Tuesday, October 17, 2006

SASTRA-CERPEN

BONEKA PINGUIN

Cerpen Abdullah Khusairi


BEBERAPA minggu belakangan banyak sekali boneka pinguin dijual di jalanan. Bentuknya indah dan lucu. Besar dan berwarna-warni. Sepuluh, lima belas, dua puluh, berjejer rapi seperti beranak pinak menunggu pembeli. Kalau angin bertiup karena kenderaan yang lewat, mereka tampak kompak seperti dikomando rebah ke kiri, ke kanan, ke depan ke belakang. Aduhai indahnya.


Setiap melihat boneka pinguin itu entah kenapa aku jadi ingat anakku, Eni, yang berumur tiga tahun setengah. Dalam pikiranku, pasti ia bahagia kalau aku belikan dia satu buah boneka pinguin itu. Kalau aku beli, pinguin sebesar badan Eni itu, pastilah ia tak mampu mengendongnya seperti boneka-boneka yang pernah aku beli, paling-paling ia mampu menyeretnya kalau ingin memindahkan boneka itu.


“Lima belas ribu bang,” jawab penjual boneka ketika kutanya kemarin, aku benar-benar tak tahan untuk membelinya untuk anakku. “Tak kurang?” tanyaku lagi.


“Tidak, harga pas,” jawabnya sembari memompa pinguin baru.


Uangku hanya sepuluh ribu rupiah. Mesti aku sisihkan lima ribu rupiah lagi hasil menambang nanti sore. Bisakah aku mendapatkan uang lebih dari menyopiri taksi hari ini? Sementara pagi tadi pak Tasman, juragan taksi ini menaikkan setoran taksi dari Rp85 ribu menjadi Rp100 ribu. Dibanding dengan setoran taksi lain memang lebih murah, umumnya sekarang sekarang Rp130 ribu.

“Boleh diangsur. Pokoknya tidak memberatkan,” begitu katanya.
Bagaimana bisa? Ketika penumpang tak banyak lagi, sementara armada taksi baru makin banyak saja. Mengkilap dan menarik untuk dinaiki. Bersaing dengan mereka tentu taksi yang aku bawa ini tak mungkin mampu.


Tapi aku tak dapat membantah keputusan pak Tasman, hanya saja kupikir, kalau saja ada pekerjaan lain yang lebih menguntungkan, ingin rasanya meninggalkan profesi yang sudah belasan tahun digeluti.
Penumpang amat sepi akhir-akhir ini, karena memang sepeda motor sudah murah didapat di dialer sehingga setiap rumah tangga setidaknya sudah memiliki satu unit motor. Walaupun mendapatkannya dengan cara kredit, mereka sudah bisa menekan biaya naik taksi. Kini jadi sopir taksi amat pahit aku rasakan. Hal yang sama juga dirasakan oleh teman-teman sopir lain.
Dulu sempat kami optimis karena bandara dipindahkan lebih jauh. Harapan kami tentu saja akan banyak penumpang yang akan membutuhkan jasa taksi. Tetapi setelah tahu ada armada lain yang masuk, bus khusus ke bandara kami jadi tak bisa apa-apa lagi. Bus bisa agak murah dan menjadi pilihan bagi penumpang yang akan ke bandara. Teman-teman sopir taksi khusus bandara kadang-kadang harus mogok karena memang amat pahit hidup mereka. Terdesak oleh keadaan. Kebijakan orang-orang atas sering kali melibas masyarakat kecil seperti kami.
“Wajar saja mereka menjerit. Arus penumpang tidak mengalami peningkatan selama ada bandara baru. Sementara armada angkutannya bertambah. Tentu tidak seimbang jadinya,” ujar pengamat yang aku dengar dari radio taksi ini. Mendengar radio adalah hiburan di sela-sela celoteh operator yang selalu berkicau.
***
Sungguh, enam bulan terakhir amat jarang kelebihan setoran bisa dibanggakan. Hanya cukup untuk makan. Kalau mencapai Rp50 ribu, itu sudah amat senang hatiku. Walaupun sebenarnya hanya bisa bisa menutup hutang di masa-masa sepi sebelumnya.
“Bang, kontrakan kita bulan depan habis. Tabungan kita sudah ada separo,” ungkap Devi, isteriku melapor. Menjelang tidur sering kami gunakan untu berbagi setelah sepanjang siang dan separo malam tidak bertemu. Aku mengangguk saja sembari melihat putri kami yang lelap bermimpi. Abangnya, Romi kini tak bersama kami. Ia diajak neneknya di kampung karena mertuaku sekarang sendirian di rumah. Romi sudah kelas enam. Mujur sekali neneknya mau mengajak, sehingga bisa meringankan bebanku. Sejujurnya, aku ingin tetap Romi di sini menjaga adiknya. Tetapi keadaan seperti sekarang, amatlah tidak menguntungkan.
“Aku beberapa hari ini ingin sekali membelikan Eni boneka pinguin yang banyak dijual di jalan-jalan itu. Tapi uangku belum ada,” ujarku.
“Ya. Kami pernah melihatnya. Eni menunjuk pinguin itu dengan girang ketika di atas angkot pulang dari pasar minggu lalu,” sambung isteriku. Ungkapannya menikam dada.
“Tunggulah kalau ada rezeki agak berlebih. Aku segera membelinya,” aku menghibur diri dan isteri.
Malam amat sepi. Dalam ketiadaanku ada isteri yang mengerti atas gelora hidup dan gelombang nasib yang menerjang. Aku hanya seorang sopir taksi.
***
Bukan berarti mainan anakku tak pernah aku beli. Aku sering membelinya kalau ada uang. Bahkan untuk urusan yang satu ini sering kali aku bertengkar dengan Devi, karena menurutnya mubazir. Sementara menurutku inilah kasih sayang kepada anak. Anak adalah segala-galanya. Walau aku sadarinya caranya sedikit salah. Tapi tak apa dari pada anak-anakku akan menitik air liur melihat mainan anak tetangga. Aku tak mau itu terjadi. Apalagi aku pernah melihat Romi mendapat mobil-mobilan dari rongsokan. Aku marah besar. Aku beli dia mobil-mobilan yang bagus. Sejak itu ia tak berani membawa mainan yang didapatkannya di jalanan.
Ketika aku kecil memang tak ada jualan beraneka ragam mainan. Sedikit dan aku pun tak pernah dibelikan karena kondisi ekonomi keluarga memang pas-pasan. Aku jadi kreatif membuat mainan dari apa saja. Dari papan bekas hingga pelepah pisang. Memang alamnya pada waktu itu memaksa agar kami bahagia dengan mainan yang dibuat sendiri. Tapi sekarang tidaklah zamannya lagi untuk memberi waktu bagi anak-anakku seperti itu. Biarlah aku membelinya walau dengan perjuangan yang amat sangat pahit sekalipun. Aku ingin membalas pahitnya hidupku dulu dengan kesenangan buat anak-anakku.
Niat untuk membeli boneka pinguin itu memang belum aku sebutkan kepada Eni. takut ia terlalu berharap nantinya. Sebelum pergi ke rumah juragan taksi, pagi tadi aku hanya mencium pipinya ketika ia sedang asyik bermain dengan beberapa boneka memang sudah kusam. Aku berdoa agar mendapat setoran yang cukup dan lebihnya bisa aku belikan boneka pinguin.
Sebenarnya kemarin sudah bisa aku beli, tetapi kelebihan setoran digunakan untuk membayar tagihan listrik bulan ini. Mujur saja tak terlalu mahal. Pendapatan kemarin hanya tersisa untuk belanja dapur saja.
Melaju tak tentu arah adalah kesia-siaan. Minyak mahal. Tapi parkir di tempat strategis harus bersaing dan menunggu giliran dengan teman-teman sopir lain. Itupun kalau ada penumpang. Akhirnya aku membelokkan ke jalan-jalan tempat boneka pinguin-pinguin itu berbaris. Aha, tak ada satupun, mungkin masih terlalu pagi. Biasanya memang siang menjelang sore baru ada. Sembari melaju aku melihat kiri dan kanan kalau-kalau ada yang menggamit untuk menumpang.
