#DIRUMAHAJA


Dakwah bil Qalam 

ABDULLAH KHUSAIRI 

Sejak pertengahan Februari, banyak di rumah dari pada di luar. Gerakan #DirumahAja dan #WorkforHome telah menggiring menggunakan kesempatan untuk membaca dan menulis sembari menyelesaikan tugas-tugas rutin sebagai pengajar. Kuliah online tetap dilaksanakan, seminar proposal online juga digelar, walaupun tidak efektif karena kendala-kendala media komunikasi yang digunakan. 

Membaca dan menulis sudah menjadi hobi. Sesekali diingatkan oleh mereka yang peduli, agar pergi dan menjauh dari laptop, buku, dan hal-hal yang mengasyikkan ini. Biasanya saya geber motor tua keluar komplek, keliling-keliling saja, atau pergi ngopi ke kedai komplek, atau keliling dengan mobil sembari mencari pabukoan. 


Ada teman yang protes, terlalu banyak tulisan di media online. Saya terima protesnya, sebab hari-hari saya menulis lalu dikirim ke redaksi bakaba.co, prokabar.com, langgam.id, inioke.com. Biasanya dikirim ke redaksi surat kabar, kali ini semuanya ke online. Teman yang protes, bukan soal banyak tetapi juga soal isi. Isinya tidak ilmiah, maklum teman ini juga seorang pengajar di kampus. Mungkin ia berharap agar saya menulis yang berat-berat, terlihat saya sebagai intelektual kelas kakap. Memaksa saya seperti itu percuma juga, sebab ada klausul agar menulis artikel populer dengan bahasa, isi, kajian yang tidak ribet. Harus tuntas, singkat, padat, menarik dan semua orang ingin membacanya. Beda lagi kalau untuk kajian serius, ada pula kamarnya. 

Soal ilmiah dan tidak ilmiah, bagi saya kadang-kadang itu tak perlu dalam sebuah tulisan. Paling penting, sebuah tulisan itu sampai pesannya. Karena itu perlu menarik minat baca publik. Kalau kajian ilmiah, memang perlu template dalam penulisannya. Ada bingkai yang sudah dibakukan, serta membutuhkan "data+teori+metode+analisis+kesimpulan." Tulisan serupa ini hanya dimuat di jurnal ilmiah, tidak mungkin mau tim redaksi memuat di media massa. Menulis artikel ilmiah juga saya lakukan, jika ada yang memintanya. Belum mengasyikkan karena belum ada motivasi yang kuat memaksa untuk bersitungkin. Beda dengan tekanan waktu menulis disertasi hingga 300 halaman, ada target yang hendak dicapai. Saya vakum menulis artikel di media massa, saya fokus saja satu tahun menulis dan menulis, membaca dan membaca setiap hari dan setiap malam agar tuntas. Alhamdulillah tuntas dan dapat gelar doktor. 

Membaca dan menulis bagi saya adalah kebutuhan. Cuma soal waktu, selera dan momentum, untuk memilih membaca apa dan menulis apa. Jika sebuah rumah, kegiatan ini saya akan pindah dari kamar yang satu ke kamar yang lain. Kamar sastra, kamar populer, kamar ilmiah, begitu saja. Tidak dirumit-rumitkan seperti orang-orang. Harus begini harus begitu, sedangkan karya tak juga dapat kita baca. 

Menulis bagi saya adalah dakwah bil qalam. Menyeru dan mengajak ummat untuk kebaikan (QS. An Nahl:125). Kata Saidina Ali bin Abi Thalib, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Kata Pramoedya Ananta Toer, jika kamu bukan anak raja, bukan anak orang kaya, tapi kamu ingin dikenal dan dikenang, maka menulislah! Inilah titik pacu saya, selain dorongan dari para senior, guru dan mahaguru. Dr. Sheiful Yazan, M.Si sampai menulis di opini Tabloid Khazanah, sebuah surat terbuka agar saya jangan jadi mantan jurnalis. Beberapa surat kabar dan media online memang menulis tentang promosi doktor saya sebagai seorang mantan wartawan. Tulisan yang enak dari seorang guru. Saya terharu karenanya. Jadi, menulis sebagai hobi, ibadah, yang harus terus dilakukan sebagaimana kewajiban berdakwah. Dakwah bil qalam. Dakwah lewat pena. 

Saya menulis disertasi berjudul Diskursus Islam Kontemporer di Media Cetak: Kajian terhadap Radikalisme dalam Artikel Populer Harian Kompas dan Republika 2013 dan 2017 (SPS UIN Syarif Hidayatullah: Disertasi, 2019). Lagi-lagi dalam kajian sangat serius itu, saya justru menulis tentang dinamika hobi saya juga, tentang artikel populer. 

Artikel populer ini, kata maha guru saya, Dr. Mafri Amir, M.Ag, tak semua orang cakap membuatnya. Butuh latihan. Pada artikel populer itu, termasuk tajuk rencana pada surat kabar, harus dibuat menarik, yang tetap ilmiah dalam artian logis, sistematis, tetapi harus memenuhi unsur kebaruan, menarik, singkat padat serta memberikan pencerahan. Jadi, memang tidak semua orang bisa menulis artikel populer itu. Wajar bila tidak banyak para cendekiawan yang ingin menulis dalam bentuk artikel populer, tetapi sangatlah cakap dalam menulis dalam bentuk artikel jurnal ilmiah. Sayangnya, jurnal ilmiah itu jarang menjadi konsumsi umum tetapi dibaca oleh kalangan cendekiawan serumpun ilmu itu.

Ini rahasia. Selain tidak hobi, tak mau tampil di deapan khalayak, salah satu kenapa orang malas menulis, karena menulis tidak dengan sepuluh jari. Sederhana sekali. Itu banyak curhatnya kepada saya, saya mengajarkan mereka dengan berbagai trik agar bisa. Termasuk menulis karya ilmiah, kendala paling dasar adalah tidak cakap menggunakan teknologi. Malas pula belajar, malas pula bertanya, tak ada pula target dan motivasi. Ya, selesai. 

Oke, demikian saja dulu, perihal dakwah bil qalam. Sampai jumpa. []

Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA