Kunci Pintu Sekali Putar, Apatisme yang Mekar
Abdullah Khusairi, MA
Bencana gempa telah melahirkan luka lara panjang. Menghancurkan infrastruktur. Meruntuhkan sendi-sendi kehidupan. Sejak beberapa saat setelah gempa, perubahan di sekitar kita mulai terjadi. Terus menjadi. Hingga memasuki masa tanggap darurat, masa rehabilitasi dan rekonstruksi, perubahan hebat merambat. Maka benarlah adegium dari ranah ini, sakali aia gadang sakali tapian berubah.
Perubahan tersebut baik disadari maupun tidak, ia merambat. Apa saja perubahan tersebut? Kita bisa lihat, paling tidak fenomena beberapa bulan belakangan. Setelah gempa, warga Kota Padang, pada malam hari mengunci pintu rumah dengan sekali putar saja. Padahal biasanya, pintu dikunci, anak kunci dicabut diletakkan ke tempat yang aman, tidak tinggal di pintu. Juga diberi pengaman tambahan, berupa palang. Ini sebuah perubahan. Asumsinya, kalau terjadi gempa di tengah malam, membuka pintu bisa cepat. Kalau kuncinya dua kali putar, sangat susah membukanya ketika sedang berguncang.
Tentunya, sebuah pendapat yang masuk akal. Namun sikap ini, mengabaikan keamanan secara umum. Membuka kesempatan maling beraksi. Apakah dengan demikian membuat rasa aman bisa didapat? Belum tentu, dari pengakuan beberapa orang kolega, kualitas tidur di waktu malam sejak gempa amat menurun. Setidaknya, pada malam hari, di antara satu keluarga selalu ada yang begadang atau setidaknya, mewaspadai jika terjadi bencana gempa.
Selain kunci pintu yang selalu tergantung di pintu pada malam hari, juga ada banyak kebiasaan lain. Mereka yang masih hidup shelter, tentu saja harus merubah pola kehidupan dan nasib yang berubah. Mereka yang kehilangan rumah, masih ada yang ditenda.
Khusus di Kota Padang, fenomena bisnis perumahan bergeser ke punggung bukit barisan, sejak 2007. Perumahan di kawasan pantai tak laku dijual, sementara di punggung bukit barisan bisa laku keras. Orang-orang ingin menjual rumah yang berada di tepi pantai, tapi tak ada pembeli yang mau, walaupun murah meriah. Investasi tak berlaku di kawasan zona merah ini.
Padahal, lima tahun sebelumnya, ketika Bandara Internasional Minangkabau (BIM) mulai beroperasi, harga tanah dan rumah di seputaran zona merah menuju bandara mulai merangkak naik. Berapa coorporate mulai merencanakan pembangunan gedung permanen di jalur Padang-BIM, bahkan ada yang sudah menggelar acara peletakan batu pertama. Kawasan ini memang di bibir pantai, berada di zona merah. Namun beberapa tahun terakhir, pembangunan di kawasan ini sangat sepi peminat. Satu dua bangunan baru saja yang hadir.
Kini, developer di Kota Padang menjual rumah dengan tagline; bebas tsunami, daerah aman tsunami dan sebagainya. Pembangunan merambat ke daerah lebih tinggi. Tidak lagi di bibir pantai. Bibir pantai dijauhi, malahan, ada orang kaya yang lebih memilih, kembali membeli rumah untuk keluarganya di daerah aman dan menjual rumah mewah mereka yang masuk zona merah. Sebuah sikap waspada yang telah merubah pola hidup mereka.
Demo Korban Gempa
Selain fenomena di atas, bencana gempa juga telah merubah sisi yang lebih besar di Kota Padang. Masyarakat sangat labil bersikap. Mudah marah dan dipengaruhi. Salah satu bukti tersebut adalah, heboh pasca gempa, nasib pedagang Pasar Raya Padang. Ketika kebijakan Pemko Padang membangun Kios Darurat ditentang oleh sebagian pedagang. Mereka menuntut agar Pemko membongkar kembali lapak darurat dengan alasan pendapatan yang menurun, sepi pengunjung. Pemko telah menutup akses jalur angkot yang selama ini tempat lalu lalang pembeli.
Belasan kali demonstrasi besar-besaran pedagang pasar raya yang bergabung di bawah Forum Warga Kota (FWK) Padang ke DPRD Kota Padang, meminta wakil rakyat menerima aspirasi mereka; Pemko Kota Padang harus membongkar pasar darurat yang dibangun di atas jalan. Tetapi Pemko bersikeras tetap mempertahankan toko darurat karena terlanjur dibangun dengan dana miliaran rupiah.
Dampak gempa dan perubahan suasana pasar darurat, pendapatan sebagian pedagang kusut masai, tapi sebagian lain, menarik untung dari kisruh ini. Pro dan kontra tak terelakkan sampai kini. Pergumulan kebijakan dan tuntutan belum selesai.
Dari sini, apatisme rakyat terhadap pemimpin dan aparatur yang lama mengendap, berkobar kembali. Lebih-lebih jika dikaitkan soal bantuan bencana. Alih-alih bisa meredam sedih, sebaliknya justru menambah perih. Runyam. Validasi data yang tidak terlaksana secara profesional, pembagian yang serba darurat, kebijakan yang meloncat-loncat, membuat masyarakat sering marah dan tak peduli lagi, mau dibantu atau tidak oleh pemerintah mereka tetap bertahan dan mandiri dengan kaki sendiri. Muak mendengar angin surga; bantuan segera dikucurkan.
Bulan demi bulan, bantuan dari pemerintah belum juga datang. Memasuki bulan ke enam, baru ada pilot project di 7 kota dan kabupaten, satu kecamatan, satu kelurahan, satu percontohan. Ini sistem bantuan bencana gempa 2009. Tetapi ternyata, pemerintah masih memiliki “pekerjaan rumah” yang belum selesai. Bantuan gempa 2007 ternyata belum usai. Inilah yang membuat makin runyam.
Dana bantuan gempa 2007 belum usai, tiba pula bencana gempa 2009, membuat masyarakat kembali menagih sesuatu yang makin tak pasti. “Bantuan 2007 saja belum selesai, bagaimana mungkin bisa menyelesaikan dana gempa 2009,” kira-kira demikian logika masyarakat badarai.
Ingatan atas bantuan miliaran rupiah yang telah lama mengendap di “kantong” pemerintah ini, membuat aparatur di bawah tak bisa berbuat banyak. Sebab, rasa percaya terhadap pendataan ulang, komunikasi soal bantuan, ditanggapi hanya sebagai pepesan kosong.
Mekanisme bantuan 2007 memang tidak sama dengan pencairan dana 2009. Bantuan 2007, langsung ditangani oleh pemerintah terendah tanpa melibatkan kekuatan sosial masyarakat. Koordinasi yang lemah dan data yang tidak valid, masalah awal hingga berlarut sampai gempa terjadi lagi di 2009.
Inilah kelemahan yang ditutupi dalam pelaksanaan pencairan dana 2009. Sedikit mengambil pola pencairan dana bantuan gempa di Jogjakarta 2006 dan Aceh 2004, pola pencairan dana gempa 2009, walau dinilai lambat, masih menawarkan keadilan dan transparansi.
Carut marut birokrasi dan persoalan yang muncul akibat lemahnya koordinasi antara pihak aparatur, di masa tanggap darurat dan masa rehab rekon, soal bantuan uang lauk pauk, yang dibagikan kepada korban Rusak Berat (RB), Rusak Ringan (RR), Rusak Sedang (RS) menyisakan persoalan. Persoalan yang tidak pernah basi. Banyak korban kembali mengungkit ini, tetapi menemui jalan buntu. Lebih-lebih, data tidak valid dan banyak merugikan korban. Profesionalisme lembaga yang menvalidasi data ke lapangan dipertanyakan. Laporan dari bawah sering berubah.
Pilkada Korban Gempa
Persoalan Pasar Raya, kios darurat, bantuan uang lauk pauk, dana rehab rekon, dana gempa 2007, bergulir di tengah negeri yang menggelar hajat demokrasi, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Perhelatan serentak di 14 Kota Kabupaten, dengan 68 kandidat, termasuk lima pasang calon gubernur semakin melupakan derita dan luka lara korban bencana yang berhak mendapat perhatian pemerintah.
Luka bencana, adalah luka kita semua. Tetapi sedikit pemimpin yang peduli, termasuk para kandidat. Ancaman masyarakat untuk makin apatis memang sangat tinggi. Selain bantuan yang lambat, juga karena para kandidat, lebih peduli sosialisasi lewat baliho-baliho, poster-poster yang dicetak mahal, dari pada melihat mereka yang jadi korban bencana, masih hidup di tenda. Inilah ironi negeri rawan bencana antara pemimpin dan rakyatnya. Malahan, di satu tempat, di dekat rumah korban yang masih ada tenda, terpajang baliho kandidat dengan gagahnya. Tentu dengan modal besar mencetak baliho seharga bantuan yang layak diterima oleh satu keluarga kecil yang masih di tenda.
Seperti api dalam sekam. Kontras kehidupan di tengah masyarakat korban gempa dengan perhatian publik mulai berubah ke persoalan politik lokal, ancaman tidak memilih kandidat yang tak punya perhatian terhadap korban gempa terdengar sudah. Lebih-lebih, sosialisasi kandidat, sangat dahsyat dari pada sosialisasi cara membangun rumah aman gempa, mekanisme pencairan dana, dan mitigasi kebencanaan. Bencana benar-benar cepat dilupakan.
Masuknya musim Pilkada, isu seputar korban gempa makin senyap. Munculnya, baliho-baliho ajakan “bangkit” dari para calon kandidat, meramaikan kehidupan babak baru di Sumatera Barat. Sayangnya, perhelatan suksesi kepemimpinan itu tidak diikuti oleh bangkitnya masyarakat korban dari keterpurukan. Masih banyak yang tidur di tenda di sudut-sudut daerah terpencil tak tersentuh bantuan. Shelter masa tanggap darurat masih dipakai dengan kondisi yang sama pada masa tanggap darurat. Koordinasi kian lemah, pemerintah seakan tak berdaya dan seperti membiarkan masyarakat melupakan penderitaan. Dan ini nyata, pemerintah mengabaikan amanat UU.
Akibat hal-hal di atas, apatisme masyarakat korban gempa sudah sampai pada titik nadir. Apa yang dikatakan pemerintah, kandidat, yang terbaik sekalipun, kebenaran sekalipun, sepertinya tidak didengar. Diam-diam, seperti api dalam sekam. Bukti dari apatisme masyarakat tersebut dapat dilihat pada tingkat pemilihan kepala daerah. Walau tidak disebut sebagai factor utama, kenapa Pemilu Kada Sumbar rendah pemilih, paling tidak ada sebab karena bencana dan sikap pemerintah dan kandidat terhadap korban bencana yang nota benenya adalah pemilih. Tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu Kada tak lebih dari 55 persen saja.
Status Korban Gempa
Ketika Pemerintah Pusat menetapkan status gempa Rabu kelabu itu adalah bencana daerah, ada yang marah. Kecewa. Karena, khawatir penanganan yang tidak sesuai harapan dari Pemprov Sumbar yang belum memiliki mekanisme manajemen bencana yang profesional. Namun keputusan itu telah ditetapkan.
Pada dasarnya, tidaklah wajar, bencana dengan seribu lebih korban jiwa dan kerugian yang diderita menjadi bencana daerah. Ini banyak sekali disayangkan. Pemerintah pusat diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 2007, memiliki peran untuk menetapkan status gempa. Tetapi hal ini tetap diusulkan oleh pemerintah setempat. Karena pemerintah setempat diyakini memahami kondisi riil di lapangan.
Ini memengaruhi proses pencairan dana dan perguliran bantuan. Dana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) diturunkan ke APBD Sumbar. Sedangkan mekanisme APBD, harus disetujui oleh DPRD Sumbar, ini mengakibatkan bolak-balik pembahasan antara Pemprov Sumbar dan DPRD Sumbar. Setidaknya, ini menghabiskan waktu satu bulan lebih. Belum lagi, harus dilaporkan dan disetujui pula oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), yang juga memakan waktu paling tidak satu bulan.
Karena, mekanisme keuangan daerah melalui Peraturan Gubernur, menjadikan dana bantuan gempa masuk ke dalam “kawah keuangan reguler pemerintah” tidak lagi diperlakukan khusus. Kelambanan tidak bisa dielakkan.
Namun memasuki tahap II, Juli 2010 hingga Desember sepertinya, sistem ini diambil alih BNBP. Pemerintah provinsi hanya mengkoordinasi pembangunan infrastruktur saja, sedangkan bantuan langsung kepada masyarakat, dikelola langsung dari BNPB. Dana digulirkan secara otomatis, jika persyaratan Kelompok Masyarakat (Pokmas), dari ke rekening kelompok. Pembentukan kelompok di tengah masyarakat, benar-benar fenomena tersendiri. Ada yang mau, ada yang antusias, ada yang tak peduli, apatis!
Spiritualitas Korban Gempa
Perubahan belum usai. Terus berlanjut. Rasa aman yang sempat ditebas oleh suasana duka yang mendalam dan ancaman guncangan, kini berubah menjadi ketakutan akan kehidupan. Hal ini merubah sikap, pandangan hidup, dan tingkat kegiatan ibadah. Hal yang lumrah, tapi aneh; Karena sudah ada bencana, baru ingat tuhan! Seharusnya, ada atau tidak bencana, tingkat keimanan dan peningkatan kualitas ibadah tetap dilakukan.
Tetapi begitulah yang terjadi. Masjid akhirnya ramai dikunjungi, ramai kegiatan. Zikir bersama beberapa kali di gelar di lapangan. Ormas-ormas keagamaan, aktif melakukan koordinasi intern dan menggelar acara. Ini sebentuk peristiwa spiritualitas massal yang dikomandoi oleh tokoh agama untuk mengajak ummat agar tidak lama dalam labilitas. Ajakan kepada kebaikan dalam kondisi rehabilitasi dan rekonstruksi sangat besar artinya, dimana nilai-nilai positif tampak membuat masyarakat mulai tenang dan bangkit untuk menatap kehidupan masa mendatang.
Bencana, selalu membawa perubahan, baik ke arah yang lebih baik, maupun ke arah yang lebih buruk. Peran pemerintah, yang diamanatkan peraturan perundang-undangan mengurus rakyat harusnya berbuat lebih dari sekedar “amanah regular” dalam meminimalisir resiko bencana. Dan, jika kita berpikir buruk sekalipun, perubahan pasca bencana, pada dasarnya adalah “kesempatan” dari pemerintah, pemuka agama, untuk menata ulang (rekayasa sosial) kehidupan lebih baik. Seperti ajakan dari sebuah NGO, build back better.
Inilah sebuah catatan, satu tahun dari hari yang naas itu. Kerugian yang ditaksir mencapai Rp22,26 Triliun ini, kini seperti terlupakan saja. Hidup terus berjalan, kian menjauh dari sejarah luka. Lenyapnya nyawa saudara, runtuhnya sendi kehidupan, berubahnya alur cerita nasib. Sebentuk prosa yang ditulis dengan kekejaman kehendak penguasa. Apa boleh buat, rakyat sebagai korban, selalu di pihak yang tak punya daya, seperti tak punya hak untuk dituliskan. [] Terbit di Harian Umum Independen Singgalang, Kamis 30 September 2010
No comments:
Post a Comment