Nyanyian Politisi Partai Demokrat, Nazaruddin dari negeri jiran, Singapura mengguncang aras politik negeri ini. Akibatnya, banyak yang tak enak makan dan tidur dibuatnya. Kampanye anti korupsi dari Partai Demokrat seperti boomerang untuk partai. Sementara, nyanyian itu terus menyatakan nama-nama yang terlibat. Senyatanya, Nazaruddin tidak ingin sendiri. Apalagi dikorbankan!
Suara Nazaruddin boleh jadi dianggap sumbang oleh Partai Demokrat. "Murtad" dari komitmen sebagai kader partai. Membuat murka Ketua Dewan Pembina. Namun di balik itu, sangat merdu bagi partai lain, apalagi bagi media. Agaknya, tak heran bila ada yang terus berkomentar: Teruslah bernyanyi, Nazaruddin! Biar makin jelas siapa sedang memainkan apa. Apa dimainkan siapa. Akhirnya, bagaimana dan seterusnya.
Demikianlah akhirnya, publik menikmati panggung politik Indonesia yang makin hari makin memperlihatkan citra buruk. Saling bantah di media seperti berbalas pantun pula. Sehingga agak sulit mengatakan, awam akan tertarik memberi kesan positif bagi tokoh-tokoh elit negeri. Bila ditanyakan kepada mereka, sudah dapat ditebak, betapa buruk citra pemimpin dan para elit di mata mereka. Ribut sepanjang hari dengan hal-hal yang tidak perlu bagi publik. Itulah yang terjadi.
Apakah memang begitu yang terjadi sebenarnya? Bagaimana konstruksi media massa dengan realitas yang sebenarnya? Jawaban yang paling mungkin itu adalah, jika tidak seratus persen benar terjadi seperti yang diberitakan media, paling tidak lima puluh persen benarlah adanya. Korupsi di mana-mana dan tak ada niat pemimpin mengurus negeri dengan sepenuh hati.
Ada banyak bukti untuk sekedar menyatakan semua ini ilmiah adanya. Lihatlah pembohongan, kemunafikan, yang dapat kita tangkap dari perkataan serta perbuatan. Jika pemimpin mengatakan dengan bahasa kesuksesan seratus persen, gampang! lihatlah realitasnya, apa benar begitu? Misalnya, kemiskinan dan pengangguran di mana-mana tapi tetap saja dikatakan sukses memimpin dan memberantas kemiskinan. Apapun alasan dan logika yang paling mutakhir, fakta sehari-hari dapat dilihat bagaimana sebenarnya negara ini diurus.
Memang, media menggiring tak perlu sampai sudah. Sudah begitu tabiat nilai-nilai berita dalam Ilmu Jurnalistik yang kita ketahui. Peristiwa paling aktual (actuality) akan dipilih jadi berita. Dan memang tak perlu tuntas, karena memang kasusnya belum tuntas dan kadang-kadang tidak ada perkembangan terbaru. Oleh karenanya, kasus Gayus, Antasari, Melinda Dee, Century dan seterusnya, harus disingkir dulu sementara waktu. Kecuali jika tak ada perkembangan berarti dari pelaku peristiwa (news maker).
Kembali ke soal Nazaruddin, sampai kapankah episode Nyanyian Sumbang dari Temasek ini? Hilang ditelan waktu atau memiliki ending yang memuaskan bagi publik? Lagi-lagi, publik hanya menunggu iba kasihan media agar tetap mengawal hingga akhir. Sebab, kepada media harapan massa mendapatkan tempat setelah pilar demokrasi yang lain telah luluh lantak karena ulah sendiri. Walau kita masih yakin, masih ada sisi termbaik dari pilar tersebut.
Seterusnya, apakah Partai Demokrat akan mempertahankan Nazaruddin tetap di Singapura? Ataukah memang menjemput dalam arti sesungguhnya? Kita dibawa kegamangan, jika tidak melihat jauh ke dalam. Tarik menarik, transaksi, kompromi, bargaining politic, sedang terus terjadi. Begitulah nanti akhirnya persoalan dituntaskan. Persoalannya kemudian, dalam hal seperti ini, selalu saja menuntut adanya korban. Siapakah korban tersebut? Nazaruddin tentu jelas tidak mau. Partai Demokrat tentu juga tak mau menanggung malu dan runtuh kekuasaan sedang di tangan. Sementara, KPK sebagai lembaga negara yang ditugaskan untuk menangani masalah korupsi, jelas membutuhkan dukungan kekuasaan. Nah, bagaimana bisa kita bisa paham dengan logika-logika para elit, jika mereka masih mencoba meyakini publik dengan alasan yang sangat sumbang terdengar. Mulai dari memberantas korupsi, anti korupsi, dan segala macam bahasa yang manis tetapi tetap tak enak didengar.
Sungguh. Kearifan dan keterbukaan para elit untuk tidak mementingkan kelompok sangat kita harapkan demi bangkitnya negeri ini dari keterpurukan yang makin dalam.
Dan semiestinya, pemimpin-pemimpin di negeri ini kembali menanamkan cita-cita luhur agar kepemimpinannya dikenang hingga akhir hayat. Kepemimpinan yang dicintai seluruh rakyat. Dihormati, disegani! Bukan serba berkedok, lain kata dari pada perbuatan. Jika itu masih dilakukan, lambat laun akan terbongkar dengan sendirinya. Kebenaran akan muncul pada waktu yang tepat!
Agaknya, kita patut terus mendorong agar Nazaruddin terus bernyanyi dari Temasek sana, hingga kalaupun tidak terbongkar semua, satu demi satu akan kelihatan belang, siapa sedang bermain apa. Sebab kebenaran, akan terungkap oleh dirinya sendiri.[] sumber: harian umum independen singgalang
No comments:
Post a Comment