Friday, October 20, 2006

DI DALAM ENTAH

Kota ini mulai malam. Temaram datang detik demi detik. Jalan mulai remang, walau ada lampu jalan dan lampu kenderaan yang lalu lalang. Kota ini di waktu malam memang tak seramai kota metropolitan. Hanya beberapa tempat yang hidup sampai seperempat malam, selebihnya sunyi sepi. Di beberapa tempat itu pun, mungkin di emperan toko tempat mereka main domino. Di cafe-cafe yang pengunjungnya terdiri dari beberapa komunitas. Atau di tempat mereka menggoyangkan kepala dan badan sembari mabuk-mabukan. Hanya di situ. Tak ada kehidupan seperti siang, di mana semua orang berlari mengejar waktu, obsesi dan uang. Kota ini ketika malam, hanyalah segelintir orang yang mencari hidup dan terpaksa hidup di tengah malam.
Sekilas memang terasa amat meyakinkan, kota ini sebagai kota pelajar. Dimana warga kota yang berbudaya, ramah, memiliki hobi membaca dimana saja berada. Baik di bus kota maupun di ruang tunggu. Tetapi, sesungguhnya, citra itu segera terkikis sedikit demi sedikit jika telah mendengar musik house di dalam bis kota menghentak membentak jantung. Atau melihat anak-anak jalanan di lampu merah. Mungkin kota ini sudah uzur…
***
Citra itu terasa kian luntur ketika melihat seorang anak muda asyik melinting daun kering seperti tembakau di sebuah kost. Terlihat amat asyik jari-jari tangan anak muda yang kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama itu menyelesaikan gulungan kecil di tangannya. Itulah daun ganja kering yang sudah diracik, katanya, membawa kenikmatan. Daun kenikmatan yang datang entah dari mana. Katanya dari Aceh, tapi laksana hantu ia datang dari Aceh.
“Udin, kuliah jangan main-main. Kalau tidak mampu katakan saja. Lebih baik mundur sekarang dari pada nanti tidak mendapat gelar sarjana. Lebih baik ikut ayah mencari ikan,” ujar ayah Udin, anak muda itu, ketika mengantar Udin ke kota I ni. Waktu itu, Udin sangat menghayati apa yang diucapkan ayahnya. Ia berjanji akan belajar dan mengejar prestasi.
Jauh-jauh datang dari kepulauan, ia merantau ke kota ini dengan membawa harapan orang tua. Seperti banyak remaja yang datang ke kota ini, membawa ambisi orang tua agar anaknya menjadi orang yang berguna dan mandiri.
Sampai di kota ini, untuk sekian lama, Udin tak mengingat pesan itu. Ia telah terpuruk dalam kenikmatan malam. Kota yang menurut ayahnya dulu adalah kota pelajar, kini tak ada lagi ditemukan Udin. Tempat ayahnya yang sempat mengenyam pendidikan setingkat SLTA beberapa puluh tahun silam.
Udin memantik api ke gulungan ganja yang baru saja linting tadi. Seperti alu kecil, di bagian yang dihisap pemuda berambut gondrong ini lancip, sementara di bagian ujung yang dibakar agak besar. Udin mulai menghisapnya dengan syahdu. Udin mulai menerawang. Diiringi lagu house dari tape recorder di sudut kamarnya. Ada bidadari yang mengelilinginya, ada surga yang tak terbayang bagi mereka yang tidak pernah mengisap daun kering itu.
