Thursday, October 19, 2006

JIWA LAPANG

Filosof politik Niccolo Machiavelli (1469-1527) termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan. Katanya, seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman dan kekuatan. Ini terdapat dalam buku The Prince (Sang Pangeran) karya filosof Italia ini. Buku yang mudah dibaca dan terjemahannya dalam banyak bahasa. Pun bahasa Indonesia.
Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya daya menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Dikatakannya, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus. Sehingga tidak perlu mereka alami tiap hari. Kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang.
The Prince (Sang Pangeran) sering dijuluki orang ”buku petunjuk untuk para diktator.” Tetapi tetap digandrungi. Dan Machiavelli dalam berbagai tulisannya menunjukkan secara umum dia cenderung setuju bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator. Tetapi dia cemas dan khawatir atas lemahnya politik dan militer. Demikianlah ia merindukan seorang Pangeran yang kuat yang mampu mengatur negeri dan menghalau tentara-tentara asing yang merusak dan menista negerinya.
Menarik untuk dicatat, meskipun Machiavelli menganjurkan seorang Pangeran agar melakukan tindakan-tindakan kejam dan sinis, dia sendiri seorang idealis dan seorang patriot, dan tidak begitu mampu mempraktekkannya sendiri apa yang dia usulkan. Membaca Machiavelli, saya menangkap dirinya yang tidak punya urusan dengan moral. Baik dan buruk adalah ”baik” untuk kekuasaan. Ukuran jahat atau tidak bukan sesuatu yang penting. Saya jadi ingat pepatah guru, orang yang suka dijajah akan bertemu dengan orang yang suka menjajah. Klop. Ya, kalau begitu tak ada salahnya Machiavelli masih dikenang dan dipelajari.
"Jangan salah kalau setiap kekuasaan cenderung disalahgunakan," kata pengamat politik.
"Makanya, dalam memilih orang berkuasa semestinya dilihat dulu kemampuannya agar tidak mengecewakan rakyat di kemudian hari," ujar pengamat tadi.
Wejangan seperti ini sering terdengar namun tidak pernah saya dengar kearifan dari seorang yang sedang berkuasa untuk jujur menyatakan kekuasaan yang sedang dipegang bukan kekuasaan mutlak.
Tiba-tiba saya ingat Ibnu Khaldun yang berkata, "Aku berlindung kepada-Nya dari peta politik yang kotor dan nista." Ibnu Khaldun jatuh bangun dalam bidang politik. Karier tertingginya, Mufti Agung (Kejagung) Bani Fathimiyah. Sempat pula masuk penjara karena lawan politik. "Artinya, teori agar rakyat selalu dan harus bodoh itu terbukti. Persoalannya sekarang, maukah kita selalu dibodohi dengan sesuatu berjangka pendek?" komentar seorang dosen filsafat.
Saya seperti dungu di ladang buku setelah membolak-balik lembaran demi lembaran. Betapa masih bodohnya saya, semakin membaca semakin terasa. "Oleh karenanya, galilah sampai ke dasar paling dalam. Yakinlah akan keluar daripadanya minyak bumi yang murni dan berkhasiat. Jika penggalian dangkal, gunanya tak ada kecuali untuk saluran comberan," kata ulama tasawuf yang saya temui.
Ia memberi pemahaman, orang berilmu itu akan lapang hati, jiwa dan pikirannya terhadap sesuatu. Ia tidak cepat menolak apalagi langsung memvonis dengan sebuah pendapat. "Belajarlah sampai ke ujung waktu dan usia,"katanya memberi nasehat.
Saya mengangguk bodoh. Kata-kata terakhirnya membawa keyakinan baru terhadap ilmu dan dunia. Tak ada yang final untuk dipelajari dan dunia tidak pernah usai. Jika akal berhenti berpikir, rasa telah tak lagi berperasaan, maka pertanda ajal sudah tiba; mati sebelum waktunya. Sungguh, saya takut sendiri dengan kesimpulan pikiran itu. Mujur seorang teman menyatakan, saya punya kemajuan berpikir. Syukur alhamdulillah. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id

No comments:

Post a Comment