Saturday, July 10, 2010

Mencari Bakat, Menggali Minat

Mendapat kepercayaan dari Plant Indonesia menjadi "guru" dalam Workshop Menulis untuk anak-anak korban bencana, meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Ternyata, bakat dan minat kadang tak perlu hadir bersamaan. Kalau tak berbakat, tapi punya minat besar, maka kemahiran sebuah keterampilan segera bisa diraih. Apalagi bila berbakat sejak awal. Sebaliknya, jika punya bakat tapi tak berminat, maka yang terjadi adalah kesia-siaan!
Di negeri ini, masalah "menulis", bagi banyak orang adalah "masalah besar". Hal ini berawal dari masalah "membaca". Dimana budaya "baca" memang tidak begitu besar. Meminjam istilah Seno Gumira Adjidarma, "membaca" bagi masyarakat kita adalah, hanyalah membaca seberapa besar discount di pusat belanja. Tidak banyak yang lebih dari itu.
Tetapi sebenarnya, bakat selalu terpendam. Jauh dari pusat keramaian dan glamour kehidupan di kota-kota besar, di sebuah daerah yang baru saja dihantam bencana, terdapat talenta-talenta menulis yang luar biasa hebatnya. Kedengarannya memang berlebihan. Tetapi, saya tidak sekali ini menjadi tutor penulisan singkat. Banyak tempat dan kesempatan, bahkan di kampus. Hasilnya, tidaklah sedemikian rupa apresiasi saya terhadap 'anak didik' yang cepat mendapatkan keterampilan khusus menulis ini diberikan. Persoalan klasiknya adalah; banyak orang, sudah ketakutan lebih dahulu sebelum mencoba!
Saya membaca setiap karya dari sekitar 30 orang anak-anak terpilih, dari siswa sekolah dasar, hingga sekolah menengah ke atas. Mereka umumnya, mengaku awalnya tidak menyukai dunia tulis menulis. Namun setelah diperkenalkan, mereka mencoba, dan ternyata bisa. Setelah "dipapah" selama lima kali pertemuan, hasilnya, dua news letter dan satu buku kumpulan tulisan bisa dilahirkan. Tak terbayangkan, bila gerakan Plan ini bisa diikuti oleh NGO lain, akan banyak talenta-talenta terpilih bidang menulis bisa muncul di permukaan. Pada titik ini, guru bahasa Indonesia mereka di sekolah patut memberi apresiasi lebih kepada siswanya.
Menulis memang persoalan sepele bagi yang berbakat dan yang berminat. Seperti keterampilan lain, jika dijalani terus menerus segera mahir. Namun, ada perbedaan mendasar dalam menulis. Dimana, bahan-bahan kalimat yang dibangun seperti batu bata merupakan hasil pencernaan dari pikiran. Bahan-bahan ini masuk ke ruang nalar melalui panca indera yang diasah sedemikian rupa. Dari sinilah, ide-ide yang pada awalnya tidak begitu penting ditangkap menjadi bahan-bahan tulisan.
Peserta workshop ini telah diberikan materi-materi teknis penulisan yang paling mutakhir. Diperkenalkan pada dunia yang berbeda dari sebelumnya. Mereka belum mengenal bacaan-bacaan yang paling baru. Mereka menggeleng kepala ketika ditanya tentang Novel Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, apalagi Harry Potter, Dan Brown, dst.
"Cuma nonton filmnya," begitu jawab mereka.
Padahal, film dan novel adalah hal yang jauh berbeda. Tetapi, bagaimana bila digelitik untuk menulis tentang pengalaman yang mereka rasakan saat bencana 30 September 2010 lalu. Semuanya lancar menulis. Runtut dan menarik. Dari hal-hal kecil sampai hal besar, bisa mereka tangkap. Inilah menariknya, ada daya dorong mereka untuk bercerita. Sebab, cerita mereka masih terpendam dalam kepala masing-masing.
Agaknya, Program Plant Indonesia untuk anak-anak seperti ini harus dilanjutkan di masa-masa mendatang. Tidak hanya satu tempat, satu kecamatan saja. Sebaiknya merata. Sebab, berharap pada dunia pendidikan yang mengutamakan kelulusan Ujian Nasional (UN) dari pada menggali talenta adalah pengharapan yang cuma-cuma. [Abdullah Khusairi] Sandereh, Tahun I Edisi Juli 2010

No comments:

Post a Comment