Sebuah diskusi terbatas mengenang dua tahun gempa 2009, Redaksi Singgalang mengadakan diskusi terbatas Selasa (27/9). Tampil sebagai narasumber Ketua DPRD Sumbar, Yulteknil, Wawako Padang Mahyeldi Ansharullah, Ka Pusdalops BPBD Sumbar, Ade Edward dan PJOK RR Sumbar, Zulfiatno. Tampil sebagai penanggap pamong senior Rusdi Lubis, Taufik dari LBH, wartawan Darlis Syofyan, Sawir Pribadi dan Erdi Janur. bertindak sebagai moderator Abdullah Khusairi. Hasil diskusi itu dirangkum Septri Lediana dan Arif Rizki. Berikut laporannya:
***
Sampai sejauh itu, sebagian warga masih merenggangkan pintu kamarnya, saat hendak tidur. Jika gempa, bisa cepat menghambur. Gempa 2009 yang dahsyat itu, telah menjadi pelajaran amat berharga.
Peserta diskusi membedah berbagai persoalan. Menurut Abdullah Khusairi, narasumber memiliki kepedulian yang luar biasa atas kondisi Sumbar pascagempa. Ia mencatat, diperlukan keserasian cara pandang, validasi data dan kesamaan bahasa dalam memandang kondisi pascagempa.
Kesamaan bahasa itulah yang digarisbawahi Wawako Mahyeldi. Jika dilihat dengan kacamata politik, maka semua terlihat timpang. Cara pandang semacam itu, tidak obyektif, tapi subyektif dan itu berbahaya.
Wawako menilai, apapun rencana yang diperlukan dana untuk menopangnya. Untuk dapat dana, kata Ketua DPRD Yultekhnil diperlukan lobi yang kuat.
Sumbar dan Padang, menurut Mahyeldi, tidak bisa disamakan dengan Jepang. negara itu, mempersiapkan diri dengan matang. Budaya dan ekonomi kedua negara berbeda.
Wajar terjadi gejolak, karena semua masyarakat merasa butuh dan merasa penting, sementara pemerintah baru “belajar” pula menangani bencana.
Yang pasti ada delapan agenda rehab rekon di Padang: Pembangunan pusat pemerintahan, mengoptimalkan dukungan anggaran. Berikut membangun Pasar Raya dan pasar satelit. Menata transportasi. Wajar kondisinya seperti sekarang, karena semua menumpuk ke pusat kota, terutama Padang Barat. Selanjutnya pemulihan sarana dan prasarana pendidikan. Yang terpenting, pemulihan mentalitas warga kota. Karena itu dibentuk kelompok siaga bencana. Lalu penyempurnaan RTRW dalam RPJM, karena kondisi memang harus mengarah ke situ. Untuk semua itu kuncinya: dana!
Setelah dua tahun
Setelah dua tahun berlalu, rehab rekon terus dipacu. Ratusan ribu rumah warga sudah diperbaiki. Namun masih ada dampak bencana yang belum utuh terbenahi. Selain melakukan pembenahan, Pemprov Sumbar harus membagi fokus pada program penanggulangan bencana dan mitigasi. Shelter, jalur evakuasi dan pembuatan rambu-rambu. Tapi hulunya tertinggal : sirene.
Program kebencanaan dan anggaran belum pro mitigasi. Tapi cenderung pada proyek fisik saja.
Hulu tertinggal
Hulu mitigasi yang tertinggal tak lain adalah sirene. Dibutuhkan 600 sirene, yang ada baru enam. Itu pun dibangun sejak 2007. Lalu berhenti sampai di situ saja. Badan yang bertangunggjawab atas mitigasi, yaitu BPBD sejak 2008 tak kebagian anggaran untuk menambah sirene.
“Dari 2008 telah kita usulkan untuk ditambah. Tapi tak pernah lolos,” kata Ade Edward.
Enam sirene itu masing-masing satu di tujuh kabupaten kota rawan tsunami minus Mentawai. Yakni Padang, Pariaman, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, Agam dan Pasaman. Padahal seharusnya tiap jarak 2 kilometer ada satu sirine. Tiap sirine hanya menjangkau hingga 1,5 kilometer. Lebih dari itu masyarakat tak mendengar.
Sirene, kata dia, perlu jika tsunami benar-benar datang. Dengan demikian, warga bisa bersiaga penuh.
Kebijakan tak kompak
Selain itu, upaya memperkuat mitigasi menjadi compang-camping karena aksi tak kompak di lapangan. Pemerintah membangun tapi tetap ada saja yang melanggar.
Satu contohnya, upaya meniadakan pemukiman di ring I (zona merah) yakni 500 meter dari pinggir pantai masih ada yang melanggar. Tapi nyatanya masih ada pembangunan pemukiman dilakukan.
Ada pula pembabatan batang rumbio.
“Seharusnya kabupaten kota menindak tegas. Harus ada kekompakan,” kata Ade.
Agar koordinasi baik, pembangunan kebencanaan harus masuk Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Agar ada pedoman pelaksanaan sampai ke kabupaten kota. “Nyawa nomor satu,” katanya.
Dana terbatas, lobi tak lancar
Ada program yang tercicir karena anggaran memang tak cukup. Sumbar tak sanggup tanpa bantuan pemerintah pusat. Pemerintah pusat pun pilih-pilih mendanai program. Alhasil pasti ada yang tercecer.
“Untuk rehab rekon gempa 2009 saja butuh dana Rp6,4 triliun. APBD Sumbar cuma Rp2,1 triliun setahun. Belum lagi untuk mitigasi, bangun shelter dan sebagainya. Sumbar tak sanggup tanpa suntikan dana pusat,” kata Ketua DPRD Yul Tekhnil. Mau tak mau ada rencana anggaran yang dicoret.
Sayang ia menilai lobi Pemprov pada pemerintah pusat kurang. “Kita tak punya tokoh yang punya lobi bagus, di DPR saja ada 60 orang Minang, 14 ikut berasal dari daerah pemilihan Sumbar,” katanya. Ia mendesak agar potensi itu, dimanfaatkan.
Bantuan dana dari pusat memang sudah sering diterima. Tapi itu dinilai masih kurang. Buktinya masih ada pembangunan penting yang belum dilakukan karena ketiadaan uang.
“Carilah duit yang banyak,” kata Yul. (*)
Wednesday, October 12, 2011
Sumbar Memerlukan Lobi dan Dana
Diskusi Dua Tahun pascaGempa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment