Launching Buku Perempuan Bawang & Lelaki Kayu

Menanak Pengalaman Jadi Cerita
Ulasan terhadap Perempuan Bawang & Lelaki Kayu karya Ragdi F. Daye

Oleh: Abdullah Khusairi, M.A.

Suatu hari, entah kapan, seorang mahasiswa menghampiri meja kerja saya di Harian Pagi Padang Ekspres. Dia kelak akhirnya jadi penulis! Ia datang bersahaja dan banyak bertanya. Lalu menyodorkan karyanya. Seterusnya, saya sering menelepon, untuk sekedar menyapa dan bertanya soal karya terbaru untuk halaman sastra yang saya asuh waktu itu.

Itulah Ragdi F. Daye, yang kita kenal hari ini, penulis Perempuan Bawang & Lelaki Kayu, yang kita bicarakan proses kreatifnya. Cerpen-cerpen di dalam buku ini, telah menempatkan Ragdi F. Daye bagian dari penulis yang lahir dari Ranahminang.

Sering sekali kami terlibat dalam diskusi tentang proses kreatif dan mengikuti banyak ajang lomba. Salah satu yang membuat salut kepada penulis satu ini, ia konsisten berjuang untuk eksis melalui seluruh kekuatan akses. Ia berhasil dan bisa menerbitkan buku ini. Selamat!
*

Membaca satu per satu cerpen yang terhimpun dalam Perempuan Bawang & Laki-Laki Kayu, ada beberapa catatan untuk kita diskusikan bersama. Catatan ini tak mengacu kepada teori kritik sastra. Selain tidak punya kompetensi, juga saya juga telah membaca epilog dari Bramantio yang sudah lengkap menelaah dari banyak sisi.

Sungguhpun begitu, bukan tidak ada celah yang dapat untuk diberi telisik dengan sasaran, menggali lebih jauh sisi lain kepenulisan dan tentu saja mendorong penulis buku ini, kita semua untuk terus menggali dan menggali hingga lebih “dalam” setiap tema kehidupan untuk mendapatkan “ma’rifat” dari kepengarangan.

Membicarakan karya sastra, biasanya tidak lepas dari tema, teknik, konflik, dan ending. Perempuan Bawang & Laki-Laki Kayu juga bisa dilihat di sisi ini. Saya selalu melihat hal ini sebelum memuat karya sastra. Antara satu penulis dengan penulis lain, selalu punya kelebihan tersendiri. Ragdi F. Daye, bagi saya, memiliki keragaman tema.

Pertanyaan awalnya, kenapa lahir sebuah karya? Inilah wilayah paling filosofis penulis melaksanakan kegiatannya. Dan jawaban paling mungkin tersebut adalah: Penyampaian Pesan! Pesan tersebut biasanya, keresahan, kritik sosial, sedihan, juga cita-cita. Alam idealitas seperti inilah yang kuat mendorong seseorang untuk menulis. Dari pengalaman kehidupan yang dimaknai dengan ketajaman naluriah maka lahirlah pesan dalam bentuk proses kreatif. Pelajaran yang dapat diambil dari buku Perempuan Bawang & Laki-Laki Kayu, betapa penulisnya memiliki banyak pesan yang ingin disampaikan. Namun jika diikat dalam sebuah kalimat pendek saja, perenungan panjang penulis tentang pengalaman hidup telah ditanak menjadi deretan cerita yang matang.

Tema-tema yang diangkat seputar kehidupan yang dimiliki memang enak dijalin jadi cerita. Minim sekali kesan, Ragdi F Daye bercerita hanya untuk cerita. Selalu ada “Sesuatu yang ingin dikatakannya.” Boleh jadi bentuknya pemberontakan, kritik social, perasaan penulis, dari apa yang telah diamatinya selama ini.

Teknik-teknik penceritaan yang kuat dengan narasi yang dibangun, telah membawa kita ke wilayah imajinasi sebuah tempat, perasaan, juga sikap dari tokoh terhadap suatu hal. Ini pula membuat kita tergelitik. Pada posisi ini, bagi sebagian orang teknik penceritaan tidak lagi penting.

Begitulah, termasuk dalam hal konflik. Perempuan Bawang & Laki-Laki Kayu bagi saya menawarkan konflik-konflik yang kadang tak lazim. Perdebatan dan kejutan yang diberikan, menunjukkan sikap penulis untuk menerangkan sesuatu. Di sini, segenap informasi tentang sesuatu itu dijelaskan secara mendalam. Baik melalui tokoh maupun melalui narasi bagi pengarang. Pengarang buku ini juga berhasil di sini menyelipkan kalimat-kalimat sastrawi. Memang terkesan minim, tetapi kalimat-kalimat yang dibangun sebagai narasi yang minim tetapi kuat.

Dan ini memang pernah kami bicarakan dalam sebuah diskusi di redaksi, Ragdi bertanya soal persiapan lomba untuk Creative Writing Institute (CWI-Kemenpora) 2006. Kebetulan setahun sebelumnya, saya ikut pelatihan CWI 2005 atas karya saya, Lima Puluh Ribu Rupiah yang Jatuh ke Ember Merah (La Runduma, 2005). Saya menjelaskan soal suspense dalam konflik. Juga kejutan demi kejutan yang harus dibangun dalam dramatisasi cerita. Kapan perlu di setiap paragraph. Ini ditangkap Ragdi dan Iggoy El Fitra waktu itu. Akhirnya Punggung karya Ragdi masuk nominasi dan termaktub dalam Loktong (CWI, 2006)

Pesan-pesan dalam buku ini sangat banyak dapat disimak. Bahkan, beberapa cerita mengisyaratkan "kenakalan" penulis memasuki wilayah pemahaman spiritualitas. Ironi pada "Mungkin Malaikat Asyik Berzapin" sangat jelas konstruksi masyarakat miskin kota dengan pemahaman agama yang sangat jauh dari harapan meraih kesalehan sosial. Dimana, keluarga terbengkalai hanya karena 'itikaf. Ini sebuah otokritik aliran-aliran dalam Islam. Saya salut kepada penulis mencari celah masuk yang menusuk terhadap pemahaman agama yang menelantarkan keluarga kecil Soka.

Cerpen Perempuan Bawang bagi saya, punya komentar, penulis ingin menuliskan ironi kemiskinan. Hidup berada adalah mimpi semua orang. Sementara garis nasib di ujung takdir tak bisa serta merta dialihkan. Sebab kekuasaan atas pasar tak bisa dimiliki oleh pedagang kecil. Sebentuk protes pada keadaan memang menjadi “material” cerita yang patut bagi penulis.

Cerpen Kubah. Sebuah realitas yang ditangkap penulis menjadi cerita dengan ketegangan yang cukup tinggi dan cepat. Dan saya ingat Dan Brown yang menulis Angels and Demons. Kepentingan ekonomi menyaru dalam masalah agama memang kadang-kadang membuat pengarang tertarik untuk mempertanyakannya; kenapa masih ada orang yang beragama tetapi tidak taat. Wilayah agama yang sudah terinstitusi juga kadang-kadang membuat birokrasi yang membuat kita harus memberontak karenanya.

Cerpen Jarak. Soal Solok-Padang memang banyak sekali ada dalam kumpulan cerpen ini. Tapi Jarak bagi saya adalah bentuk Malin Kundang versi abad ini. Tapi yakinlah, bahwa kerinduan atas akar asal selalu menjadi masalah bagi siapapun yang telah jauh melangkah. Ini terjadi baik di wilayah rohani maupun jasmani.

Ragdi F. Daye bagi saya dalam Perempuan Bawang, Kubah, Jarak, Lelaki Kayu, Di Solok Aku akan Mati Perlahan, Bibir Pak Gur Bengkok, Nostalgia, Seorang Lelaki dan Boneka, Seekor Anjing Yang Menangis, Rumah Lumut, Lekuk Teluk, Empat Meter dari Pangkal, Lereng, Mungkin Jibril Asyik Berzapin dan Rumah yang Menggigil, seorang penulis yang menganyam pengalaman dan pengetahuannya jadi cerita. Beberapa memang ada dari imajinasi liar dan kenakalannya bertanya. Misalnya, Seorang Lelaki dan Boneka.

Terakhir, kita mesti menunggu karya-karya dari penulis berkacamata ini. Saya sangat yakin, selepas ia menuntaskan masa lajangnya beberapa tahun lalu, dan telah punya keturunan, ada corak cerita baru yang ditawarkannya. Sebab, proses kreatif tidak bisa lepas dari suasana dari penulisnya. Terima kasih. []



Abdullah Khusairi, lahir di Sarolangun, 16 April 1977. Menye¬lesaikan pendidikan Srata 1 Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang (Tamat 2000). Aktif di pers mahasiswa, Suara Kampus. Melanjutkan Strata2 Filsafat Islam Program Pascasarjana (PPs) di lembaga yang sama (Tamat 2008). Sejak tahun 2000 bergabung ke Harian Pagi Padang Ekspres, Padang TV (2007), Posmetro Padang (2008), Padang-Today.com (2009).
Tahun 2010 memasuki ke wilayah akademis. Jadi dosen. Di sela-sela kesibukan, menyempatkan diri menulis fiksi. Aktif di Majelis Sinergi Agama dan Tradisi (Magistra) Indonesia. Cerpen dan esai tercecer di La Runduma (CWI-Kepmenpora; 2005), Opera Zaman (Grafindo; Jogja 2006), The Regala 204 B (Grapuraja; Jogja 2006), Kumpulan Cerpen Khas Ranesi, (Grasindo, 2007), Taufik Ismail di Mata Mahasiswa (Horison, 2008), Sayap Bidadari, Memorilibia Gempa 7,9 SR Sumbar, (Fahima, 2010). Juara I Journalist Writing Competitions Tentang Terumbu Karang Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK) Sumbar 2009. Hingga kini intens menulis. Blog, www.ruangkita.com, email, abdullahkhusairi@yahoo.com.

Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA