Monday, December 12, 2011

Adu Karya Fotografer Kampus

TERJUN BEBAS

Di sebuah lahan sawah yang luas, sekum­pulan itik tam­pak tengah asyik men­cari makan. Tiba-tiba da­tang seorang anak laki-laki berlari mengejar kawanan itik itu. Seketika yang dikejar lari berhamburan. Seorang perem­puan yang berdiri tak jauh dari situ segera mengangkat kame­ranya, dan…klik! Momen itu menjadi abadi.


Gemes Itik, begitulah mo­men itu diberi nama. Diam­bil Adek Dedees saat ia melihat kepona­kannya bermain di lahan sawah. Menurut cerita Adek, momen itu lahir tak sengaja.


“Dia (maksudnya ke­pona­kan Adek) gemes me­lihat itik yang sekitar dua tahun tak pernah dijumpai di kota. Saya me­nangkap hal itu dan ketika bermain saya mengabadikan,” cerita Adek.


“Foto Gemes Itik” itu sendiri dipuji oleh Abdullah Khusairi, mantan Wapimred Padang Ekspres yang kini menjadi dosen mata kuliah fotografi di Jurusan Jurnalistik IAIN Imam Bonjol. Menurut­nya foto itu sangat impresif. “Ada kesan sedang ber­gerak, ada kesan hubungan antara si anak dengan itik. Ada gerakan yang tertangkap di sana,” ujarnya. Lelaki yang juga cerpenis ini menyebutkan, foto “Gemes Itik” itu mampu membawa kembali kenangan orang terhadap suasana desa yang menyenangkan.


Foto Adek Dedees yang lain juga menuai pujian. Foto itu berjudul “Terbang”. Adek mengabadikan momen ketika serombongan anak-anak me­man­jat jembatan Purus, lalu melompat ke sungai. Foto yang menjadi juara dua dalam lomba fotografi bertema Sumatra Barat, Masyarakat dan Buda­yanya yang digelar HMP Jurnalistik itu menurut Ab­dullah Khusairi yang akrab disapa Bang Dul mem­per­lihatkan kesan heroik.


“(Foto tersebut menge­sankan) keberanian anak kecil terjun,”  ujar Bang Dul, seraya menam­bahkan gambar itu menawarkan sesuatu yang membuat kita responsif


Bagi Adek Dedees yang berasal dari UNP, foto Terbang se­benarnya merupakan upa­yanya dalam menyam­paikan kritik sosial seputar semakin lang­kanya kawasan bermain di anak-anak di Kota Padang


“Banda Bakali dan jem­batan menjadi duo tunggal yang mem­buat mereka kreatif  se­kaligus ekstrim dalam bermain air,” tutur Adek. Pengambilan foto itu sendiri tidak sulit. Adek hanya perlu menunggu lima menit untuk mendapatkan momen yang pas. Ada lima foto yang dihasilkannya. Dari yang lima ia menyaring satu yang dianggap terbaik. Foto itu menuai sukses. Keberhasilan Adek menyabet juara satu dan dua sekaligus dalam lomba foto tersebut secara tersirat mem­beritahu kita akan potensi Adek sebagai seorang fotografer.


Pinang Tua dan Masa Lalu yang Jauh Bila dilihat dari karya-karya para fotografer kampus yang masuk ke panitia lomba, tema yang masuk umumnya feno­mena sosial dan budaya. Ini mengindikasikan adanya ke­sadaran sosial dalam diri para fotografer kampus itu. Foto yang menjadi pemenang ketiga yang berjudul Transpor­tasi karya Rika Rahmad Dar­niati misalnya. Meng­gambarkan sesuatu yang sifatnya kon­tradiktif. Kata ‘transportasi’ bagi sebagian orang diasosiasikan pada sesuatu yang sifatnya modern, tapi foto tersebut menggambarkan sesuatu yang sangat tradisional, bahkan hampir terlupakan, yakni sebuah pedati. Pada masa lalu, pedati memang menjadi alat transportasi yang umum. Pesan yang diberikan foto ini cukup kuat, yakni kian tergusurnya alat transportasi tradisional oleh yang modern. Foto itu juga “membawa orang ke sebuah kenangan yang lebih jauh,” seperti kata Bang Dul.


Foto lain yang juga mem­berikan pesan tradisional yang kuat adalah Pinang Tua karya Ninda Ulva Novirman. Me­nurut Bang Dul ada makna filosofis dalam foto itu.


“Ada dua hal di sana, ‘pi­nang’ dan ‘tua’. Nenek yang sudah keriput, bekerja menge­lola sesuatu yang juga sudah tua. Ada dua tua di situ. Orang tua dan pinang tua. Judulnya kuat dan punya karakter. Angle memang terasa kurang, cuma maksudnya sudah tertangkap. Tapi kalau anglenya dirubah sedikit, memfokuskan pada pinang dan nenek itu, hasilnya akan dahsyat sekali.”


Masih menurut Bang Dul, foto itu akan sangat me­ngesan­kan bagi perusahaan farmasi karena pinang juga bisa digu­nakan sebagai obat. Foto itu bisa bermakna “dari orang­tua itu pinang bermula, dan bisnis itu meluas.”


Muhammad Nasir, Dosen Sejarah Jurnalistik IAIN Imam Bonjol menilai, sifat foto-foto yang masuk ke panitia tidak bisa dilepaskan dari sejarah jurnalistik foto.


“Dulu foto hanya sebagai pelengkap berita, tapi sekarang foto adalah berita itu sendiri, muncullah istilah foto jur­nalistik, yaitu foto yang diang­gap setara dengan karya-karya jurnalistik yang lain. “


Ia menyebut bahwa foto-foto pemenang merupakan sebuah karya jurnalistik, mampu memotret fenomena sosial.


Fotografer Kampus


Para pemenang lomba ini merupakan fotografer kampus, dalam artian, sebagai mahasiswa mereka mampu memotret sebuah peristiwa yang memiliki makna jurnalistik. Adek Dedees yang kelahiran 6 Desember 1989 mengaku sudah hobi memotret sejak punya kamera saku. Ia belajar secara otodidak pada teman-teman fotografer. Ninda yang kelahiran 1994 juga belajar secara otodidak. Mu­lanya ia memotret dengan kamera digital, lalu dengan kamera dslr. Waktu masih SMA ia ikut ekskul fotografi.


Ninda mengaku belakangan lebih suka memotret dengan pendekatan human interest. Menurutnya lebih natural. Sementara Rika yang menjadi pemenang ketiga mengaku tidak menyangka bisa menang, kare­na momen ‘pedati’ itu ia ambil secara kebetulan saja.


Ia melihat itu merupakan objek menarik untuk dia­badikan. Setelah menang lomba, mahasiswa semester lima Jurusan Jur­nalistik ini menjadi punya motivasi lebih untuk menjadi seorang foto­grafer. (Maya) sumber.. www.harianhaluan.com

1 comment: