Apa Kabar Rektor?
Oleh: Firdaus Diezo*
Sering benar saya tercenung mengikuti perkembangan negeri ini, terutama persoalan hasil pendidikan. Salah satunya di Sumbar, ada banyak perguruan tinggi tapi sama halnya dengan perguruan tinggi kebanyakan di Indonesia lebih mengutamakan menghasilkan lulusan ketimbang bisa memberdayakan kualitas lulusannya, baik di pasar kerja maupun dunia wirausaha. Agak patut kiranya, jebolan perguruan tinggi sansai dilamun gelanggang. Serupa orang mabuk menunggu diangkat menjadi PNS.
Sepertinya kualitas perguruan tingginya adalah pekerjaan rumah yang harus disegarakan, kalau tidak tentu makin menumpuk juga pengangguran. Harapan tentang perguruan tinggi yang berkualitas, kelihatannya bukanlah sebuah permintaan yang berlebihan, karena dari segi anggaran secara nasional mencapai 20 persen. Wacana-wacana serupa jurus-jurus mematikan dibeberapa seminar dari para pakar, hampir tidak ada yang mangkus. Tetap saja ada yang mengais dilahan basah itu, peserta didik adalah tumbalnya. Salah satunya di perguruan tinggi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang.
Saya bukan ingin mencabik baju didada, tapi IAIN Imam Bonjol sebagai salah satu kampus besar di Sumbar harus mampu bebenah, harus dipimpin atau di urus oleh orang-orang yang serius. Kalau tidak IAIN Imam Bonjol akan kehilangan mahasiwa, serupa Kota Sawahlunto, Sumbar yang mendadak menjadi kota hantu, sekitar 7000 lebih penduduknya hijrah seketika sebab hasil tambang negeri itu sudaha habis dikuras. Sekarang kota tersebut, harus memulainya dari nol lagi, berharap bisa menjadi kota wisata tambang demi kelangsungan hidup anak cucu dikemudian hari.
IAIN Imam Bonjol masih ada, tapi saya melihatnya serupa sekam yang mengadung api. Ibarat penyakit, IAIN Imam Bonjol bukan sekedar demam, butuh perawatan intensif. Ada banyak masalah yang menyelimuti kampus Islami ini, mulai kondisi bangunan, pelayanan sampai pejabatnya seolah-olah bertanding-tanding nakal. Dibanding dengan dua perguruan tinggi negeri lainnya di Sumbar, IAIN Imam Bonjol agak hiba hati saya. Saya tidak mengatakan kampus lain tidak bermasalah atau sudah hebat, tapi kampus ini lamban benar.
Saya tentu bangga pula pernah kuliah di kampus ini, tapi sesekali saya serasa dipaksa membarut dada dengan kondisi IAIN Imam Bonjol. Bagaimana tidak kabar sampai juga ketelinga kiri kanan cerita publik itu ke itu saja. Padahal pemimpin kampus ini sering berkujung ke kampus lain, baik di dalam dan luar negeri. Paling tidak adalah sedikit perubahan untuk dikicap mahasiswanya, agar bangga pula ia jadi mahasiswa IAIN Imam Bonjol. Di kampus lain sudah serba online, di IAN Imam Bonjol masih mengunakan kertas dan pena itu pun dilayani setangah hati. Pelayanan daftar ulang masih saja manual, pengambilan hasil studi mahasiswa atau Indeks Prestasi (IP) masih manual, itu pun harus menungu beberapa bulan berikutnya dan tidak beraturan. Tampaknya pegawai dari tingkat rektorat sampai ke fakultas perlu dibina SDMnya, atau barang kali rekrutmen pegawai di lingkungan IAIN Imam Bonjol asal-asalan tidak selektif pada akhirnya tidak seberapa yang produktif.
Belum lagi indikasi korupsi di IAIN Imam Bonjol, pasca keluarnya Surat Keputusan (SK) dari Sekjen Kemenag RI Desember 2010 lalu tentang penyalahgunaan wewenang akibatnya Pembantu Rektor II Bukhari harus lengser dari jabatannya, menjadi staff di Kopertais. Beberapa orang dosen dikenakan sangsi disiplin karena mengabaikan tugas dan ada juga yang dicopot satus kedosenanya secara tidak hormat. Sebenarnya ada banyak indikasi korupsi dari SK tersebut, pihak kejaksaan pun sudah keluar masuk ke IAIN Imam Bonjol, tapi kita harus paham dan mengerti setangguh apa pula Kejati Sumbar. Tampaknya rektor sudah dimaafkan oleh Kemenag RI, sehingga indikasi tersebut nyaris tidak terdengar lagi.
Kemudian Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di Fakultas Adab harus hilang dari peredaran, karena tidak mengantongi izin dari pusat, 300 san lebih mahasiswanya serupa ayam kehilangan induk, pecah air mata dimatanya, kampus seolah lepas tangan. Sepuluh tahun berdiri, tidak mampu mengurus izin, kerjanya menerima mahasiswa saja. Berapa rugi mahasiswa, berapalah tangis orang tua mereka dikampung, ganti rugi tidak pula. Kelihatanya pimpinan IAIN Imam bonjol terkesan menyelamatkan diri sediri. Pindah ke Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Fakultas Tarbiyah yang tawarkan pihak rektor bukalah solusi, hanya menguntungkan Fakultas Tarbiyah dari segi mahasiswa, tapi harapan mereka untuk menyandang gelar sarjana sastra sudah pupus dan tak bisa dibayar kampus ini. Pindah ke swasta mahal pula duit dari mana, ekonomi rata-rata lemah semua, pindah ke perguruan tinggi negeri lainnya apa bisa diterima sedangkan status saja tidak jelas.
Perkara jurusan di IAIN Imam Bonjol bukan itu saja, ada puluhan jurusan yang tidak terakreditasi dan beberapa jurusan baru yang akan berakhir sama dengan Jurusan Bahasa dan Sastra Ingris di Fakultas Adab. Ditambah pula ketua jurusan yang melakukan mogok masal akibat haknya tidak dikeluarkan, ini perkara yang luar biasa ketika kampus IAIN Imam Bonjol ditinggal pergi oleh para ketua jurusannya, saya tidak bisa membayangkan kalau mahasiswa di kampus ini rame-rame ditinggal mahasiswanya. Tapi apa pula pentingnya bagi mereka, kalian mau kuliah atau tidak gaji mereka akan jalan juga, seperti yang pernah dilontarkan salah seorang dosen saya ke saya tika masih mahasiswa dulu.
Kondisi fisik kampus jangan disebut lagi, malu kita kalau ada kawan yang berkunjung kekampus ini atau kalau datang lagi gempa serupa kemarin itu robohlah kampus kita. Terkesan tidak sayang dengan badan, belajar dibangunan serupa itu manapula akan nyaman dan tentunya sudah harus direnovasi. Apa lagi Mesjid Kampus masih dipakai untuk beribadah, apakah di IAIN Imam Bonjol tidak pernah mengadakan seminar kebencanaan sehingga senekat itu. Agak sulit kiranya IAIN Imam Bonjol jadi UIN, ini saja sudah kewalahan dan jurusannya sudah mulai berguguran.
Perkara ini tentu tidak terlepas dari kinerja pemimpinya. Saya lihat selama masa kepemimpinan Sirajudin Zar, tidaklah banyak yang bisa dilakukan. Ini juga merupakan efek tidak sinerginya antara pimpinan dan bawahan. Antara Puret, I, II dan III tidaklah sejalan, semuanya serba samar-samar, rektor susah pula bertegas-tegas. Hingga sulit saya membedakan mana yang rektor, mana yang pembantu rektor, begitu dengan jajaran hingga ke dosen berada diantara tiga kelompok ( kelompok penguasa, kelompok orang-orang kalah, kelopok yang tidak mau tau) sulit sekali untuk seirama dalam menjalankan visi dan misi dan misi IAIN Imam Bonjol. Saya bukan mengatakan pimpinan sebelumnya lebih baik dari Sirajudin Zar, sama-sama kurang serius hingga perkembangan kampus lamban sekali. Saya pikir, masa kepemimpinan Amir Syarifuddin sangat dirindukan untuk membesarkan IAIN Imam Bonjol kedepan, pemimpin yang mengerti pesoalan dan faham menghadapi persoalan. Tapi itu sudah berlalu, IAIN Imam Bonjol tidak harus bermimpi melulu, kampus ini hanya butuh orang-orang produktif butuh rektor yang berkejar keras dan menjadikan kampus ini bekualitas dan tidak kaku.
Paling tidak IAIN Imam Bonjol kedepan harus mampu mengubah pola pikir mahasiswanya yang sudah terdoktrin oleh pemikiriran PNS merupakan sebuah tujuan akhir dari sebuah pendidikan. IAIN Imam Bonjol tengah dituntut mampu menciptakan masiswa yang kreaktif, mahasiswa yang memiliki pemikiran terhadap lahan kerja yang baru, baik sesuai perofesional dengan keilmuan atau keilmuan dari kegiatan ektras kampus. Salah satunya semangat entrepreneurship, agar ketika tamat nanti generasi tidak canggung. Bagaimanapun tidak ada jamin mahasiswa dikampus ini akan bekerja sesuai bidangnya apalagi untuk diterima sebagai abdinegara secara keseluruahan. Paling tidak mengurangi jumlah lulusan IAIN Imam Bonjol di angka penganguran di negeri ini. Ataukah IAIN Imam Bonjol tengah butuh bantuan dari luar badan dan harus dipimpin oleh pemimpin yang bukan berasal dari IAIN? [] <b>*Alumni IAIN Imam Bonjol/Wartawan Posmetro Padang </b> tulisan ini dimuat di www.suarakampus.com, edisi cetak April 2011
No comments:
Post a Comment