Itulah Udin, dalam hari-hari kuliahnya di kota ini. Penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Seperti sudah lupa dengan niat pertama ia datang ke kota ini. Sementara, sang ayah penuh harapan menunggu dari semester ke semester kuliah sang anak. Ayah Udin cukup bangga menceritakan kuliah anaknya. Orang-orang pun hanya melongo jika ayah Udin menceritakan berapi-api, tentang jurusan yang diambil si Udin. Walau sudah beberapa kali diceritakan dengan orang yang sama, ayah Udin tetap bersemangat. Orang pun tak mau gegabah mematahkan cerita itu. Di kampung, Udin, sehari-hari juga dipanggil Ucok. Menurut teman-temannya, Ucok singkatan dari usia cukup otak kurang; kalau Udin; Udah itam norak lagi. Ia anak manja. Apa yang dipinta kepada ayahnya bisa dapat. Mulai dari tape recorder, sepeda motor sampai telepon seluler. Mewah memang. Maklum anak orang kaya di kampung nelayan kepulauan tersebut.
Begitulah Udin, sehari-hari tak lagi bercengkrama dengan mata kuliah yang mampu memusingkan kepala. Menurutnya, segala rumus dan teori di bangku kuliah kadang-kadang tidak realistis. Tak sama dengan rumus hidupnya yang amat ringan, simple. Bangun tidur, seduh teh manis, lalu melinting ganja, hisap, seterusnya mabuk. Ketawa sendiri atau mengajak teman. Itu saja rumus hidup pemuda ceking, berambut gondrong dan bermata sayu itu.
“Yang penting rasanya,” celoteh Udin antara sadar dan tak sadar.
Berbilang hari, berbilang bulan bahkan berbilang tahun. Udin cukup menikmati perjalanan hidupnya. Walau dengan segala dosa-dosa yang sangat ia sadari kepada orang tuanya. Dimana semua janji telah ia langgar demi mimpi-mimpi yang didapatkan ketika pikirannya melayang-layang dibawa bidadari dari asap-asap yang dihisap.
Di sudut kamar, berbagai koleksi botol minuman tersusun rapi dihiasi bunga edelweiss. Mulai dari bersegi empat sampai berbentuk ceper. Ini berbeda dari kamar mahasiswa yang biasanya tersusun rapi buku-buku pemikir terkenal atau teori-teori mutakhir. Ya, kamar Udin memang lain. Di mana, setiap sudut kamar penuh coretan abstrak dengan siluet perempuan. Sebuah bentuk suasana yang lain, mengarah kepada hal yang magis dan penghambaan modern. Menurut Udin, itulah suasana terbaik, seperti suasana surga baginya.
Di atas tape recorder, ada televisi yang menyala walau kadang tak bersuara. Volumenya memang dikecilkan, karena ada suara musik house membuat Udin geleng-geleng kepala. Terlihat nikmat sekali.
Pada dasarnya Udin mahasiswa cerdas. Dalam tas yang tergantung di dinding dan sudah lama tidak disandangnya, ada beberapa buku sastra yang ia minati, entah dibaca entah tidak. Tampak buku sayap-sayap patah, sang nabi, karya Kahlil Gibran yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam satu halaman buku sayap-sayap patah, terselip satu lembar kertas yang ditulis Udin ketika kuliah semester pertama. Di sini kutemui arti hidup ini/ menjejal hari-hari dengan kebebasan/ kenapa harus ada aturan ketika cinta tak membatas hari/ kekuatan segenap cinta yang ada ini tak untuk siapa/ Aku menemukan damai di udara pagi tanpa ada siapa-siapa/Kenikmatan hadir dari hati bukan dari siapa-siapa/kesendirian mungkin lebih berarti…
Sebuah ungkapan yang memang masih terpecah-pecah. Tapi Udin mungkin ingin memulai menulis. Sayang, kini hobi mabuk. Atau mungkin ia mendapat inspirasi ketika mabuk. Seperti seniman-seniman tua yang pernah ada. Mabuk dulu baru menulis.
Tulisan Udin berlanjut satu bait seperti ini; Jangan percaya dengan segala macam ritual bernama adat budaya jika sudah berbumbu rupiah. Memang kehormatan dipegang cerdik pandai, ninik mamak, tapi kadang-kadang cerdik berbumbu licik.. ini terjadi ketika cinta dipisah budaya).
