Oleh: Dahlan Iskan, Dirut PLN
SETELAH menelusuri Sulawesi, saya kembali melakukan perjalanan jauh. Dari Lampung terus ke utara. Bahkan sampai mendekati Hollywood dan bermalam di Bil Hotel di Kingstone.
Orang Sumsel memang selalu bangga menyebut Kota Kayu Agung dalam bahasa Inggris (Hollywood) dan Baturaja menjadi Kingstone. Sedangkan Bil Hotel tadi sebenarnya hanya singkatan dari Bukit Indah Lestari.
Karena berangkat dari Lampung sudah sore, rombongan baru tiba di Kingstone, eh Baturaja, pukul 00.00. Tanggal sudah berubah menjadi 22 September 2010. Makan malam yang disiapkan teman-teman PLN setempat menjadi mirip makan sahur di bulan Syawal.
Kali ini, perjalanan dimulai dari melihat PLTU Tarahan (Lampung) 2 x 100 MW yang sering bermasalah. Mirip PLTU Labuan Angin di Sibolga. Ada saja bagian dari boiler yang rusak. Bulan depan, persoalan tersebut harus selesai. PLTU Tarahan harus bisa menjadi andalan untuk mencegah terulangnya krisis listrik di Lampung. Terutama krisis listrik yang kronis yang selalu terjadi pada setiap musim kemarau.
Ketika saya tiba di Tarahan, satu boiler-nya sudah berhasil diperbaiki. Bulan depan giliran boiler unit-2 pun bisa sembuh total. Tim PLN telah belajar banyak dari kasus itu. Kini, mereka tahu kelemahan apa saja di sistem boiler CFB. Baik yang buatan Eropa seperti di Tarahan maupun yang buatan Tiongkok seperti yang di Labuan Angin. Banyak bagian di boiler sistem itu yang rusak karena “kalah” oleh flow batu bara.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, saya lebih bangga kalau tim PLN sendiri yang mengatasi. Sambil belajar keras. Saya tidak mau PLN bergantung pada tenaga asing. Maka, kami pun memutuskan agar PLTU Tarahan dijadikan pusat kajian dan pusat belajar untuk sistem CFB.
Memiliki kemampuan sendiri tersebut penting karena PLN segera memiliki banyak sekali pembangkit baru yang menggunakan sistem CFB. Yakni, PLTU-PLTU proyek 10.000 MW tahap I. Mengoperasikan PLTU dengan boiler sistem CFB memang barang baru bagi PLN.
Untuk membina kemampuan diri sendiri itu pula, di Tarahan dibangun fasilitas simulasi pengoperasian CFB. Di sinilah para calon operator PLTU CFB bisa belajar.
Selesai meninjau PLTU tersebut, perjalanan dilanjutkan ke proyek PLTU Tarahan Baru yang berjarak hanya setengah jam perjalanan darat. Itulah proyek 10.000 MW di Lampung yang mulainya sudah sangat terlambat. Di sini, kami mendiskusikan bagaimana caranya agar unit-1 PLTU itu sudah bisa sinkron Juni tahun depan.
Mengapa Juni? Juni adalah awal musim kemarau. Setiap musim kemarau, Sumbagsel selalu mengalami krisis listrik. Tidak pernah teratasi. Itu terjadi karena danau untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Maninjau, Singkarak, dan Bukit Panjang kekurangan air. Akibatnya, wilayah tersebut bisa kehilangan listrik sampai 350 MW.
Kalau saja PLTU Tarahan dalam keadaan sehat dan unit-1 Tarahan Baru berhasil beroperasi, kekurangan 350 MW itu bisa tertutupi. Apalagi, PLTU milik swasta di Simpang Blimbing, dekat Prabumulih, juga akan selesai pada Juni tahun depan. Di atas kertas, kekurangan listrik akibat kemarau akan bisa diatasi karena dari Simpang Blimbing akan dapat tambahan 230 MW.
Menjelang senja, kami meluncur ke pedalaman. Teman-teman PLN di Kota Metro sudah menunggu. Banyak persoalan di kawasan itu. Mulai tegangan listrik yang tidak stabil, banyaknya kecurangan dalam penyambungan, sampai soal nasib sekitar 100.000 rumah yang berlangganan listrik lewat koperasi yang menginginkan pindah ke PLN.
Jajaran PLN di Lampung kini memang lagi gencar melakukan berbagai penertiban. Tak ayal bila reaksi keras bermunculan. Terutama dari mereka yang merasa akan kehilangan objekan. Sangat banyak SMS dari Lampung yang masuk ke HP saya. Umumnya berisi caci-maki kepada jajaran PLN. Dalam dialog di Metro itu, salah seorang pimpinan PLN setempat mengemukakan kegalauan perasaannya. Dia khawatir jangan-jangan saya terpengaruh oleh SMS-SMS tersebut.
Di situ saya kemukakan bahwa saya bisa membedakan mana SMS yang tulus dan mana SMS yang bulus. Maka, saya tegaskan: Direksi PLN berdiri tegak mendukung upaya penertiban yang dilakukan di Lampung.
Tepuk tangan bergema keras. Itu pertanda bahwa teman-teman PLN Lampung tidak akan gentar memerangi praktik-praktik curang selama ini.
Soal tidak stabilnya tegangan juga bisa dipecahkan dalam dialog tersebut. Sebab, dalam rombongan itu, ikut juga Direktur Operasi Indonesia Barat Harry Jaya Pahlawan, Direktur Perencanaan dan Teknologi Nasri Sebayang, serta beberapa staf penting PLN. “Saya lihat gardu induk di dekat sini sudah selesai dibangun. Apakah bisa segera difungsikan?” tanya seorang manajer di Metro.
Kesimpulan dialog: bisa! Maka, malam itu juga gardu induk tersebut bisa dioperasikan. Memang masih ada masalah kecil, namun tiga hari setelah itu benar-benar bisa menyelesaikan keluhan tegangan yang sudah bertahun-tahun lamanya.
Pukul 21.00, kami berhenti di kantor PLN Ranting Kota Bumi. Ternyata, masih banyak karyawan yang menunggu. Karena banyak pegawai baru yang latihan kerja di ranting itu, kami pun berdoa mudah-mudahan mereka yang umumnya masih bujangan tersebut bisa segera mendapatkan jodoh di desa itu. Kalau tidak, he he, mereka akan minta cepat-cepat dipindah ke Jawa.
Karena baru pukul 00.00 tiba di Baturaja, malam itu hanya sempat tidur empat jam. Pukul 05.00, rombongan sudah harus bergerak ke proyek PLTU Simpang Blimbing yang sudah saya sebut di atas. Letaknya jauh di pedalaman hutan karet Sumatera Selatan.
Itulah PLTU mulut tambang satu-satunya yang sudah dikerjakan. Puluhan proyek PLTU mulut tambang lainnya baru sampai di bibir belaka. Saya menyampaikan penghargaan kepada pimpinan Shenhua atas keseriusan investor ini. Di Simpang Blimbing, kami bisa melihat sistem kerja yang sangat profesional. Semua serba teratur: penyiapan lahannya, penempatan materialnya, flow pekerjaannya, dan kerapian proyeknya. Dan yang lebih penting: ketepatan jadwal penyelesaiannya, Juni 2011.
Proyek Simpang Blimbing juga merupakan PLTU pertama di Indonesia yang akan menggunakan mesin pengering batu bara. Memang, moistur (tingkat kebasahan) batu bara Simpang Blimbing sangat tinggi. Hampir 50 persen. Kalorinya ternyata juga hanya 2.300. Namun, dengan mesin pengering itu, batu bara yang begitu jelek bisa dimanfaatkan.
Dari sini, perjalanan terus menuju utara membelah bagian tengah Pulau Sumatera. Tengah hari, sampailah di PLTU Bukit Asam. Lalu, mampir lagi di kantor PLN Cabang Lahat, Cabang Lubuk Linggau, dan pukul 21.00 tiba di lokasi PLTU kecil Sarolangun. Itu sudah bukan di wilayah Lampung atau Sumsel, melainkan sudah masuk Provinsi Jambi.
Di wilayah itulah saya mendapatkan renungan yang dalam. Akan diapakankah batu bara yang begitu melimpah di kawasan pedalaman Sumatera ini? Kawasan itu begitu jauh dari pantai. Untuk mengangkutnya ke pantai timur, perlu membuat jalan 300 km. Ke pantai barat terhalang pegunungan Bukit Barisan. Saya mendiskusikannya sepanjang jalan.
Mungkinkah batu bara yang melimpah tersebut bisa menjadi sumber kemakmuran rakyat setempat. Apa peran PLN untuk pertumbuhan ekonomi wilayah itu? Dari sinilah kami berpikir untuk membangun saja PLTU-PLTU besar mulut tambang berikutnya. Baik untuk kepentingan Sumatera masa depan maupun untuk ekspor listrik ke Malaysia. Apalagi, transmisi 275 kv trans-Sumatera telah selesai dibangun dan tepat melewati kawasan itu. Lebih baik mengirim listrik daripada mengirim batu bara ke mana-mana.
Di pedalaman Jambi ini keluhan akan listrik juga sama: tegangan yang tidak stabil. Maklum, kawasan tersebut jauh dari mana-mana. Selesainya PLTU kecil (2 x 7 MW) di Sarolangun (Oktober ini beroperasi) akan banyak membantu memperbaiki tegangan tersebut. Itulah PLTU kecil tapi cabai rawit.
Maka, dalam peninjauan tersebut, saya kemukakan satu filsafat kuno. “Gunung tidak harus tinggi, yang penting ada dewanya. Sungai tidak perlu dalam, yang penting ada naganya.” Orang hidup itu tidak harus hebat dan serbabesar. Yang penting bisa penuh arti atau tidak. Saya lebih menghargai proyek kecil yang penuh arti daripada proyek besar yang tidak jelas tujuannya.
Di kota kecil Sarolangun itu, saya juga belajar menahan diri. Dalam acara makan malam bersama bupati setempat, disajikanlah durian kebanggaan setempat. Yakni, durian yang jumlahnya tidak banyak tapi selalu dicari orang sampai mancanegara. Namanya durian hujan emas.
Saya sungguh tidak tahan memandangnya. Air liur saya mulai menggenangi mulut. Sebenarnya, saya tidak berminat menyentuhnya. Tapi, air liur itu telah lebih dulu menggerakkan tangan saya. Lap! Sejumput durian masuk ke mulut. Bukan main lezatnya. Pimpinan Jambi Ekspres yang mencegat saya di Sarolangun melihat itu. Dia segera menyingkirkan sisanya. Saya pun selamat dari ambisi besar menghabiskan si hujan emas.
Di Sarolangun, saya juga hanya tidur beberapa jam. Sebelum subuh sudah harus meneruskan perjalanan ke Ombilin. Tentu harus mampir di Bangko untuk salat subuh dan untuk memenuhi keinginan arus bawah yang kuat: toilet.
Tentu kami pusing di Ombilin. Mau diapakan PLTU Ombilin yang 2 x 100 MW itu” Konsep awal PLTU tersebut adalah mulut tambang. Ombilin memang kota batu bara yang amat legendaris. Sejak zaman Belanda sudah ada tambang batu bara di dekat Kota Sawahlunto ini. Masih terlihat bekas-bekas peninggalan tua di mana-mana. Tapi, batu bara itu menipis. PLTU kita yang masih relatif baru tidak mendapatkan pasokan yang cukup. Terpaksalah sebagian besar batu bara didatangkan dari Jambi. Jaraknya 200 km! Alangkah dilematisnya PLTU itu.
Memang ada rencana PT Bukit Asam untuk menambang bawah tanah di Ombilin. Tapi, ternyata baru wacana. Saya perlu banyak ide untuk mengatasi persoalan tersebut. Kepada pimpinan daerah setempat, saya kemukakan barangkali hanya Tiongkok yang cocok mengerjakan tambang bawah tanah. Mungkin orang kita tidak cocok mengerjakannya. Terutama karena kita-kita ini harus sering istirahat keluar dari lubang tambang. Misalnya, untuk salat lima waktu. Masalahnya: Apakah rakyat setempat rela melihat semua penambang itu datang dari luar negeri?
Masih banyak yang harus kami singgahi hari itu: PLN Cabang Solok, PLTU Teluk Sirih, PLN Cabang Padang, dan P3B Sumatera. Di Cabang Solok, kami melangsungkan dialog di teras saja. Ditemani kue-kue lokal yang amat lezat. Teman-teman PLN Solok sudah menyiapkan acara di gedung pertemuan. Namun, karena kami sudah berjam-jam berada di ruangan sempit (mobil), kami ingin agar bisa agak lama di udara terbuka.
Dalam dialog di taman itulah persoalan tegangan di kawasan tersebut juga berhasil dipecahkan. Di kota kecil Lubuk Gadang dan Liku, misalnya, tegangan listrik tinggal 9 dari yang seharusnya 20 atau 21. Tegangan di situ begitu jelek karena berjarak 240 km dari gardu induk terdekat. Itulah, saya pikir, jaringan penyulang 20 kv terpanjang di Indonesia. Maka, saya buka diskusi untuk menyelesaikannya. Akhirnya, pimpinan tertinggi PLN Sumbar, Krisna Simbaputra, menemukan jalan keluar. Salah satu genset di Kota Sungai Penuh akan dipindah ke kota kecil itu. Fungsinya untuk memperbaiki tegangan.
Memang ada persoalan sosial: Apakah rakyat Sungai Penuh yang belum lama bergembira karena terbebas dari krisis listrik itu tidak marah” Kalau salah satu pembangkit di kota tersebut dipindah, bisa saja masyarakat mengira akan terjadi krisis listrik lagi. Itu mirip dengan suasana di Medan.
Sebenarnya ada beberapa pembangkit di Medan yang sudah menganggur. Namun, PLN tidak berani memindahnya sekadar karena ingin menjaga perasaan orang Medan. Rakyat Medan masih trauma dengan krisis listrik yang akut pada masa lalu. Mereka khawatir krisis listrik akan terulang kalau mesin dipindah. Padahal, tidak begitu. Lalu, bagaimana agar masyarakat tetap tenang” Mungkin pemindahannya dilakukan pukul 00.00 menunggu orang tidur semua.
Kabel 20 kv yang mencapai 240 km seperti itu jelas tidak baik. Seharusnya ada gardu induk di tengah-tengahnya. Tapi, di Padang ternyata ada yang lebih panjang: 270 km! Rasanya, itulah penyulang yang benar-benar terpanjang di Indonesia. Yakni, jaringan dari Padang yang menuju Kota Indrapura dan Tapan arah Bengkulu. Tegangan juga payah di sini. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali menambah gardu induk di tengahnya.
Ketika seluruh karyawan PLN Padang selesai salat asar berjamaah di masjid PLN Cabang Padang, saya diminta memberikan ceramah. Saya manfaatkan waktu itu tidak untuk berkhotbah, tapi untuk mendiskusikan persoalan tegangan di Tapan tersebut.
Ternyata, PLN setempat siap dengan jalan keluar. Akan dibangun GI khusus dengan peralatan yang dicarikan di berbagai gudang PLN di seluruh Indonesia. Dalam waktu enam bulan, GI itu sudah akan selesai dibangun. Di masjid tersebut, sambil lesehan, persoalan berat puluhan tahun itu terselesaikan.
Perjalanan panjang tiga hari ini seperti happy ending di Teluk Sirih, tidak jauh dari Teluk Bayur. Di proyek PLTU 2 x 100 MW ini, saya menemukan sikap manajer proyek yang mengesankan. Jalan masuk ke proyek itu memang masih payah, apalagi sedang diguyur hujan. Tapi, proyek tersebut kayaknya tidak akan banyak persoalan.
Ketika kami tiba di lokasi, sang manajer mengatakan begini: Bapak-bapak, serahkan proyek ini kepada kami, berikan kami kepercayaan, akan kami jalankan dengan penuh tanggung jawab dan akan selesai tepat waktu. Kami hanya perlu doa saja!
Mendengar sapaan itu, saya dan teman direksi saling berpandangan. Lalu, kami memutuskan untuk tidak banyak cakap. Bahkan tidak jadi turun dari mobil. “Inilah pimpinan proyek yang berkarakter,” komentar Nasri Sebayang. “Kalau semua kepala proyek seperti ini, cerita 10.000 MW akan lain,” sambung Harry Jaya Pahlawan.
Maka, kami pun langsung ke Bandara Padang. Kelelahan jalan darat selama tiga hari seperti terobati. Bahkan, saya sampai lupa mencatat nama manajer proyek yang hebat itu! (*) sumber: www.jpnn.com
Saya sangat suka blog Anda dan saya sangat menghargai isi kualitas yang sangat baik yang Anda posting di sini secara gratis bagi pembaca online Anda. Dapatkah Anda mengatakan kami yang blog platform yang Anda gunakan?
ReplyDelete