Wednesday, April 20, 2011

Mobil Rusak, Pluralisme, dan Antikorupsi

Mobil Rusak, Pluralisme, dan Antikorupsi


(Mengiringi Pemilihan Rektor IAIN Imam Bonjol Padang Periode 2011-2015)


 Oleh Zelfeni Wimra


Mahasiswa Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang


 Koran ini secara konstan telah menurunkan kabar perihal akan dipilihnya pucuk pimpinan (Ra’is al-Jam’iah) IAIN Imam Bonjol Padang yang tepat jatuhnya pada hari ini (14/04/2011). Pun telah disosialisasikan blue print visi dan misi ketiga bakal calon yang diusung melalui beberapa tahapan diskusi publik. Dr.Alkhendra,M.Ag., secara metaforik selalu mendeskripsikan realitas internal IAIN yang bagaikan mobil rusak. Kalau ia terpilih, ia akan segera memperbaiki mobil itu; melengkapi segala peralatan yang tidak layak pakai untuk kemudian dioperasikan guna melancarkan mobilitas akademik mahasiswa. Dr.H.Shofwan Karim Elha, M.A., jika terpilih akan memberangkatkan kepemimpinannya dengan semangat pluralisme, dimana perbedaan akan menjadi tenaga yang produktif untuk membangun IAIN ke depan. Prof.Dr.H.Makmur Syarif,SH,M.Ag., kalau dipercaya memimpin perguruan tinggi ini, akan merealisasikan kemashlahatan akademik melalui komitmen menciptakan sistem kepemimpinan yang tidak korup.  Di atas kertas, ketiga visi dan misi bakal calon ini mampu meniupkan hawa segar ke lingkungan IAIN yang akhir-akhir ini dirasakan civitasnya bercuaca gerah.


Gerah di Rumah Ilmu


Sebagai salah satu perguruan tinggi, IAIN adalah rumah ilmu. Namun, apa jadinya bila terdapat kegerahan di rumah itu, seperti belakangan ini dikeluhkan sebagian besar civitasnya? Bisa disimak lewat suara mahasiswa yang sedang menimba ilmu-pengetahuan di sana. Mereka mengeluhkan realitas penuh ironi bahkan kontraproduktif di kampus sendiri. Infrastruktur yang rusak pascagempa 30 September 2009, izin jurusan yang dicabut, dialog antarcivitas yang macet. Belum lagi sejumlah konflik internal yang sedang diidap kampus ini. Hebatnya, kampus ini tetap bisa melangsungkan aktivitas akademik sebagaimana harusnya. Data terakhir, Sabtu tanggal 09/04, kampus ini telah meluluskan 621 sarjana yang seterusnya akan berhadapan dengan kompetisi dunia kerja. Tulisan ini, lebih lanjut tentu tidak akan bisa mengungkai secara lengkap. Penulis pun tidak punya kompetensi memadai untuk itu. Yang pasti, suksesi kepemimpinan telah membuka mata semua pihak yang punya kepentingan di IAIN untuk tidak mengutuk kegelapan, tapi, lebih baik sama-sama menyalakan suluh.


Layaknya sebuah perguruan tinggi, secara formal, institusi ini dipimpin seorang ra’is al-jami’ah yang secara periodik dipilih empat tahun sekali. Berat bagi penulis menyebut pemimpin IAIN dengan Rektor. Sebab akar kata Rektor adalah pendeta; pimpinan wihara. Entah apa pula alasannya, mengapa penamaan Rektor kukuh ke dalam sistem hirarki kepemimpinan IAIN?


Pada prinsipnya, ra’is al-jami’ah bukanlah jabatan politik. Ra’is al-jami’ah adalah jabatan akademik. Jika bertolak dari prinsip ini, maka proses pemilihan dan pengangkatannya tidak harmonis dengan praktek politik praktis. Praktek ini cenderung curang. Mengutip gagasan Yulizal Yunus, salah seorang petinggi di IAIN, akan lebih akademis, bila seluruh guru besar di kampus secara ilmiah menggunakan kepakaran mereka dalam satu forum aliansi (di luar senat) guna merekomendasikan nama-nama yang akan memimpin perguruan. Atau setidaknya, menyumbangkan konsep kepemimpinan yang mampu menyegarkan kegerahan tadi. Memang, tetap ada nuansa politis di dalamnya. Namun, lebih berhormat dibanding pemilihan melalui sistem senator yang akan membelah suara pemilihan berdasarkan unsur kepentingan kelompok dan golongan yang ada. Selain itu, bisa pula menetralkan potensi pertikaian politik di lingkungan kampus.  Lagi-lagi, sistem yang diemban tidak mengenal cara demikian. Aturan yang dibuat tidak begitu. Pertanyaan tambahannya: mampukah para profesor IAIN yang berjumlah 22 orang melakukan aliansi dan netral dari kepentingan kelompok mereka?


 Bedakan Kampus dengan Pabrik


Tinggalkan sistem pemilihan. Mari menuju ke dalam kampus. Apa  sesungguhnya arti penting kampus? Paulo Friere, pakar pendidikan dari Brazil, agak minor menyuarakan sistem pendidikan yang dilokalkan seperti perguruan tinggi ini. Baginya, melokalkan mahasiswa sama saja dengan perilaku bank yang melegalkan kontrak baku; ada debitur dan kreditur. Mahasiswa membayar, dosen dibayar. Pada konteks ini, kampus tak jauh berbeda dengan industri. Dari sini, muncul standarisasi dan trend, semakin mahal biaya pendidikan, maka semakin berkualitas pula pendidikan itu.


Sebuah syair Arab klasik berbunyi begini: Law kāna ‘ilmu yudraku bi al-munā, mā kāna fi al-barriati jāhilun (kalau saja ilmu bisa diperoleh dengan mudah/ tidak akan ada orang bodoh di permukaan bumi). Seakan telah terang sejak dahulu, mendapatkan ilmu itu susah. Ilmu itu komoditas yang mahal. Tentu saja, harus berhati-hati, ketika di IAIN akan dilangsungkan pemilihan pemimpin, tidak serta merta sama dengan memilih pemimpin sebuah pabrik. Kampus tetap punya citra akademik; mengemban Tridarma: Pendidikan, Penelitan, dan Pengabdian Masyarakat. Kampus tempat berproses insan-insan dinamis dan proggresif serta berjarak dengan segala jenis arogansi.


Pada beberapa kritik sosial-pendidikan, sifat arogansi dinilai sangat mudah melekat pada diri orang akademik. Terdapat sambung-kait  diskursus ini dengan kisah humor Nashruddin Khouja. Suatu ketika Nashruddin ikut berlayar dengan seorang profesor bahasa. Sang profesor bertanya dengan nada yang angkuh kepada Nashruddin, “Apakah Anda punya ilmu bahasa yang baik?” Nashruddin menggeleng. Cahaya mukanya meredup. Ia kehilangan percaya dirinya berhadapan dengan ahli bahasa itu. “Berarti Anda sudah menyia-nyiakan lebih dari separuh hidup Anda!” ucap professor, tetap dengan nada yang angkuh.


Tiba-tiba terjadi badai besar. Kapal yang mereka tumpangi nyaris tergulung gelombang berkali-kali. Nashruddin lantas bertanya pula: “Profesor, apakah Anda punya ilmu berenang yang baik?” kini giliran professor yang menggeleng. Mukanya pucat, seakan tidak berdarah lagi. “Berarti Anda telah menyia-nyiakan seluruh hidup Anda!” ucap Nashruddin.


Maka, apabila IAIN adalah rumah ilmu, ra’is al-jami’ah yang akan dipilih itu akan lebih banyak memerankan karakter seorang bapak, seorang kepala keluarga. Fakultas-fakultas (kulliyah) yang ada adalah kamar-kamar, tempat paling produktif bagi kantong-kantong ilmu yang ada. Akan tidak menggembirakan kalau kamar-kamar berfungsi sebagai kerajaan kecil yang sulit disatukan dalam nuansa kekeluargaan. Lebih tidak menggembirakan lagi apabila kamar-kamar itu tergerus arus kepentingan golongan tertentu yang substansinya jauh dari citra akademik.


Apabila kondisi ini terus tidak bisa diarifi, sarjana yang diluluskan sebagai out put paling penting, masuk ke dalam daftar elemen yang terabaikan. Akan sulit jadinya membedakan kampus dengan pabrik. Padahal, orientasi Tridarma sangat mengutamakan kualitas individu lulusan. Kampus mesti selalu berpihak kepada realitas sosial di sekitarnya. Lulusan kampus adalah agen-agen pembawa perubahan. Demikian konsepnya.


Mendekati Realitas Sosial IAIN


Pertengahan 2007, salah seorang alumni IAIN Imam Bonjol Padang, Riwayat at-Tubani bekerja sama dengan Harian Pos Metro Padang (Grup Padang Ekspres), merangkum  sebuah data mencengangkan dalam buku Erosi Moralitas di Minangkabau. Dikatakannya, di Minangkabau, setiap tahun 154 gadis diperkosa. Setiap bulan kurang lebih 12 gadis yang diperkosa. Memang masih jauh di bawah data yang ditemukan di Jerman. Di negara mendiang Hitler ini, setiap lima belas menit terjadi pemerkosaan. Dalam satu tahun 35 ribu wanita diperkosa. Di Amerika lain pula temuannya. Setiap jam 78 wanita diperkosa. Setiap tahun 683 ribu orang, sekitar 13 % atau 12,1 juta anak gadis Amerika sudah pernah diperkosa lebih dari satu kali. Enam dari 10 anak yang diperkosa belum mencapai umur 16 tahun.


Mencengangkan? Iya. Data ini sungguh mencengangkan! Akan tetapi, tulisan ini tidak menginginkan ketercengangan tersebut menjadi kecemasan yang berlarut-larut sehingga masyarakat jadi paranoid. Potret psikologi social jahiliyah seakan hadir lagi di depan mata. Kalau poin-poin Tridarma ditafsir lebih dalam, IAIN tidak patut mengabaikan data dan fakta ini. IAIN sebagai perguruan tinggi agama harus mampu memeluk realitasnya, seperti sindiran Mohammad Iqbal: apa gunanya ilmu pengetahuan, kalau tidak mampu memeluk realitas.


Perbincangan mengenai kemampuan perguruan tinggi memeluk realitas akan terbentur kepada sejauh apa IAIN mengkonstruksi dirinya sebagai lembaga yang penting bagi masyarakat. IAIN bukan pabrik Sarjana. IAIN Penelur cendikiawan pembawa perubahan. Pertanyaannya sekarang, apakah di tengah realitas ssosial IAIN, ada cendkiawan tersebut? Pada diskusi Membaca Pemikiran Para Cedikiawan Minangkabau, yang digelar Saluak laka, di Ruang Carano, Harian Pagi Padang Ekspres, 24/08/2006 lalu, Gusti Asnan sebagai pembicara melontarkan pernyataan mengejutkan: cendikiawan Minang sudah habis. Tidak  terdengar lagi gaung ketokohan Minangkabau pascareformasi (Minangkabau dalam konteks ini adalah ruang sosial IAIN). Kalau pun ada, siapa dan sejauh mana kontribusi ketokohannya? Secara kuantitas, Minangkabau tidak pernah kering dari para tokoh formal. Terdapat sejumlah Profesor, Doktor, yang ditempatkan di sejumlah Perguruan Tinggi dengan berbagai jenis disiplin dan konsentarsi keilmuan. Pun, Perguruan Tinggi tersebut, sebagai Lembaga Pendidikan, perenambulan selalu meluluskan ribuan sarjana. Belum lagi tokoh non-formal, tokoh adat, tokoh agama yang terus mengalir dengan Nagari sebagai hulunya. Akan tetapi, sejauh itu, kontribusi ketokohan mereka belum terlihat secara nyata. Kehadiran mereka cenderung dibebani simbol-simbol politik; kekuasaan. Kalau tidak itu, mereka terkurung di dalam lokal-lokal perguruan tinggi.


