo, kabau, anjiang, kambiang, caciang, dsb.

"Halah. Anda sebenarnya ngeles. Sebenarnya anda Kampret." 

Dasar laut bisa diselami, dasar hati siapa tahu. Saya tak memiliki kekuatan apa-apa untuk menjadi cebong dan kampret. Tidak punya kepentingan untuk itu. 

"ASN juga banyak yang terang-terangan mendukung dan menjadi cebong atau menjadi kampret. Anda penakut." 

Memangnya penakut itu suatu dosa? Bagaimana jika pilihannya tak ada yang menarik di antara dua itu. 

"Sepertinya Anda juga terlibat dalam pemikiran antidemokrasi." 

Lha, tak memilih juga dihormati oleh demokrasi, kan? Justru memaksa orang lain, itulah tidak demokratis! Perlu apa, agar saya terlihat cebong atau kampret? 

"Begini ya. Kita harus berjuang untuk negeri, berjuang untuk agama. Salah satunya, pilih pemimpin yang baik. Yang baik di antara yang buruk sekarang ini, ya cebong." 

Oalah, mas. Saya menganggap kedua-duanya, sangat baik. Sangat meyakinkan. Saya justru kian tak tega kalau ada yang kalah. 

"Tetapi keduanya harus ada yang kalah. Itulah suksesi. Makanya, anda pilih yang mana?" 

Saya tak hendak memilih, toh saya entah datang entah tidak ke TPS. Terserah yang mengundang. Biasanya tak ada undangan ke rumah untuk datang ke TPS. Lalu mau apa? Lagian, siapa yang menawarkan dua pilihan, kenapa tidak tiga, empat, lima, dsb.

"Anda benar-benar buta fakta politik. Anda tidak menghargai negara ini." 

Jadi, saya membayar pajak, mengabdi diri mengajarkan generasi, belajar setiap saat, bukannya menyumbangkan kepada negara, anda? Siapa? politisi? akademisi? tukang sorak? pemodal partai? apa yang telah anda buat? Kegaduhan? Jangan-jangan justru kehadiran anda yang merugikan negara ini. Sekarang begini saja, kerjakan tugasmu. Jalani peranmu. Saya pun begitu. Jika duduk di tribun, nonton yang baik. Berpendapat sajalah seadanya. Jangan sok tau, merasa serba tahu, jangan lupa belajar terus menerus. Jangan berhenti. Agar tidak "tinggi ruok dari boto." Oke. 

Mukanya merah padam. []

Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA