Ungkap Posisi Hadits Batas Aurat Muslimah
Batas aurat muslimah ketika sudah mengalami haid dalam pandangan para ulama bisa berbeda-beda, sesuai dengan landasan dan alasan masing-masing. Paling tidak, terdapat tiga pandangan para ulama soal aurat muslimah. Semuanya dipakai di berbagai belahan dunia.
Abdullah Khusairi ---- Padang
Pertama, ulama yang menyatakan seluruh tubuh muslimah itu aurat yang harus ditutupi, termasuk menutup wajah (dengan menampakkan mata) yang biasa disebut cadar. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa aurat muslimah adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Ketiga, ulama yang berpendapat bahwa batas aurat muslimah diserahkan kepada budaya dan tradisi daerah masing-masing.
“Hasil penelitian terhadap hadits tentang batas aurat yang memiliki perdebatan panjang antar para ulama, karena posisi hadits yang dianggap sangat lemah dari segi periwayatannya. Namun, setelah diteliti, akhirnya dapat disimpulkan, bahwa aurat muslimah itu adalah seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan wajah,” ungkap Dr. Riri Fitria, M.Ag. Doktor termuda (28 th), yang baru saja mempertahankan disertasinya di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, beberapa waktu lalu.
Di hadapan tim penguji, dosen muda Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang ini menyatakan, kata jilbab pada ayat al-Qur'an adalah pakaian lebar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuhnya selain mata. Ini mengacu pada Al-Quran Sur’at An-Nur 31.
Sedangkan kelompok kedua, memandang bahwa kata jilbab dan maksud dari al-zinah al-zhirah pada ayat tersebut adalah wajah dan telapak tangan. Sehingga batas aurat muslimah adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Pendapat ini tidak mewajibkan muslimah untuk memakai cadar.
Sedangkan pendapat ketiga, batas aurat muslimah diserahkan kepada ketentuan tradisi masing-masing daerah, dalam arti tidak ada ketentuan tertentu tentang batas aurat bagi muslimah. Mereka yang mengemukakan pendapat ini mengungkapkan tidak adanya ayat dan hadits yang secara tegas menyebutkan bagian apa saja yang harus ditutup muslimah di hadapan non mahramnya.
Ayat yang berbicara mengenai pemakaian jilbab juga dikhususkan kepada istri Rasulullah SAW dan dalam tempo waktu tertentu. Pendapat tersebut berkonsekuensi bahwa jilbab bukan merupakan kewajiban bagi muslimah. Pendapat terakhir ini juga diamini oleh Prof.Dr.H. Quraish Shihab, mufassir penulis Tafsir al-Misbah.
“Jadi. Konsekwensi penelitian ini, membuat pendapat yang ketiga tidak jadi relevan. Karena, hadits yang diteliti menjadi kuat dan bisa diterima sebagai hujjah. Selama ini, memang terbiarkan. Seakan-akan memang lemah tanpa ada yang meneliti lebih jauh, lebih dalam tentang keberadaaan hadits tersebut,” tegas putri Prof. Dr. H. Tasman Ya’cub ini.
Bisa jadi, Riri tak hendak menggugat langsung pendapat dari Prof.Dr.H. Quraish Shihab. Namun, Riri telah melakukan perjalanan akademik mendalam dalam keilmuan hadits (Ulumul Hadits) sehingga ia sangat menguasai Ilmu Hadits dan seluk beluk hadits. sementara Quraish Shihab juga demikian, namun di bidang Tafsir. Jadi, ada baiknya keduanya diberi kesempatan untuk duduk bersama mencari titik temu agar tentang aurat muslimah bisa lebih tegas lagi.
Keberanian dan kejelian Riri Fitria membongkar keberadaan hadits ini membuat ia layak menyandang gelar doctor setelah ujian di hadapan guru besar IAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si, Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, M.A., Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, M.A., Dr. H. Zainuddin MZ, M.A., Prof.Dr. H. Said Aqil Husin al Munawwar, M.A (Mantan Menag RI., Prof. Dr. H. Burhan Djamaluddin M.A., dan Prof. Dr. H. Zainul Arifin, M.Ag.
Hadits yang diteliti Riri adalah hadits yang menerangkan aurat dipandang ulama hadits sangat lemah (dhaif), sehingga hadits tersebut dipandang tidak dapat dijadikan hujjah (mursal). Namun Riri berpegang pada pendapat Muhammad Nasir al-Din al-Albaniy. Seorang ulama hadits yang dintens meneliti hadits hingga masa tuanya.
“Sejak awal memang sudah mengarah ke bidang keilmuan ini, perihal kekaburan ketentuan batas aurat muslimah sudah sering mengemuka. Seakan-akan ingin mengesahkan, aurat muslimah boleh ditafsirkan sekenanya saja menurut kepentingan trend. Padahal, tentang pakaian seorang muslimah banyak sekali dipaparkan dalam hadits. Umumnya riwayat Bukhari dan Muslim,” papar ibu satu anak ini.
Riri menyatakan, dimensi pakaian muslimah tersebut, selain dari hadits yang sudah ia teliti. Pada hadits lain juga ditemukan, pakaian yang dipakai tidak tipis, tidak mengikuti lekuk tubuh alias longgar.
“Artinya, masih ada ruang berkreasi untuk merancang busana muslimah. Bukan berarti tidak boleh ikut trend, tetapi rambu-rambu tadi tidak boleh dilanggar. Kita sangat khawatir, pemahaman terhadap aurat muslimah yang lemah akan membuat semakin hari semakin melonggar pemahaman kita terhadap arti pentingnya sebuah ajaran. Dimana, hal tersebut berhubungan dengan etika, moral, juga martabat kaum perempuan,” tutup isteri Aidil Novia, MA ini. [] Sumber: Harian Umum Independen Singgalang, Kamis (17/3).
subscalOdemp_o_1981 Dan Johnson https://wakelet.com/wake/7iS1FKKhogu4w5JubwnMn
ReplyDeleteoldedovic