Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpa suatu musibah kepada suatu kaum. (QS.Al Hujarat; 6)
Maka kalau ada isu beredar, janganlah cepat percaya. Bertanyalah, cari tahu kepastiannya dengan sumber yang benar-benar menguasai persoalan.
Konfirmasi (memastikan) adalah sebuah keharusan. Apalagi jika ingin menyampaikan kepada yang lain. Harus benar-benar terukur kebenaran faktual materi informasi yang disampaikan.
"Seorang jurnalis bukan saja harus konfirmasi agar berita yang disampaikan medianya bernas. Tapi juga harus verifikasi. Keduanya berbeda. Konfirmasi itu memastikan. Verifikasi itu menjernihkan. Silahkan buka buku, Sembilan Elemen Jurnalisme (Pantau 2003), ditulis Bill Kovach," ujar dosen komunikasi massa sebuah universitas swasta di Padang.
Usaha verifikasi dilakukan dengan melihat aturan, bertanya pada pakar bukan untuk jadi sumber berita, selanjutnya juga termasuk memaparkan data dan fakta yang ada secara kronologis. Sehingga berita jernih disampaikan.
"Kalau tidak dilakukan, wartawan bisa keliru dan ditipu nara sumber," jelas dosen kita ini.
Saya mengangguk-angguk, geleng-geleng, seperti orang yang mengerti benar. Tetapi yang dapat dipahami adalah verifikasi amatlah penting. Bukankah seorang wartawan, mengerti baru bertanya, paham baru menulis?
Saya mengangguk-angguk, geleng-geleng, seperti orang yang mengerti benar. Tetapi yang dapat dipahami adalah verifikasi amatlah penting. Bukankah seorang wartawan, mengerti baru bertanya, paham baru menulis?
"Jangan samakan konfirmasi dengan verifikasi. Jangan samakan intensif dengan insentif. Bisa bahaya itu," jelasnya kesal. Langsung menutup selulernya.
Maka tinggallah saya yang bodoh dan didatangi seorang teman. Teman ini menyatakan, seringkali informasi mengandung bumbu penyedap terlalu banyak dari materi yang disampaikan.
Saya katakan, di dunia jurnalistik, agar berita dapat dipercaya oleh khalayak harus dilakukan diperiksa kebenarannya. Istilahnya, konfirmasi, verifikasi, check and recheck dan balance agar berita disampaikan menjadi cover both side dan independen. Di sinilah letak sikap seorang wartawan, jujur dan amanah. Saya pun secara rinci menjelaskan bagaimana jurnalisme harus dijalankan secara hati-hati.
"Tapi banyak wartawan tidak seperti itu. Baru jadi wartawan sudah bagak sekali," ia memotong.
Mendengar itu, saya kesal sekali. Tapi teman saya ini mengungkapkan banyak fakta. Saya kalah telak. Lalu mundur dan menyatakan, ada wartawan yang baru jadi wartawan ada yang sudah berkarat. Tentu beda. Jurnalisme adalah profesi yang membutuhkan proses dalam pematangan.
"Tapi saya melihat banyak yang tersesat. Tidak menjunjung tinggi etika profesi," teman ini melepas jeb.
Bisa jadi benar. Karena wartawan tidak punya dunia pendidikan formal. Ia banyak dilahirkan oleh alam. Tetapi bagi yang berkecimpung tentu saja dengan suka cita mencintai profesi yang satu ini. Pemahaman saya, soal moral memang harus dikembalikan kepada pribadi-pribadi, toh memang banyak penumpang gelap dalam berbagai profesi. Misalnya, wartawan gadungan, dokter gadungan, polisi gadungan. Penumpang gelap ini mengambil untung melebihi orang yang berprofesi sesungguhnya. Misalnya wartawan gadungan lebih wartawan dari wartawan yang resmi. Padahal, wartawan resmi itu ada kartu pers yang ditandatangani pemimpin redaksi dan terdaftar jadi anggota organisasi profesi. Begitulah amanat UU No 40 Tahun 1999.
"Apa wartawan seperti itu bisa ditangkap aparat?"
"Bisa asal ada yang lapor," jawab saya cepat.
"Bagaimana mungkin. Tentu orang takut melapor wartawan."
"Di sinilah letak persoalannya. Ada banyak orang hanya main aman saja. Tak mau repot. Membiarkan diri untuk setiap waktu mau ditakuti. Takut berarti memang ada kesalahan," saya balik menekan dia.
"Bung jangan menyatakan begitu. Saya cuma mengadu begitulah adanya di lapangan."
"Lha saya tidak bermaksud menyatakan bapak salah. Kalau seseorang takut biasanya tanda seseorang itu salah. Kan pernyataan yang lumrah. Kenapa bapak merasa bersalah?" ujar saya naik pitam.
Teman saya ini mengeluarkan kartu pers dari sebuah surat kabar yang entah masih terbit atau tidak. Juga mengeluarkan kartu dari sebuah organisasi profesi. Saya salut ternyata dia kini seorang wartawan surat kabar di provinsi bagian utara sumatera.
"Saya mau ke Jakarta bisa bantu saya?"
Melihat gelagat itu saya cepat menggeleng.
"Meliput acara tapi tak punya ongkos," katanya.
"Dari kantor?" tanya saya.
"Gaji saja tidak ada. Bagaimana uang jalan ada. Modal kami hanya kartu-kartu ini," ujarnya yakin. Mantap.
Saya tak dapat bicara lagi. Keinginan saya ada satu setelah itu, konfirmasi ke kantornya. Setelah itu melakukan verifikasi persoalan, check and recheck, triple check. Kepada teman dekatnya, kapan perlu kepada "orang rumahnya". Apa benar ia seorang wartawan? Apa kartu tadi hanya dibuat dikomputer lalu dilaminating? Sungguh, informasi ini baru sepihak saya dapatkan. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id
Saya katakan, di dunia jurnalistik, agar berita dapat dipercaya oleh khalayak harus dilakukan diperiksa kebenarannya. Istilahnya, konfirmasi, verifikasi, check and recheck dan balance agar berita disampaikan menjadi cover both side dan independen. Di sinilah letak sikap seorang wartawan, jujur dan amanah. Saya pun secara rinci menjelaskan bagaimana jurnalisme harus dijalankan secara hati-hati.
"Tapi banyak wartawan tidak seperti itu. Baru jadi wartawan sudah bagak sekali," ia memotong.
Mendengar itu, saya kesal sekali. Tapi teman saya ini mengungkapkan banyak fakta. Saya kalah telak. Lalu mundur dan menyatakan, ada wartawan yang baru jadi wartawan ada yang sudah berkarat. Tentu beda. Jurnalisme adalah profesi yang membutuhkan proses dalam pematangan.
"Tapi saya melihat banyak yang tersesat. Tidak menjunjung tinggi etika profesi," teman ini melepas jeb.
Bisa jadi benar. Karena wartawan tidak punya dunia pendidikan formal. Ia banyak dilahirkan oleh alam. Tetapi bagi yang berkecimpung tentu saja dengan suka cita mencintai profesi yang satu ini. Pemahaman saya, soal moral memang harus dikembalikan kepada pribadi-pribadi, toh memang banyak penumpang gelap dalam berbagai profesi. Misalnya, wartawan gadungan, dokter gadungan, polisi gadungan. Penumpang gelap ini mengambil untung melebihi orang yang berprofesi sesungguhnya. Misalnya wartawan gadungan lebih wartawan dari wartawan yang resmi. Padahal, wartawan resmi itu ada kartu pers yang ditandatangani pemimpin redaksi dan terdaftar jadi anggota organisasi profesi. Begitulah amanat UU No 40 Tahun 1999.
"Apa wartawan seperti itu bisa ditangkap aparat?"
"Bisa asal ada yang lapor," jawab saya cepat.
"Bagaimana mungkin. Tentu orang takut melapor wartawan."
"Di sinilah letak persoalannya. Ada banyak orang hanya main aman saja. Tak mau repot. Membiarkan diri untuk setiap waktu mau ditakuti. Takut berarti memang ada kesalahan," saya balik menekan dia.
"Bung jangan menyatakan begitu. Saya cuma mengadu begitulah adanya di lapangan."
"Lha saya tidak bermaksud menyatakan bapak salah. Kalau seseorang takut biasanya tanda seseorang itu salah. Kan pernyataan yang lumrah. Kenapa bapak merasa bersalah?" ujar saya naik pitam.
Teman saya ini mengeluarkan kartu pers dari sebuah surat kabar yang entah masih terbit atau tidak. Juga mengeluarkan kartu dari sebuah organisasi profesi. Saya salut ternyata dia kini seorang wartawan surat kabar di provinsi bagian utara sumatera.
"Saya mau ke Jakarta bisa bantu saya?"
Melihat gelagat itu saya cepat menggeleng.
"Meliput acara tapi tak punya ongkos," katanya.
"Dari kantor?" tanya saya.
"Gaji saja tidak ada. Bagaimana uang jalan ada. Modal kami hanya kartu-kartu ini," ujarnya yakin. Mantap.
Saya tak dapat bicara lagi. Keinginan saya ada satu setelah itu, konfirmasi ke kantornya. Setelah itu melakukan verifikasi persoalan, check and recheck, triple check. Kepada teman dekatnya, kapan perlu kepada "orang rumahnya". Apa benar ia seorang wartawan? Apa kartu tadi hanya dibuat dikomputer lalu dilaminating? Sungguh, informasi ini baru sepihak saya dapatkan. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment