Thursday, November 16, 2006

MAKAN TEMAN

Saya dapat pengalaman menarik dalam sebuah perjalanan. Dua orang dewasa bercerita tentang salah seorang dari mereka telah dimakan oleh temannya sendiri. ”Kenapa tidak kau usut?” komentar lawan bicaranya.
”Saya tak mau memperpanjang masalah,” jawab yang bercerita.
”Lha. Kalau begitu anda rela dimakan terus menerus.”
”Bukan rela. Tapi sangat naif rasanya. Uang saya yang dia makan itu tak seberapa. Saya tahu sedang ditipu tapi yang penting menjaga pergaulan. Biarlah satu kali ini saja. Saya pikir, teman saya itu akan malu sendiri, saya yakin dia akan tahu saya menertawai dia.”
”Alasan yang sedikit bisa diterima. Tapi orang seperti itu biasanya tidak sejauh itu arif ia berpikir.”
”Ya, biarlah. Pergaulan ini macam-macam bentuknya. Teman dan saudara antara satu dengan yang lainnya tentu berbeda.”
”Tapi kita mesti punya sikap jantan. Kalau sudah merugikan tapi diam saja itu pertanda membiarkan diri teraniaya.”
”Saya menghargai sikap anda dan semoga anda menghargai kebodohan saya. Saya tetap berkeyakinan, teman yang telah memakan hak orang lain akan mendapatkan balasan yang setimpal.”
Lawan bicaranya diam. Saya yang asyik mendengar dari tadi bingung. Rencana tidur di perjalanan tidak kesampaian. Saya justru memikirkan teman yang suka makan teman seperti yang diceritakan tadi. Kenapa begitu mudahnya orang menipu dan saling tipu? Kenapa mau menipu teman sendiri? Bukankah bau busuk akhirnya akan tercium dari sumbernya?
”Menurut saya, teman yang memakan anda itu memang bukan karena tidak tahu tapi rakus. Bodoh dan tidak arif. Kalau boleh tahu, siapakah teman anda itu?”
”Justru dia bawahan saya.” Yang bertanya terheran-heran bercampur takjub.
”Ternyata bawahannya bisamemakan atasan. Lha, kalau bawahan sudah bisa makan atasan, apalagi atasan.”
”Belum tentu. Saya tidak seperti itu. Saya justru mendapat kebahagiaan ia menipu saya.”
”Ini aneh namanya.”
Karena suatu hari ia pasti sadar akan kebodohannya. Mengingat saya pernah menduduki posisi bawahan saya itu.”Berarti anda juga pernah melakukannya pada atasan anda dulu.”
”Tidak pernah itu terjadi karena saya tidak mendapat tempat untuk memakan atasan. Atasan saya justru yang selalu makan saya.”
”Artinya anda bodoh. Di bawah juga kena makan dan sudah naik pun tetap kena makan.”
”Saya tidak selera untuk makan teman. Karena bagi saya, lebih baik bekerja jujur dan ikhlas. Di situlah ada kearifan. Rezeki tidak kemana. Tetapi saya bisa tersenyum lega melihat bawahan saya selalu bingung bila bertatap dengan saya. Ya, saya pikir dia akan berpikir dua atau tiga kali kalau ia mau melakukannya lagi.”
”Bukankah jika dibiarkan akan merembet dan makin menjadi-jadi?” ”Itu teori normal di dalam akal sehat. Tetapi tiliklah dalam wilayah psikologis, seorang pencuri tidak akan pernah jadi perampok kalau hanya mampu makan teman sendiri. Dalam arti kata, ia besar dengan akan dikenal seorang teman makan teman. Hal ini berlangsung selama hidupnya.”
”Walau terasa agak aneh dan terbalik, saya salut kepada anda. Semoga anda tak lagi kena makan.”
Keduanya tertidur. Saya yang sedari tadi pura-pura tak mendengar akhirnya tak pernah bisa tidur. Karena saya berpikir tentang orang makan orang. Saling makan. Betapa jahatnya orang. Benarkah demikian? Saya lalu ingat seorang teman yang bercerita tentang sifat manusia. Mulai dari yang penjilat, cari muka, sampai suka makan teman. Teman saya ini juga korban.
”Mujurlah saya selalu tawakkal. Sering baca buku kejiwaan. Saya mesti banyak bersabar,” katanya merendah. Ia juga mengingat saya agar baca buku Emosi; Penjelajahan Religio-Psikologis Manusia di dalam Al-Quran yang ditulis M Darwis Hude. Sejak kejadian itu saya jadi malas makan. Takut termakan hak teman. Saya jadi hati-hati, karena banyak teman yang suka makan. Waspadalah. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id

No comments:

Post a Comment