Di sebuah lahan sawah yang luas, sekumpulan itik tampak tengah asyik mencari makan. Tiba-tiba datang seorang anak laki-laki berlari mengejar kawanan itik itu. Seketika yang dikejar lari berhamburan. Seorang perempuan yang berdiri tak jauh dari situ segera mengangkat kameranya, dan…klik! Momen itu menjadi abadi.
Gemes Itik, begitulah momen itu diberi nama. Diambil Adek Dedees saat ia melihat keponakannya bermain di lahan sawah. Menurut cerita Adek, momen itu lahir tak sengaja.
“Dia (maksudnya keponakan Adek) gemes melihat itik yang sekitar dua tahun tak pernah dijumpai di kota. Saya menangkap hal itu dan ketika bermain saya mengabadikan,” cerita Adek.
“Foto Gemes Itik” itu sendiri dipuji oleh Abdullah Khusairi, mantan Wapimred Padang Ekspres yang kini menjadi dosen mata kuliah fotografi di Jurusan Jurnalistik IAIN Imam Bonjol. Menurutnya foto itu sangat impresif. “Ada kesan sedang bergerak, ada kesan hubungan antara si anak dengan itik. Ada gerakan yang tertangkap di sana,” ujarnya. Lelaki yang juga cerpenis ini menyebutkan, foto “Gemes Itik” itu mampu membawa kembali kenangan orang terhadap suasana desa yang menyenangkan.
Foto Adek Dedees yang lain juga menuai pujian. Foto itu berjudul “Terbang”. Adek mengabadikan momen ketika serombongan anak-anak memanjat jembatan Purus, lalu melompat ke sungai. Foto yang menjadi juara dua dalam lomba fotografi bertema Sumatra Barat, Masyarakat dan Budayanya yang digelar HMP Jurnalistik itu menurut Abdullah Khusairi yang akrab disapa Bang Dul memperlihatkan kesan heroik.
“(Foto tersebut mengesankan) keberanian anak kecil terjun,” ujar Bang Dul, seraya menambahkan gambar itu menawarkan sesuatu yang membuat kita responsif
Bagi Adek Dedees yang berasal dari UNP, foto Terbang sebenarnya merupakan upayanya dalam menyampaikan kritik sosial seputar semakin langkanya kawasan bermain di anak-anak di Kota Padang
“Banda Bakali dan jembatan menjadi duo tunggal yang membuat mereka kreatif sekaligus ekstrim dalam bermain air,” tutur Adek. Pengambilan foto itu sendiri tidak sulit. Adek hanya perlu menunggu lima menit untuk mendapatkan momen yang pas. Ada lima foto yang dihasilkannya. Dari yang lima ia menyaring satu yang dianggap terbaik. Foto itu menuai sukses. Keberhasilan Adek menyabet juara satu dan dua sekaligus dalam lomba foto tersebut secara tersirat memberitahu kita akan potensi Adek sebagai seorang fotografer.
Pinang Tua dan Masa Lalu yang Jauh Bila dilihat dari karya-karya para fotografer kampus yang masuk ke panitia lomba, tema yang masuk umumnya fenomena sosial dan budaya. Ini mengindikasikan adanya kesadaran sosial dalam diri para fotografer kampus itu. Foto yang menjadi pemenang ketiga yang berjudul Transportasi karya Rika Rahmad Darniati misalnya. Menggambarkan sesuatu yang sifatnya kontradiktif. Kata ‘transportasi’ bagi sebagian orang diasosiasikan pada sesuatu yang sifatnya modern, tapi foto tersebut menggambarkan sesuatu yang sangat tradisional, bahkan hampir terlupakan, yakni sebuah pedati. Pada masa lalu, pedati memang menjadi alat transportasi yang umum. Pesan yang diberikan foto ini cukup kuat, yakni kian tergusurnya alat transportasi tradisional oleh yang modern. Foto itu juga “membawa orang ke sebuah kenangan yang lebih jauh,” seperti kata Bang Dul.
Foto lain yang juga memberikan pesan tradisional yang kuat adalah Pinang Tua karya Ninda Ulva Novirman. Menurut Bang Dul ada makna filosofis dalam foto itu.
“Ada dua hal di sana, ‘pinang’ dan ‘tua’. Nenek yang sudah keriput, bekerja mengelola sesuatu yang juga sudah tua. Ada dua tua di situ. Orang tua dan pinang tua. Judulnya kuat dan punya karakter. Angle memang terasa kurang, cuma maksudnya sudah tertangkap. Tapi kalau anglenya dirubah sedikit, memfokuskan pada pinang dan nenek itu, hasilnya akan dahsyat sekali.”
Masih menurut Bang Dul, foto itu akan sangat mengesankan bagi perusahaan farmasi karena pinang juga bisa digunakan sebagai obat. Foto itu bisa bermakna “dari orangtua itu pinang bermula, dan bisnis itu meluas.”
Muhammad Nasir, Dosen Sejarah Jurnalistik IAIN Imam Bonjol menilai, sifat foto-foto yang masuk ke panitia tidak bisa dilepaskan dari sejarah jurnalistik foto.
“Dulu foto hanya sebagai pelengkap berita, tapi sekarang foto adalah berita itu sendiri, muncullah istilah foto jurnalistik, yaitu foto yang dianggap setara dengan karya-karya jurnalistik yang lain. “
Ia menyebut bahwa foto-foto pemenang merupakan sebuah karya jurnalistik, mampu memotret fenomena sosial.
Fotografer Kampus
Para pemenang lomba ini merupakan fotografer kampus, dalam artian, sebagai mahasiswa mereka mampu memotret sebuah peristiwa yang memiliki makna jurnalistik. Adek Dedees yang kelahiran 6 Desember 1989 mengaku sudah hobi memotret sejak punya kamera saku. Ia belajar secara otodidak pada teman-teman fotografer. Ninda yang kelahiran 1994 juga belajar secara otodidak. Mulanya ia memotret dengan kamera digital, lalu dengan kamera dslr. Waktu masih SMA ia ikut ekskul fotografi.
Ninda mengaku belakangan lebih suka memotret dengan pendekatan human interest. Menurutnya lebih natural. Sementara Rika yang menjadi pemenang ketiga mengaku tidak menyangka bisa menang, karena momen ‘pedati’ itu ia ambil secara kebetulan saja.
Ia melihat itu merupakan objek menarik untuk diabadikan. Setelah menang lomba, mahasiswa semester lima Jurusan Jurnalistik ini menjadi punya motivasi lebih untuk menjadi seorang fotografer. (Maya) sumber.. www.harianhaluan.com
umh.......asyik, jadi ingat waktu kecil maen di sawah,,,,
ReplyDelete