Tulisan terakhir cukup mengarah, mungkin Udin sedang putus cinta. Ya, Udin sedang berproses menuju pelaminan. Entah itu pelaminan kehancuran atau kesuksesan, waktulah yang menjawabnya. Hidup adalah proses, dimana jiwa diasah dengan persoalan-persoalan. Tantangan-tantangan. Bukankah begitu…
Ketika berita kriminal dari televisi, Udin mematikan tape recorder, ia besarkan volume televisi. Ada rasa bangga ketika mendengar perampok ditembak, pengedar shabu-sabu kabur lewat jendela ketika digrebek aparat, polisi tertipu dan segala macam bentuk kriminalitas yang hidup di masyarakat. Udin, setengah sadar tertawa mendengar seorang pelacur dijatuhkan dari lantai tiga sebuah diskotik. Apalagi mendengar seorang anak kecil harus mencuri seekor kambing untuk membeli mobil remote yang sedang ngetrend dimainkan anak-anak dan bapak-bapak.
Tapi, jauh di sudut hati Udin, sedikit demi sedikit terbawa rasa takut. “Kapan giliranku,” gumamnya setengah sadar. Apalagi mendengar temannya berhasil dibekuk polisi karena mengedar ganja. Teman sekampus tempat ia sering mengambil barang haram itu. Rasa takut itu makin lama makin mendera, mendesak pemuda bertindik telinga dan hidung itu menutup pintu jendela rapat-rapat.
***
Pagi yang indah sekali. Udin bangun dan langsung mandi. Wajah yang kuyu tampak terpaksa segar karena rambut gondrong itu dibasahkan. Teh manis hangat baru saja ia seduh, sebatang rokok mild terselip di tangannya yang kurus. Trek, pemantik api dihidupkan, ketika rokok sudah terselip di bibirnya yang menghitam. Udin menikmati sisa-sisa mabuk semalam. Terasa ringan tanpa beban pagi yang indah ini. Diiringi alunan lembut nan syahdu tape recorder, Udin seperti menunggu, menunggu seseorang…
“Tok, tok,” pintu kost Udin diketuk. Seorang perempuan langsung masuk ke kamarnya. Entah siapa, seperti sudah terbiasa, mungkin pacarnya. Pagi yang mungkin sudah ditafsir Udin sebagai pagi yang cerah. Atau hari yang sudah sangat ia ingat. Sebuah rutinitas penting bagi kehidupannya. Perempuan berwajah tirus, mata sayu dan rambut sebahu itu tersenyum sinis masuk ke kamar Udin. Udin pun seperti tak menanggapi kedatangan perempuan itu. Udin terlalu simple. Cinta tak penting kecuali uang.
Entah berapa banyak perempuan itu harus berkorban untuk merebut hati Udin, namun ia tetap dingin. Bagi Udin, entah dimana seorang perempuan mendapatkan uang, yang penting bila ia membutuhkan harus ada. Bagi perempuan itu, mungkin tertarik dengan Udin karena gagah walau terlihat kuyu dan layu, tipe pemuda yang modis. Sejiwanya bathin mereka tentang kenikmatan.
“Jika tidak hubungan kita cukup sampai di sini,” ujar Udin ketika ia mendesak pacarnya yang kurus kering itu mengeluarkan uang.
Sudah beberapa menit duduk menikmati film kartun, keduanya tetap diam. Perempuan itu mengambil rokok mild di atas meja. Tanpa sungkan menyaingi Udin menghisap nikotin. Ada kenikmatan tak terbayangkan dari hisapan itu. Wajahnya hilang ketika asap dibiarkan keluar dari mulutnya tanpa dihembus. Sebuah acting yang mahir ia perankan.
Jeda film, iklan berlalu…
“Bang, saya terlambat,” ujar perempuan itu membuka percakapan.
“Terlambat apa?” Tanya Udin setengah tidur.
“Ya, terlambat bulan,” tegas perempuan itu sembari meletak abu rokok yang sudah panjang ke asbak.
“Aborsi aja,” ujar Udin singkat.
“Takut bang, udah beberapa kali,” jawab cuek.
“Periksa aja dulu, kalau memang positif, langsung saja cari jalan keluarnya. Entengkan?,” Jawab Udin santai.
“Abang mau bertanggungjawab kalau dibiarkan sampai melahirkan?” tanya perempuan itu seadanya, tapi cukup serius buat Udin.
Lamat-lamat Udin memandang wajah gadis yang kuyu tersebut. “Linda, sudah kukatakan berkali-kali. Dalam sepuluh tahun ke depan saya tidak akan menikah. Saya harus menunggu jiwa saya benar-benar mantap. Ekonomi sudah mantap, kuliah selesai,” jawab Udin serius.
Linda diam seribu basa. Ada pikiran lain yang sedikit demi sedikit menambah berat kepalanya. Sudah begitu lama ia tak didatangkan pikiran-pikiran yang memberatkan otaknya. Hari-hari ia lalui bersama Udin dan teman-temannya tak pernah memikirkan hal seperti ini. Semuanya enjoy. Mulai dari mabuk bersama sampai seks, adalah bukan hal berat yang harus dipikirkan.
“Jalani saja, hidup ini indah,” begitu katanya ketika menenggak air bening dari sebuah botol ceper di tempat yang sama beberapa waktu lalu. Linda benar-benar merasa nikmatnya hidup.
Tapi, hari ini ia mulai berpikir sedikit agak berat, walau ingin mempersingkat sehingga tak perlu menyiksa diri dan pikiran. Ia tak bisa simple kali ini. Mungkin memang sudah tak sesederhana dulu lagi. Sudah dua kali menjalankan aborsi, masuk ketiga kalinya adalah hal yang cukup berat baginya.
“Uangku tidak ada untuk aborsi. Bagaimana caranya?” ungkap Linda.
“Minta saja dengan pacarmu yang lain. Mereka pasti mau,” jawab Udin memberi solusi seadanya.
“Ini benar-benar janin darimu bang. Saya tidak berhubungan dengan mereka lagi,” ujarnya ketus penuh harap.
“Mana buktinya?” nada Udin meninggi.
Tampaknya perang tak terelakkan lagi. Udin tak mau terjebak dengan persoalan yang berat. Sebuah pertanggungjawaban. Kali ini Udin yang terbentur pikiran-pikiran berat. Ingin menjadi se-simple mungkin, tapi tak bisa, sungguh tak bisa. Sebuah resiko besar terbayang di sela-sela pikirannya yang menerawang dibawa pesona keindahan alam bawah sadarnya. Ia masih sempat tersenyum, lebih tepat disebut menyeringai.
Keduanya diam seribu bahasa. Sementara, pagi telah pergi, siang datang, senja menjelang. Kamar Udin seperti tak berpenghuni. Ibu kost yang kebetulan lewat di depan kamar tidak menyangka ada kehidupan di dalamnya. Walau ada asap rokok yang diam-diam keluar dari ventilasi. Tidak kelihatan. Mungkin asap terlalu cerdik, atau ibu kost hampir pikun. Entahlah…
Siang berlalu, sore menjelang kamar itu masih tertutup. Musik sudah dimatikan, lampu juga tak menyala. Udin dan Linda masih di dalam. Entah apa yang mereka lakukan, entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin sedang perang. Tapi entah perang apa? Dan sorepun hilang, malampun menjelang. Kota ini mulai malam kembali. ***
Padang, Awal September 2003

1 comment:

  1. wah,,ne bisnis kayanya,,ikut ngetren juga ahk diblog keren ini,,dan sapapun yang ada disini,mampir ya digubuk aku,,jangan lupa beri komentarnya juga,,ditunggu,,thanks

    ReplyDelete