Puluhan mahasiswa dan dosen mengikuti workshop jurnalistik yang diadakan AMIK-STMIK Jayanusa, di kampus Jalan Damar 69 E Padang, Sabtu (23/10/2010). Dalam worskhop tersebut, tampil sebagai pembicara mantan wartawan senior Padang Ekspres Grup Abdullah Khusairi, M.A.
Dosen jurnalistik di IAIN Imam Bonjol Padang itu tampil atraktif dan interaktif dalam mengupas tuntas teori dan praktik jurnalistik. Dasar-dasar jurnalistik, penulisan sebuah berita, teknik menulis kreatif dan kode etik jurnalistik serta cara kerja seorang jurnalis.
"Dalam menjalankan tugasnya, jurnalis harus jeli dan peka melihat berbagai persoalan atau kejadian yang ada di sekitarnya," katanya.
Pada kesempatan itu, dia mendorong para mahasiswa dan dosen untuk aktif menulis, meskipun mereka bernaung dalam lingkup pendidikan komputer.
"Menulis apa saja, yang bermanfaat bagi kemaslatahan ummat" kata mantan Wakil Pemimpin Redaksi Posemtero Padang dan Redaktur Pelaksana Padang Ekspres itu.
Untuk tahap awal, sambung mantan Pemimpin Redaksi News Portal www.padang-today.com itu, karya tulis seperti berita, artikel, puisi, dan cerpen bisa diseleksi untuk dimuat di penerbitan kampus "Info Clik" yang ada di AMIK-STMIK Jayanusa.
"Setelah itu, baru beranikan diri mengirimkan karya tulisnya ke media-media lokal maupun nasional."
Ketua Yayasan AMIK-STMIK Jayanusa Irwan Kinun menyebutkan, workshop jurnalistik ini sengaja diadakan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa dan dosen tentang dunia jurnalistik hingga bagaimana menghasilkan suatu karya jurnalistik yang baik.
"Selain menambah pengetahuan bagi mahasiswa dan dosen, di kampus ini kita juga punya media kampus "Info Click" yang bisa dijadikan wadah bagi mereka untuk menyalurkan minat dan bakat di bidang kepenulisan. Setelah eksis nanti, diharapkan mereka bisa menulis di media massa luar kampus," kata Irwan Kinun didampingi Ketua Pelaksana Workshop Isnardi S.Kom.[] sumber: www.padang-today.com
Friday, October 29, 2010
Monday, October 18, 2010
Launching Buku Perempuan Bawang & Lelaki Kayu
Menanak Pengalaman Jadi Cerita
Ulasan terhadap Perempuan Bawang & Lelaki Kayu karya Ragdi F. Daye
Oleh: Abdullah Khusairi, M.A.
Suatu hari, entah kapan, seorang mahasiswa menghampiri meja kerja saya di Harian Pagi Padang Ekspres. Dia kelak akhirnya jadi penulis! Ia datang bersahaja dan banyak bertanya. Lalu menyodorkan karyanya. Seterusnya, saya sering menelepon, untuk sekedar menyapa dan bertanya soal karya terbaru untuk halaman sastra yang saya asuh waktu itu.
Itulah Ragdi F. Daye, yang kita kenal hari ini, penulis Perempuan Bawang & Lelaki Kayu, yang kita bicarakan proses kreatifnya. Cerpen-cerpen di dalam buku ini, telah menempatkan Ragdi F. Daye bagian dari penulis yang lahir dari Ranahminang.
Sering sekali kami terlibat dalam diskusi tentang proses kreatif dan mengikuti banyak ajang lomba. Salah satu yang membuat salut kepada penulis satu ini, ia konsisten berjuang untuk eksis melalui seluruh kekuatan akses. Ia berhasil dan bisa menerbitkan buku ini. Selamat!
*
Membaca satu per satu cerpen yang terhimpun dalam Perempuan Bawang & Laki-Laki Kayu, ada beberapa catatan untuk kita diskusikan bersama. Catatan ini tak mengacu kepada teori kritik sastra. Selain tidak punya kompetensi, juga saya juga telah membaca epilog dari Bramantio yang sudah lengkap menelaah dari banyak sisi.
Sungguhpun begitu, bukan tidak ada celah yang dapat untuk diberi telisik dengan sasaran, menggali lebih jauh sisi lain kepenulisan dan tentu saja mendorong penulis buku ini, kita semua untuk terus menggali dan menggali hingga lebih “dalam” setiap tema kehidupan untuk mendapatkan “ma’rifat” dari kepengarangan.
Membicarakan karya sastra, biasanya tidak lepas dari tema, teknik, konflik, dan ending. Perempuan Bawang & Laki-Laki Kayu juga bisa dilihat di sisi ini. Saya selalu melihat hal ini sebelum memuat karya sastra. Antara satu penulis dengan penulis lain, selalu punya kelebihan tersendiri. Ragdi F. Daye, bagi saya, memiliki keragaman tema.
Pertanyaan awalnya, kenapa lahir sebuah karya? Inilah wilayah paling filosofis penulis melaksanakan kegiatannya. Dan jawaban paling mungkin tersebut adalah: Penyampaian Pesan! Pesan tersebut biasanya, keresahan, kritik sosial, sedihan, juga cita-cita. Alam idealitas seperti inilah yang kuat mendorong seseorang untuk menulis. Dari pengalaman kehidupan yang dimaknai dengan ketajaman naluriah maka lahirlah pesan dalam bentuk proses kreatif. Pelajaran yang dapat diambil dari buku Perempuan Bawang & Laki-Laki Kayu, betapa penulisnya memiliki banyak pesan yang ingin disampaikan. Namun jika diikat dalam sebuah kalimat pendek saja, perenungan panjang penulis tentang pengalaman hidup telah ditanak menjadi deretan cerita yang matang.
Tema-tema yang diangkat seputar kehidupan yang dimiliki memang enak dijalin jadi cerita. Minim sekali kesan, Ragdi F Daye bercerita hanya untuk cerita. Selalu ada “Sesuatu yang ingin dikatakannya.” Boleh jadi bentuknya pemberontakan, kritik social, perasaan penulis, dari apa yang telah diamatinya selama ini.