Menunggu Pemimpin yang Segar


Menggiring diskursus ini ke dalam proses pemilihan pemimpin IAIN, sekurang-kurangnya sebagai materi kontemplasi. Agar keagungan masa lalu di Minangkabau yang termaktub dalam buku-buku sejarah tidak sekedar buih “ota di lapau”. Baca kembali, misalnya, interalasi Minang dengan Greco-Romawi, Judaeis-Kristen, lazim disebut dengan Barat, melalui lembaga-lembaga pendidikan Belanda, pemerintahan maupun swasta yang diintensifkan dengan hubungan pribadi, melalui buku-buku, media massa. Seorang intelektual Indonsia, termasuk di Minangkabau ketika itu mampu memperoleh pendidikan dari Barat, menguasai sekurang-kurangnya bahasa Belanda. Dari sinilah, sebagai efek, hadir seorang Tan Malaka, M. Natsir, Mohammad Hatta, dan sejumlah nama lainnya.


Selain itu, terbangun jaringan intelektual dengan bangsa-bangsa Arab, melalui lembaga-lembaga pendidikan agama, surau maupun pesantren. Bahasa Arab merupakan alat komunikasi terpenting dalam periode ini. Sekalipun harus bergandengan dengan paham sosialisme kiri (komunis), namun tetap pada kondisi terpola. Bahkan kedua ajaran ini saling membaur. Dari sini, hadir pula, Haji Sumaniak, Haji Piobang, Haji Miskin, Akhmad Khatib, Syeh Djamil Djambek, Sulaiman Ar-Rasuli, dan lainnya.


Sampai babakan pascakemerdekaan Republik Indonesia, dinamika berintegrasi yang kondusif dan spririt menguasai science (ilmu pengetahuan) menggebu-gebu di kalangan pemuda Minang. Bukan berarti sepi dari pertikaian.  Pertikaian yang berkembang bahkan sampai pada situsi kritis: perang saudara, antara kaum tua dan kamu muda; pertikaian dalam rangka upaya mengoreksi pusat pun berkobar yang dicatat dengan peristiwa PRRI.


Kini, yang masih berproses hanyalah mobilitas sosial yang kecut dan hambar, terutama pascareformasi 1998. Yang muncul hanya beragam organisasi masyarakat, LSM, LBH, komunitas-komunitas, yang mengusung identitas kultur, etnis, HAM, bahkan aliran baru agama yang sebagiannya dipandang sesat. Bagaimana pemimpin IAIN yang akan dipilih itu mengarifi fenomena ini? Satu sisi perlu juga dicurigai, gerakan-gerakan sejumlah organisasi tersebut hanya ajang menularkan ekspresi; curi fokus; atau persinggahan para sarjana yang belum bekerja dan berkesempatan mengecap fasilitas negara secara layak? Atau, yang lebih fatal, kehadiran perkumpulan dan organisasi yang berkembang dikhawatirkan terjebak dalam kegiatan mengeksploitasi nilai-nilai budaya-agama untuk dijual ke penyandang dana kegiatan mereka. Akhirnya, falsafah mobil rusak, penguatan konsep pluralisme, dan semangat memerangi prilaku korup yang diusung masing-masing calon Rais al-Jami’ah IAIN Imam Bonjol Padang, ditunggu aktualisasinya, bukan sebagai penambah beban baru, melainkan untuk menyegarkan realitas akademik yang belakangan dianggap menggerahkan. Yang Berhormat Forum Senat, Selamat Memilih. []Padang, 2011 sumber, Padang Ekspres, 14 April 2011

No comments:

Post a Comment