“Paling dekat dengan jalan Sudirman?” operator menyapa.
“29. Malik,” cepat aku jawab agar tak ada teman lain yang menuju ke sana. Bersaing kadang-kadang memang tidak harus memilih, dengan siapa saja yang penting cepat.
“Silahkan belok sedikit ke Simpang A Yani dekat lembaga kursus. Selamat jalan,” ujar operator itu.
Aku hapal kemana jalan yang tercepat dan menekan gas. Sampai di depan gedung lembaga kursus aku memang melihat seorang gadis yang anggun sedang menelepon, tangannya kanannya menggapai ke depan memberi tanda agar aku menepi. Aku segera berhenti dan membuka pintu.
“Kemana bu?” tanyaku.
“Ke S Parman. Berapa?”
“Dua puluh ribu rupiah saja.”
“Tidak kurang? Lima belas ya, biasanya segitu.”
“Naiklah.” Lumayanlah, seharga boneka pinguin-pinguin itu.
Gadis itu naik. Posisi tawarku amat rendah sekarang. Tidak dapat menolak, aku pun tak mau bertele-tele karena sering membuat penumpang kesal. Aku pikir murah hati murah rezeki. Bisa jadi ada lagi yang bakal naik.
Dulu aku jarang sekali mau kurang ongkos. Apalagi harus rugi waktu dan minyak. Sekarang mesti lebih lunak agar penumpang nyaman. Apalagi sekarang taksi yang aku bawa tak begitu mengkilap lagi. Percuma aku harus meletak tawaran tinggi, mereka sering kali menolak dan tak jadi. Memilih menunggu taksi yang lebih baik dan murah. Tentu aku jadi rugi.
Suatu hari pernah juga aku marah pada penumpang seorang ibu dan anaknya yang sudah tawar menawar tapi tak jadi, tak lama setelah itu suaminya mencariku. Aku takut sekali karena suaminya ternyata seorang tentara. Pengalaman telah mengajarkan pahit manis jadi seorang sopir.
Masa termanis jadi sopir waktu aku masih lajang. Isteriku dulu seorang penumpang setia yang aku antar ke sebuah komplek tempat mengajar les. Ia bayar dari honor mengajarnya. Sekarang ia tak mengajar lagi katanya tak ada murid lagi. Sudah besar-besar dan anak-anak sudah banyak masuk play group dan taman kanak-kanak.
“Di sini pak.”
Gadis itu turun dan membayar ongkos. Setelah itu aku melaju lagi entah kemana tanpa tujuan. Menyetir menjadi sebuah kebosanan. Mencari penumpang yang tak jelas seperti mencari “rezeki harimau” kadang dapat, kadang tidak. Kadang banyak, kadang sedikit. Tetapi yang paling sering itu tidak dapat apa-apa. Karena taksi yang aku bawa sudah tak menarik lagi untuk dinaiki. Penumpang sekarang bisa pilih-pilih taksi dan banyak sudah berlangganan.
Dulu aku punya langganan banyak, sering diberi tips, atau mengantar penumpang ke luar kota. Sekarang sudah jarang sekali. Kadang-kadang ingin sekali aku kembali ke masa lalu, ketika taksi menjadi primadona untuk dinaiki oleh siapa saja.
Soal argo memang kadang-kadang jadi masalah. Masih banyak penumpang yang meminta pakai argo meter, tetapi umumnya sekarang taksi tak memakainya. Sopir dan penumpang lebih sering tawar menawar. Sebenarnya kadang-kadang tak terlalu jauh bedanya. Apakah ada rezeki harimau itu? Kadang kadang aku jadi banyak berkhayal yang tidak-tidak. Rezeki tidak datang dari harimau, karena memang manusia sering jadi harimau mencari rezeki. Mau dapat banyak bekerja sedikit. Rezeki datang dari Yang Maha Kuasa asalkan tetap bekerja. Pasrah dan berdoa. Begitulah pikiranku.
Hari telah beranjak siang. Sore mendekat dan malam amat cepat datang. Tapi aku belum mendapatkan setoran. Sudah beberapa kali aku kelilingi tempat-tempat yang mungkin ada penumpang tetapi hanya ada satu dua saja yang bisa naik dan itu pun minta diantar cukup dekat. Penumpang seperti ini menurutku tetap ada walau sedikit. Mereka adalah oase di gurun-gurun tempat kami sopir taksi harus beraksi dengan cepat dan cermat menggunakan akal. Kadang-kadang juga berebut.
Aku kembali ingat pulang. Ingin bertemu dengan anak dan isteri. Tetapi boneka pinguin itu, hari ini tampaknya belum bisa aku beli. Jangankan bisa membelinya, untuk setoran saja masih kurang. Tak enak sekali dengan Pak Tasman, juragan taksi, kalau terlalu sering tidak cukup setoran. Kadang-kadang aku buat alasan yang bukan-bukan. Ban bocor, mobil mogok, penumpang sepi dan entah apalagi.
Hatiku benar-benar galau. Aku tekan gas agar taksi bisa lebih kencang. Menghalau galau yang menyelimuti hati. Menelikung ke kiri di persimpangan aku tak menghiraukan lampu merah yang menyala untuk kenderaan yang berbelok ke kanan. Persneling aku pindahkan, kembali tancap gas. Mesin meraung menyatakan tidak bisa untuk lebih kencang lagi. Aku tetap memaksakannya.
Tiba-tiba di depan ada mobil menyelinap. Aku kehilangan kendali dan membanting setir ke tepi jalan. Pada detik yang tak pernah aku perhitungkan, “Braak… praak… bruss, bruss, bruss,” belasan boneka-boneka pinguin berserakan dan terhimpit di bawah taksiku. Balon-balon penguin yang berisi udara dan air itu mengempis. Taksi meluncur ke atas trotoar hingga menghantam sebuah pohon, “Braak…” Tubuhku bergoncang hebat, dadaku nyeri terhempas ke setir. Setelah terhenti, tak kuusahakan sedikitpun untuk berbuat, selain termenung membiarkan pikiran menari-nari ke udara yang basi. Aku pusing.***


Andalas Padang, 20 April 2006

No comments:

Post a Comment