Teknik-teknik penceritaan yang kuat dengan narasi yang dibangun, telah membawa kita ke wilayah imajinasi sebuah tempat, perasaan, juga sikap dari tokoh terhadap suatu hal. Ini pula membuat kita tergelitik. Pada posisi ini, bagi sebagian orang teknik penceritaan tidak lagi penting.
Begitulah, termasuk dalam hal konflik. Perempuan Bawang & Laki-Laki Kayu bagi saya menawarkan konflik-konflik yang kadang tak lazim. Perdebatan dan kejutan yang diberikan, menunjukkan sikap penulis untuk menerangkan sesuatu. Di sini, segenap informasi tentang sesuatu itu dijelaskan secara mendalam. Baik melalui tokoh maupun melalui narasi bagi pengarang. Pengarang buku ini juga berhasil di sini menyelipkan kalimat-kalimat sastrawi. Memang terkesan minim, tetapi kalimat-kalimat yang dibangun sebagai narasi yang minim tetapi kuat.
Dan ini memang pernah kami bicarakan dalam sebuah diskusi di redaksi, Ragdi bertanya soal persiapan lomba untuk Creative Writing Institute (CWI-Kemenpora) 2006. Kebetulan setahun sebelumnya, saya ikut pelatihan CWI 2005 atas karya saya, Lima Puluh Ribu Rupiah yang Jatuh ke Ember Merah (La Runduma, 2005). Saya menjelaskan soal suspense dalam konflik. Juga kejutan demi kejutan yang harus dibangun dalam dramatisasi cerita. Kapan perlu di setiap paragraph. Ini ditangkap Ragdi dan Iggoy El Fitra waktu itu. Akhirnya Punggung karya Ragdi masuk nominasi dan termaktub dalam Loktong (CWI, 2006)
Pesan-pesan dalam buku ini sangat banyak dapat disimak. Bahkan, beberapa cerita mengisyaratkan "kenakalan" penulis memasuki wilayah pemahaman spiritualitas. Ironi pada "Mungkin Malaikat Asyik Berzapin" sangat jelas konstruksi masyarakat miskin kota dengan pemahaman agama yang sangat jauh dari harapan meraih kesalehan sosial. Dimana, keluarga terbengkalai hanya karena 'itikaf. Ini sebuah otokritik aliran-aliran dalam Islam. Saya salut kepada penulis mencari celah masuk yang menusuk terhadap pemahaman agama yang menelantarkan keluarga kecil Soka.
Cerpen Perempuan Bawang bagi saya, punya komentar, penulis ingin menuliskan ironi kemiskinan. Hidup berada adalah mimpi semua orang. Sementara garis nasib di ujung takdir tak bisa serta merta dialihkan. Sebab kekuasaan atas pasar tak bisa dimiliki oleh pedagang kecil. Sebentuk protes pada keadaan memang menjadi “material” cerita yang patut bagi penulis.
Cerpen Kubah. Sebuah realitas yang ditangkap penulis menjadi cerita dengan ketegangan yang cukup tinggi dan cepat. Dan saya ingat Dan Brown yang menulis Angels and Demons. Kepentingan ekonomi menyaru dalam masalah agama memang kadang-kadang membuat pengarang tertarik untuk mempertanyakannya; kenapa masih ada orang yang beragama tetapi tidak taat. Wilayah agama yang sudah terinstitusi juga kadang-kadang membuat birokrasi yang membuat kita harus memberontak karenanya.
Cerpen Jarak. Soal Solok-Padang memang banyak sekali ada dalam kumpulan cerpen ini. Tapi Jarak bagi saya adalah bentuk Malin Kundang versi abad ini. Tapi yakinlah, bahwa kerinduan atas akar asal selalu menjadi masalah bagi siapapun yang telah jauh melangkah. Ini terjadi baik di wilayah rohani maupun jasmani.
Ragdi F. Daye bagi saya dalam Perempuan Bawang, Kubah, Jarak, Lelaki Kayu, Di Solok Aku akan Mati Perlahan, Bibir Pak Gur Bengkok, Nostalgia, Seorang Lelaki dan Boneka, Seekor Anjing Yang Menangis, Rumah Lumut, Lekuk Teluk, Empat Meter dari Pangkal, Lereng, Mungkin Jibril Asyik Berzapin dan Rumah yang Menggigil, seorang penulis yang menganyam pengalaman dan pengetahuannya jadi cerita. Beberapa memang ada dari imajinasi liar dan kenakalannya bertanya. Misalnya, Seorang Lelaki dan Boneka.
Terakhir, kita mesti menunggu karya-karya dari penulis berkacamata ini. Saya sangat yakin, selepas ia menuntaskan masa lajangnya beberapa tahun lalu, dan telah punya keturunan, ada corak cerita baru yang ditawarkannya. Sebab, proses kreatif tidak bisa lepas dari suasana dari penulisnya. Terima kasih. []
Abdullah Khusairi, lahir di Sarolangun, 16 April 1977. Menye¬lesaikan pendidikan Srata 1 Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang (Tamat 2000). Aktif di pers mahasiswa, Suara Kampus. Melanjutkan Strata2 Filsafat Islam Program Pascasarjana (PPs) di lembaga yang sama (Tamat 2008). Sejak tahun 2000 bergabung ke Harian Pagi Padang Ekspres, Padang TV (2007), Posmetro Padang (2008), Padang-Today.com (2009).
Tahun 2010 memasuki ke wilayah akademis. Jadi dosen. Di sela-sela kesibukan, menyempatkan diri menulis fiksi. Aktif di Majelis Sinergi Agama dan Tradisi (Magistra) Indonesia. Cerpen dan esai tercecer di La Runduma (CWI-Kepmenpora; 2005), Opera Zaman (Grafindo; Jogja 2006), The Regala 204 B (Grapuraja; Jogja 2006), Kumpulan Cerpen Khas Ranesi, (Grasindo, 2007), Taufik Ismail di Mata Mahasiswa (Horison, 2008), Sayap Bidadari, Memorilibia Gempa 7,9 SR Sumbar, (Fahima, 2010). Juara I Journalist Writing Competitions Tentang Terumbu Karang Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK) Sumbar 2009. Hingga kini intens menulis. Blog, www.ruangkita.com, email, abdullahkhusairi@yahoo.com.
Ulasan terhadap Perempuan Bawang & Lelaki Kayu karya Ragdi F. Daye
Oleh: Abdullah Khusairi, M.A.
Suatu hari, entah kapan, seorang mahasiswa menghampiri meja kerja saya di Harian Pagi Padang Ekspres. Dia kelak akhirnya jadi penulis! Ia datang bersahaja dan banyak bertanya. Lalu menyodorkan karyanya. Seterusnya, saya sering menelepon, untuk sekedar menyapa dan bertanya soal karya terbaru untuk halaman sastra yang saya asuh waktu itu.
Itulah Ragdi F. Daye, yang kita kenal hari ini, penulis Perempuan Bawang & Lelaki Kayu, yang kita bicarakan proses kreatifnya. Cerpen-cerpen di dalam buku ini, telah menempatkan Ragdi F. Daye bagian dari penulis yang lahir dari Ranahminang.
Sering sekali kami terlibat dalam diskusi tentang proses kreatif dan mengikuti banyak ajang lomba. Salah satu yang membuat salut kepada penulis satu ini, ia konsisten berjuang untuk eksis melalui seluruh kekuatan akses. Ia berhasil dan bisa menerbitkan buku ini. Selamat!
*
Membaca satu per satu cerpen yang terhimpun dalam Perempuan Bawang & Laki-Laki Kayu, ada beberapa catatan untuk kita diskusikan bersama. Catatan ini tak mengacu kepada teori kritik sastra. Selain tidak punya kompetensi, juga saya juga telah membaca epilog dari Bramantio yang sudah lengkap menelaah dari banyak sisi.
Sungguhpun begitu, bukan tidak ada celah yang dapat untuk diberi telisik dengan sasaran, menggali lebih jauh sisi lain kepenulisan dan tentu saja mendorong penulis buku ini, kita semua untuk terus menggali dan menggali hingga lebih “dalam” setiap tema kehidupan untuk mendapatkan “ma’rifat” dari kepengarangan.
Membicarakan karya sastra, biasanya tidak lepas dari tema, teknik, konflik, dan ending. Perempuan Bawang & Laki-Laki Kayu juga bisa dilihat di sisi ini. Saya selalu melihat hal ini sebelum memuat karya sastra. Antara satu penulis dengan penulis lain, selalu punya kelebihan tersendiri. Ragdi F. Daye, bagi saya, memiliki keragaman tema.
Pertanyaan awalnya, kenapa lahir sebuah karya? Inilah wilayah paling filosofis penulis melaksanakan kegiatannya. Dan jawaban paling mungkin tersebut adalah: Penyampaian Pesan! Pesan tersebut biasanya, keresahan, kritik sosial, sedihan, juga cita-cita. Alam idealitas seperti inilah yang kuat mendorong seseorang untuk menulis. Dari pengalaman kehidupan yang dimaknai dengan ketajaman naluriah maka lahirlah pesan dalam bentuk proses kreatif. Pelajaran yang dapat diambil dari buku Perempuan Bawang & Laki-Laki Kayu, betapa penulisnya memiliki banyak pesan yang ingin disampaikan. Namun jika diikat dalam sebuah kalimat pendek saja, perenungan panjang penulis tentang pengalaman hidup telah ditanak menjadi deretan cerita yang matang.
Tema-tema yang diangkat seputar kehidupan yang dimiliki memang enak dijalin jadi cerita. Minim sekali kesan, Ragdi F Daye bercerita hanya untuk cerita. Selalu ada “Sesuatu yang ingin dikatakannya.” Boleh jadi bentuknya pemberontakan, kritik social, perasaan penulis, dari apa yang telah diamatinya selama ini.
Teknik-teknik penceritaan yang kuat dengan narasi yang dibangun, telah membawa kita ke wilayah imajinasi sebuah tempat, perasaan, juga sikap dari tokoh terhadap suatu hal. Ini pula membuat kita tergelitik. Pada posisi ini, bagi sebagian orang teknik penceritaan tidak lagi penting.
Begitulah, termasuk dalam hal konflik. Perempuan Bawang & Laki-Laki Kayu bagi saya menawarkan konflik-konflik yang kadang tak lazim. Perdebatan dan kejutan yang diberikan, menunjukkan sikap penulis untuk menerangkan sesuatu. Di sini, segenap informasi tentang sesuatu itu dijelaskan secara mendalam. Baik melalui tokoh maupun melalui narasi bagi pengarang. Pengarang buku ini juga berhasil di sini menyelipkan kalimat-kalimat sastrawi. Memang terkesan minim, tetapi kalimat-kalimat yang dibangun sebagai narasi yang minim tetapi kuat.
Dan ini memang pernah kami bicarakan dalam sebuah diskusi di redaksi, Ragdi bertanya soal persiapan lomba untuk Creative Writing Institute (CWI-Kemenpora) 2006. Kebetulan setahun sebelumnya, saya ikut pelatihan CWI 2005 atas karya saya, Lima Puluh Ribu Rupiah yang Jatuh ke Ember Merah (La Runduma, 2005). Saya menjelaskan soal suspense dalam konflik. Juga kejutan demi kejutan yang harus dibangun dalam dramatisasi cerita. Kapan perlu di setiap paragraph. Ini ditangkap Ragdi dan Iggoy El Fitra waktu itu. Akhirnya Punggung karya Ragdi masuk nominasi dan termaktub dalam Loktong (CWI, 2006)
Pesan-pesan dalam buku ini sangat banyak dapat disimak. Bahkan, beberapa cerita mengisyaratkan "kenakalan" penulis memasuki wilayah pemahaman spiritualitas. Ironi pada "Mungkin Malaikat Asyik Berzapin" sangat jelas konstruksi masyarakat miskin kota dengan pemahaman agama yang sangat jauh dari harapan meraih kesalehan sosial. Dimana, keluarga terbengkalai hanya karena 'itikaf. Ini sebuah otokritik aliran-aliran dalam Islam. Saya salut kepada penulis mencari celah masuk yang menusuk terhadap pemahaman agama yang menelantarkan keluarga kecil Soka.
Cerpen Perempuan Bawang bagi saya, punya komentar, penulis ingin menuliskan ironi kemiskinan. Hidup berada adalah mimpi semua orang. Sementara garis nasib di ujung takdir tak bisa serta merta dialihkan. Sebab kekuasaan atas pasar tak bisa dimiliki oleh pedagang kecil. Sebentuk protes pada keadaan memang menjadi “material” cerita yang patut bagi penulis.
Cerpen Kubah. Sebuah realitas yang ditangkap penulis menjadi cerita dengan ketegangan yang cukup tinggi dan cepat. Dan saya ingat Dan Brown yang menulis Angels and Demons. Kepentingan ekonomi menyaru dalam masalah agama memang kadang-kadang membuat pengarang tertarik untuk mempertanyakannya; kenapa masih ada orang yang beragama tetapi tidak taat. Wilayah agama yang sudah terinstitusi juga kadang-kadang membuat birokrasi yang membuat kita harus memberontak karenanya.
Cerpen Jarak. Soal Solok-Padang memang banyak sekali ada dalam kumpulan cerpen ini. Tapi Jarak bagi saya adalah bentuk Malin Kundang versi abad ini. Tapi yakinlah, bahwa kerinduan atas akar asal selalu menjadi masalah bagi siapapun yang telah jauh melangkah. Ini terjadi baik di wilayah rohani maupun jasmani.
Ragdi F. Daye bagi saya dalam Perempuan Bawang, Kubah, Jarak, Lelaki Kayu, Di Solok Aku akan Mati Perlahan, Bibir Pak Gur Bengkok, Nostalgia, Seorang Lelaki dan Boneka, Seekor Anjing Yang Menangis, Rumah Lumut, Lekuk Teluk, Empat Meter dari Pangkal, Lereng, Mungkin Jibril Asyik Berzapin dan Rumah yang Menggigil, seorang penulis yang menganyam pengalaman dan pengetahuannya jadi cerita. Beberapa memang ada dari imajinasi liar dan kenakalannya bertanya. Misalnya, Seorang Lelaki dan Boneka.
Terakhir, kita mesti menunggu karya-karya dari penulis berkacamata ini. Saya sangat yakin, selepas ia menuntaskan masa lajangnya beberapa tahun lalu, dan telah punya keturunan, ada corak cerita baru yang ditawarkannya. Sebab, proses kreatif tidak bisa lepas dari suasana dari penulisnya. Terima kasih. []
Abdullah Khusairi, lahir di Sarolangun, 16 April 1977. Menye¬lesaikan pendidikan Srata 1 Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang (Tamat 2000). Aktif di pers mahasiswa, Suara Kampus. Melanjutkan Strata2 Filsafat Islam Program Pascasarjana (PPs) di lembaga yang sama (Tamat 2008). Sejak tahun 2000 bergabung ke Harian Pagi Padang Ekspres, Padang TV (2007), Posmetro Padang (2008), Padang-Today.com (2009).
Tahun 2010 memasuki ke wilayah akademis. Jadi dosen. Di sela-sela kesibukan, menyempatkan diri menulis fiksi. Aktif di Majelis Sinergi Agama dan Tradisi (Magistra) Indonesia. Cerpen dan esai tercecer di La Runduma (CWI-Kepmenpora; 2005), Opera Zaman (Grafindo; Jogja 2006), The Regala 204 B (Grapuraja; Jogja 2006), Kumpulan Cerpen Khas Ranesi, (Grasindo, 2007), Taufik Ismail di Mata Mahasiswa (Horison, 2008), Sayap Bidadari, Memorilibia Gempa 7,9 SR Sumbar, (Fahima, 2010). Juara I Journalist Writing Competitions Tentang Terumbu Karang Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK) Sumbar 2009. Hingga kini intens menulis. Blog, www.ruangkita.com, email, abdullahkhusairi@yahoo.com.
Thursday, October 14, 2010
Menyusuri Sumatera Lewat Hollywood
Oleh: Dahlan Iskan, Dirut PLN
SETELAH menelusuri Sulawesi, saya kembali melakukan perjalanan jauh. Dari Lampung terus ke utara. Bahkan sampai mendekati Hollywood dan bermalam di Bil Hotel di Kingstone.
Orang Sumsel memang selalu bangga menyebut Kota Kayu Agung dalam bahasa Inggris (Hollywood) dan Baturaja menjadi Kingstone. Sedangkan Bil Hotel tadi sebenarnya hanya singkatan dari Bukit Indah Lestari.
Karena berangkat dari Lampung sudah sore, rombongan baru tiba di Kingstone, eh Baturaja, pukul 00.00. Tanggal sudah berubah menjadi 22 September 2010. Makan malam yang disiapkan teman-teman PLN setempat menjadi mirip makan sahur di bulan Syawal.
Kali ini, perjalanan dimulai dari melihat PLTU Tarahan (Lampung) 2 x 100 MW yang sering bermasalah. Mirip PLTU Labuan Angin di Sibolga. Ada saja bagian dari boiler yang rusak. Bulan depan, persoalan tersebut harus selesai. PLTU Tarahan harus bisa menjadi andalan untuk mencegah terulangnya krisis listrik di Lampung. Terutama krisis listrik yang kronis yang selalu terjadi pada setiap musim kemarau.
Ketika saya tiba di Tarahan, satu boiler-nya sudah berhasil diperbaiki. Bulan depan giliran boiler unit-2 pun bisa sembuh total. Tim PLN telah belajar banyak dari kasus itu. Kini, mereka tahu kelemahan apa saja di sistem boiler CFB. Baik yang buatan Eropa seperti di Tarahan maupun yang buatan Tiongkok seperti yang di Labuan Angin. Banyak bagian di boiler sistem itu yang rusak karena “kalah” oleh flow batu bara.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, saya lebih bangga kalau tim PLN sendiri yang mengatasi. Sambil belajar keras. Saya tidak mau PLN bergantung pada tenaga asing. Maka, kami pun memutuskan agar PLTU Tarahan dijadikan pusat kajian dan pusat belajar untuk sistem CFB.
Memiliki kemampuan sendiri tersebut penting karena PLN segera memiliki banyak sekali pembangkit baru yang menggunakan sistem CFB. Yakni, PLTU-PLTU proyek 10.000 MW tahap I. Mengoperasikan PLTU dengan boiler sistem CFB memang barang baru bagi PLN.
Untuk membina kemampuan diri sendiri itu pula, di Tarahan dibangun fasilitas simulasi pengoperasian CFB. Di sinilah para calon operator PLTU CFB bisa belajar.
Selesai meninjau PLTU tersebut, perjalanan dilanjutkan ke proyek PLTU Tarahan Baru yang berjarak hanya setengah jam perjalanan darat. Itulah proyek 10.000 MW di Lampung yang mulainya sudah sangat terlambat. Di sini, kami mendiskusikan bagaimana caranya agar unit-1 PLTU itu sudah bisa sinkron Juni tahun depan.
Mengapa Juni? Juni adalah awal musim kemarau. Setiap musim kemarau, Sumbagsel selalu mengalami krisis listrik. Tidak pernah teratasi. Itu terjadi karena danau untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Maninjau, Singkarak, dan Bukit Panjang kekurangan air. Akibatnya, wilayah tersebut bisa kehilangan listrik sampai 350 MW.
Kalau saja PLTU Tarahan dalam keadaan sehat dan unit-1 Tarahan Baru berhasil beroperasi, kekurangan 350 MW itu bisa tertutupi. Apalagi, PLTU milik swasta di Simpang Blimbing, dekat Prabumulih, juga akan selesai pada Juni tahun depan. Di atas kertas, kekurangan listrik akibat kemarau akan bisa diatasi karena dari Simpang Blimbing akan dapat tambahan 230 MW.
Menjelang senja, kami meluncur ke pedalaman. Teman-teman PLN di Kota Metro sudah menunggu. Banyak persoalan di kawasan itu. Mulai tegangan listrik yang tidak stabil, banyaknya kecurangan dalam penyambungan, sampai soal nasib sekitar 100.000 rumah yang berlangganan listrik lewat koperasi yang menginginkan pindah ke PLN.
Jajaran PLN di Lampung kini memang lagi gencar melakukan berbagai penertiban. Tak ayal bila reaksi keras bermunculan. Terutama dari mereka yang merasa akan kehilangan objekan. Sangat banyak SMS dari Lampung yang masuk ke HP saya. Umumnya berisi caci-maki kepada jajaran PLN. Dalam dialog di Metro itu, salah seorang pimpinan PLN setempat mengemukakan kegalauan perasaannya. Dia khawatir jangan-jangan saya terpengaruh oleh SMS-SMS tersebut.
Di situ saya kemukakan bahwa saya bisa membedakan mana SMS yang tulus dan mana SMS yang bulus. Maka, saya tegaskan: Direksi PLN berdiri tegak mendukung upaya penertiban yang dilakukan di Lampung.
Tepuk tangan bergema keras. Itu pertanda bahwa teman-teman PLN Lampung tidak akan gentar memerangi praktik-praktik curang selama ini.
Soal tidak stabilnya tegangan juga bisa dipecahkan dalam dialog tersebut. Sebab, dalam rombongan itu, ikut juga Direktur Operasi Indonesia Barat Harry Jaya Pahlawan, Direktur Perencanaan dan Teknologi Nasri Sebayang, serta beberapa staf penting PLN. “Saya lihat gardu induk di dekat sini sudah selesai dibangun. Apakah bisa segera difungsikan?” tanya seorang manajer di Metro.
Kesimpulan dialog: bisa! Maka, malam itu juga gardu induk tersebut bisa dioperasikan. Memang masih ada masalah kecil, namun tiga hari setelah itu benar-benar bisa menyelesaikan keluhan tegangan yang sudah bertahun-tahun lamanya.
Pukul 21.00, kami berhenti di kantor PLN Ranting Kota Bumi. Ternyata, masih banyak karyawan yang menunggu. Karena banyak pegawai baru yang latihan kerja di ranting itu, kami pun berdoa mudah-mudahan mereka yang umumnya masih bujangan tersebut bisa segera mendapatkan jodoh di desa itu. Kalau tidak, he he, mereka akan minta cepat-cepat dipindah ke Jawa.
Karena baru pukul 00.00 tiba di Baturaja, malam itu hanya sempat tidur empat jam. Pukul 05.00, rombongan sudah harus bergerak ke proyek PLTU Simpang Blimbing yang sudah saya sebut di atas. Letaknya jauh di pedalaman hutan karet Sumatera Selatan.
Itulah PLTU mulut tambang satu-satunya yang sudah dikerjakan. Puluhan proyek PLTU mulut tambang lainnya baru sampai di bibir belaka. Saya menyampaikan penghargaan kepada pimpinan Shenhua atas keseriusan investor ini. Di Simpang Blimbing, kami bisa melihat sistem kerja yang sangat profesional. Semua serba teratur: penyiapan lahannya, penempatan materialnya, flow pekerjaannya, dan kerapian proyeknya. Dan yang lebih penting: ketepatan jadwal penyelesaiannya, Juni 2011.
Proyek Simpang Blimbing juga merupakan PLTU pertama di Indonesia yang akan menggunakan mesin pengering batu bara. Memang, moistur (tingkat kebasahan) batu bara Simpang Blimbing sangat tinggi. Hampir 50 persen. Kalorinya ternyata juga hanya 2.300. Namun, dengan mesin pengering itu, batu bara yang begitu jelek bisa dimanfaatkan.
Dari sini, perjalanan terus menuju utara membelah bagian tengah Pulau Sumatera. Tengah hari, sampailah di PLTU Bukit Asam. Lalu, mampir lagi di kantor PLN Cabang Lahat, Cabang Lubuk Linggau, dan pukul 21.00 tiba di lokasi PLTU kecil Sarolangun. Itu sudah bukan di wilayah Lampung atau Sumsel, melainkan sudah masuk Provinsi Jambi.
Di wilayah itulah saya mendapatkan renungan yang dalam. Akan diapakankah batu bara yang begitu melimpah di kawasan pedalaman Sumatera ini? Kawasan itu begitu jauh dari pantai. Untuk mengangkutnya ke pantai timur, perlu membuat jalan 300 km. Ke pantai barat terhalang pegunungan Bukit Barisan. Saya mendiskusikannya sepanjang jalan.
Mungkinkah batu bara yang melimpah tersebut bisa menjadi sumber kemakmuran rakyat setempat. Apa peran PLN untuk pertumbuhan ekonomi wilayah itu? Dari sinilah kami berpikir untuk membangun saja PLTU-PLTU besar mulut tambang berikutnya. Baik untuk kepentingan Sumatera masa depan maupun untuk ekspor listrik ke Malaysia. Apalagi, transmisi 275 kv trans-Sumatera telah selesai dibangun dan tepat melewati kawasan itu. Lebih baik mengirim listrik daripada mengirim batu bara ke mana-mana.
Di pedalaman Jambi ini keluhan akan listrik juga sama: tegangan yang tidak stabil. Maklum, kawasan tersebut jauh dari mana-mana. Selesainya PLTU kecil (2 x 7 MW) di Sarolangun (Oktober ini beroperasi) akan banyak membantu memperbaiki tegangan tersebut. Itulah PLTU kecil tapi cabai rawit.
Maka, dalam peninjauan tersebut, saya kemukakan satu filsafat kuno. “Gunung tidak harus tinggi, yang penting ada dewanya. Sungai tidak perlu dalam, yang penting ada naganya.” Orang hidup itu tidak harus hebat dan serbabesar. Yang penting bisa penuh arti atau tidak. Saya lebih menghargai proyek kecil yang penuh arti daripada proyek besar yang tidak jelas tujuannya.
Di kota kecil Sarolangun itu, saya juga belajar menahan diri. Dalam acara makan malam bersama bupati setempat, disajikanlah durian kebanggaan setempat. Yakni, durian yang jumlahnya tidak banyak tapi selalu dicari orang sampai mancanegara. Namanya durian hujan emas.
Saya sungguh tidak tahan memandangnya. Air liur saya mulai menggenangi mulut. Sebenarnya, saya tidak berminat menyentuhnya. Tapi, air liur itu telah lebih dulu menggerakkan tangan saya. Lap! Sejumput durian masuk ke mulut. Bukan main lezatnya. Pimpinan Jambi Ekspres yang mencegat saya di Sarolangun melihat itu. Dia segera menyingkirkan sisanya. Saya pun selamat dari ambisi besar menghabiskan si hujan emas.
Di Sarolangun, saya juga hanya tidur beberapa jam. Sebelum subuh sudah harus meneruskan perjalanan ke Ombilin. Tentu harus mampir di Bangko untuk salat subuh dan untuk memenuhi keinginan arus bawah yang kuat: toilet.
Tentu kami pusing di Ombilin. Mau diapakan PLTU Ombilin yang 2 x 100 MW itu” Konsep awal PLTU tersebut adalah mulut tambang. Ombilin memang kota batu bara yang amat legendaris. Sejak zaman Belanda sudah ada tambang batu bara di dekat Kota Sawahlunto ini. Masih terlihat bekas-bekas peninggalan tua di mana-mana. Tapi, batu bara itu menipis. PLTU kita yang masih relatif baru tidak mendapatkan pasokan yang cukup. Terpaksalah sebagian besar batu bara didatangkan dari Jambi. Jaraknya 200 km! Alangkah dilematisnya PLTU itu.
Memang ada rencana PT Bukit Asam untuk menambang bawah tanah di Ombilin. Tapi, ternyata baru wacana. Saya perlu banyak ide untuk mengatasi persoalan tersebut. Kepada pimpinan daerah setempat, saya kemukakan barangkali hanya Tiongkok yang cocok mengerjakan tambang bawah tanah. Mungkin orang kita tidak cocok mengerjakannya. Terutama karena kita-kita ini harus sering istirahat keluar dari lubang tambang. Misalnya, untuk salat lima waktu. Masalahnya: Apakah rakyat setempat rela melihat semua penambang itu datang dari luar negeri?
Masih banyak yang harus kami singgahi hari itu: PLN Cabang Solok, PLTU Teluk Sirih, PLN Cabang Padang, dan P3B Sumatera. Di Cabang Solok, kami melangsungkan dialog di teras saja. Ditemani kue-kue lokal yang amat lezat. Teman-teman PLN Solok sudah menyiapkan acara di gedung pertemuan. Namun, karena kami sudah berjam-jam berada di ruangan sempit (mobil), kami ingin agar bisa agak lama di udara terbuka.
Dalam dialog di taman itulah persoalan tegangan di kawasan tersebut juga berhasil dipecahkan. Di kota kecil Lubuk Gadang dan Liku, misalnya, tegangan listrik tinggal 9 dari yang seharusnya 20 atau 21. Tegangan di situ begitu jelek karena berjarak 240 km dari gardu induk terdekat. Itulah, saya pikir, jaringan penyulang 20 kv terpanjang di Indonesia. Maka, saya buka diskusi untuk menyelesaikannya. Akhirnya, pimpinan tertinggi PLN Sumbar, Krisna Simbaputra, menemukan jalan keluar. Salah satu genset di Kota Sungai Penuh akan dipindah ke kota kecil itu. Fungsinya untuk memperbaiki tegangan.
Memang ada persoalan sosial: Apakah rakyat Sungai Penuh yang belum lama bergembira karena terbebas dari krisis listrik itu tidak marah” Kalau salah satu pembangkit di kota tersebut dipindah, bisa saja masyarakat mengira akan terjadi krisis listrik lagi. Itu mirip dengan suasana di Medan.
Sebenarnya ada beberapa pembangkit di Medan yang sudah menganggur. Namun, PLN tidak berani memindahnya sekadar karena ingin menjaga perasaan orang Medan. Rakyat Medan masih trauma dengan krisis listrik yang akut pada masa lalu. Mereka khawatir krisis listrik akan terulang kalau mesin dipindah. Padahal, tidak begitu. Lalu, bagaimana agar masyarakat tetap tenang” Mungkin pemindahannya dilakukan pukul 00.00 menunggu orang tidur semua.
Kabel 20 kv yang mencapai 240 km seperti itu jelas tidak baik. Seharusnya ada gardu induk di tengah-tengahnya. Tapi, di Padang ternyata ada yang lebih panjang: 270 km! Rasanya, itulah penyulang yang benar-benar terpanjang di Indonesia. Yakni, jaringan dari Padang yang menuju Kota Indrapura dan Tapan arah Bengkulu. Tegangan juga payah di sini. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali menambah gardu induk di tengahnya.
Ketika seluruh karyawan PLN Padang selesai salat asar berjamaah di masjid PLN Cabang Padang, saya diminta memberikan ceramah. Saya manfaatkan waktu itu tidak untuk berkhotbah, tapi untuk mendiskusikan persoalan tegangan di Tapan tersebut.
Ternyata, PLN setempat siap dengan jalan keluar. Akan dibangun GI khusus dengan peralatan yang dicarikan di berbagai gudang PLN di seluruh Indonesia. Dalam waktu enam bulan, GI itu sudah akan selesai dibangun. Di masjid tersebut, sambil lesehan, persoalan berat puluhan tahun itu terselesaikan.
Perjalanan panjang tiga hari ini seperti happy ending di Teluk Sirih, tidak jauh dari Teluk Bayur. Di proyek PLTU 2 x 100 MW ini, saya menemukan sikap manajer proyek yang mengesankan. Jalan masuk ke proyek itu memang masih payah, apalagi sedang diguyur hujan. Tapi, proyek tersebut kayaknya tidak akan banyak persoalan.
Ketika kami tiba di lokasi, sang manajer mengatakan begini: Bapak-bapak, serahkan proyek ini kepada kami, berikan kami kepercayaan, akan kami jalankan dengan penuh tanggung jawab dan akan selesai tepat waktu. Kami hanya perlu doa saja!
Mendengar sapaan itu, saya dan teman direksi saling berpandangan. Lalu, kami memutuskan untuk tidak banyak cakap. Bahkan tidak jadi turun dari mobil. “Inilah pimpinan proyek yang berkarakter,” komentar Nasri Sebayang. “Kalau semua kepala proyek seperti ini, cerita 10.000 MW akan lain,” sambung Harry Jaya Pahlawan.
Maka, kami pun langsung ke Bandara Padang. Kelelahan jalan darat selama tiga hari seperti terobati. Bahkan, saya sampai lupa mencatat nama manajer proyek yang hebat itu! (*) sumber: www.jpnn.com
SETELAH menelusuri Sulawesi, saya kembali melakukan perjalanan jauh. Dari Lampung terus ke utara. Bahkan sampai mendekati Hollywood dan bermalam di Bil Hotel di Kingstone.
Orang Sumsel memang selalu bangga menyebut Kota Kayu Agung dalam bahasa Inggris (Hollywood) dan Baturaja menjadi Kingstone. Sedangkan Bil Hotel tadi sebenarnya hanya singkatan dari Bukit Indah Lestari.
Karena berangkat dari Lampung sudah sore, rombongan baru tiba di Kingstone, eh Baturaja, pukul 00.00. Tanggal sudah berubah menjadi 22 September 2010. Makan malam yang disiapkan teman-teman PLN setempat menjadi mirip makan sahur di bulan Syawal.
Kali ini, perjalanan dimulai dari melihat PLTU Tarahan (Lampung) 2 x 100 MW yang sering bermasalah. Mirip PLTU Labuan Angin di Sibolga. Ada saja bagian dari boiler yang rusak. Bulan depan, persoalan tersebut harus selesai. PLTU Tarahan harus bisa menjadi andalan untuk mencegah terulangnya krisis listrik di Lampung. Terutama krisis listrik yang kronis yang selalu terjadi pada setiap musim kemarau.
Ketika saya tiba di Tarahan, satu boiler-nya sudah berhasil diperbaiki. Bulan depan giliran boiler unit-2 pun bisa sembuh total. Tim PLN telah belajar banyak dari kasus itu. Kini, mereka tahu kelemahan apa saja di sistem boiler CFB. Baik yang buatan Eropa seperti di Tarahan maupun yang buatan Tiongkok seperti yang di Labuan Angin. Banyak bagian di boiler sistem itu yang rusak karena “kalah” oleh flow batu bara.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, saya lebih bangga kalau tim PLN sendiri yang mengatasi. Sambil belajar keras. Saya tidak mau PLN bergantung pada tenaga asing. Maka, kami pun memutuskan agar PLTU Tarahan dijadikan pusat kajian dan pusat belajar untuk sistem CFB.
Memiliki kemampuan sendiri tersebut penting karena PLN segera memiliki banyak sekali pembangkit baru yang menggunakan sistem CFB. Yakni, PLTU-PLTU proyek 10.000 MW tahap I. Mengoperasikan PLTU dengan boiler sistem CFB memang barang baru bagi PLN.
Untuk membina kemampuan diri sendiri itu pula, di Tarahan dibangun fasilitas simulasi pengoperasian CFB. Di sinilah para calon operator PLTU CFB bisa belajar.
Selesai meninjau PLTU tersebut, perjalanan dilanjutkan ke proyek PLTU Tarahan Baru yang berjarak hanya setengah jam perjalanan darat. Itulah proyek 10.000 MW di Lampung yang mulainya sudah sangat terlambat. Di sini, kami mendiskusikan bagaimana caranya agar unit-1 PLTU itu sudah bisa sinkron Juni tahun depan.
Mengapa Juni? Juni adalah awal musim kemarau. Setiap musim kemarau, Sumbagsel selalu mengalami krisis listrik. Tidak pernah teratasi. Itu terjadi karena danau untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Maninjau, Singkarak, dan Bukit Panjang kekurangan air. Akibatnya, wilayah tersebut bisa kehilangan listrik sampai 350 MW.
Kalau saja PLTU Tarahan dalam keadaan sehat dan unit-1 Tarahan Baru berhasil beroperasi, kekurangan 350 MW itu bisa tertutupi. Apalagi, PLTU milik swasta di Simpang Blimbing, dekat Prabumulih, juga akan selesai pada Juni tahun depan. Di atas kertas, kekurangan listrik akibat kemarau akan bisa diatasi karena dari Simpang Blimbing akan dapat tambahan 230 MW.
Menjelang senja, kami meluncur ke pedalaman. Teman-teman PLN di Kota Metro sudah menunggu. Banyak persoalan di kawasan itu. Mulai tegangan listrik yang tidak stabil, banyaknya kecurangan dalam penyambungan, sampai soal nasib sekitar 100.000 rumah yang berlangganan listrik lewat koperasi yang menginginkan pindah ke PLN.
Jajaran PLN di Lampung kini memang lagi gencar melakukan berbagai penertiban. Tak ayal bila reaksi keras bermunculan. Terutama dari mereka yang merasa akan kehilangan objekan. Sangat banyak SMS dari Lampung yang masuk ke HP saya. Umumnya berisi caci-maki kepada jajaran PLN. Dalam dialog di Metro itu, salah seorang pimpinan PLN setempat mengemukakan kegalauan perasaannya. Dia khawatir jangan-jangan saya terpengaruh oleh SMS-SMS tersebut.
Di situ saya kemukakan bahwa saya bisa membedakan mana SMS yang tulus dan mana SMS yang bulus. Maka, saya tegaskan: Direksi PLN berdiri tegak mendukung upaya penertiban yang dilakukan di Lampung.
Tepuk tangan bergema keras. Itu pertanda bahwa teman-teman PLN Lampung tidak akan gentar memerangi praktik-praktik curang selama ini.
Soal tidak stabilnya tegangan juga bisa dipecahkan dalam dialog tersebut. Sebab, dalam rombongan itu, ikut juga Direktur Operasi Indonesia Barat Harry Jaya Pahlawan, Direktur Perencanaan dan Teknologi Nasri Sebayang, serta beberapa staf penting PLN. “Saya lihat gardu induk di dekat sini sudah selesai dibangun. Apakah bisa segera difungsikan?” tanya seorang manajer di Metro.
Kesimpulan dialog: bisa! Maka, malam itu juga gardu induk tersebut bisa dioperasikan. Memang masih ada masalah kecil, namun tiga hari setelah itu benar-benar bisa menyelesaikan keluhan tegangan yang sudah bertahun-tahun lamanya.
Pukul 21.00, kami berhenti di kantor PLN Ranting Kota Bumi. Ternyata, masih banyak karyawan yang menunggu. Karena banyak pegawai baru yang latihan kerja di ranting itu, kami pun berdoa mudah-mudahan mereka yang umumnya masih bujangan tersebut bisa segera mendapatkan jodoh di desa itu. Kalau tidak, he he, mereka akan minta cepat-cepat dipindah ke Jawa.
Karena baru pukul 00.00 tiba di Baturaja, malam itu hanya sempat tidur empat jam. Pukul 05.00, rombongan sudah harus bergerak ke proyek PLTU Simpang Blimbing yang sudah saya sebut di atas. Letaknya jauh di pedalaman hutan karet Sumatera Selatan.
Itulah PLTU mulut tambang satu-satunya yang sudah dikerjakan. Puluhan proyek PLTU mulut tambang lainnya baru sampai di bibir belaka. Saya menyampaikan penghargaan kepada pimpinan Shenhua atas keseriusan investor ini. Di Simpang Blimbing, kami bisa melihat sistem kerja yang sangat profesional. Semua serba teratur: penyiapan lahannya, penempatan materialnya, flow pekerjaannya, dan kerapian proyeknya. Dan yang lebih penting: ketepatan jadwal penyelesaiannya, Juni 2011.
Proyek Simpang Blimbing juga merupakan PLTU pertama di Indonesia yang akan menggunakan mesin pengering batu bara. Memang, moistur (tingkat kebasahan) batu bara Simpang Blimbing sangat tinggi. Hampir 50 persen. Kalorinya ternyata juga hanya 2.300. Namun, dengan mesin pengering itu, batu bara yang begitu jelek bisa dimanfaatkan.
Dari sini, perjalanan terus menuju utara membelah bagian tengah Pulau Sumatera. Tengah hari, sampailah di PLTU Bukit Asam. Lalu, mampir lagi di kantor PLN Cabang Lahat, Cabang Lubuk Linggau, dan pukul 21.00 tiba di lokasi PLTU kecil Sarolangun. Itu sudah bukan di wilayah Lampung atau Sumsel, melainkan sudah masuk Provinsi Jambi.
Di wilayah itulah saya mendapatkan renungan yang dalam. Akan diapakankah batu bara yang begitu melimpah di kawasan pedalaman Sumatera ini? Kawasan itu begitu jauh dari pantai. Untuk mengangkutnya ke pantai timur, perlu membuat jalan 300 km. Ke pantai barat terhalang pegunungan Bukit Barisan. Saya mendiskusikannya sepanjang jalan.
Mungkinkah batu bara yang melimpah tersebut bisa menjadi sumber kemakmuran rakyat setempat. Apa peran PLN untuk pertumbuhan ekonomi wilayah itu? Dari sinilah kami berpikir untuk membangun saja PLTU-PLTU besar mulut tambang berikutnya. Baik untuk kepentingan Sumatera masa depan maupun untuk ekspor listrik ke Malaysia. Apalagi, transmisi 275 kv trans-Sumatera telah selesai dibangun dan tepat melewati kawasan itu. Lebih baik mengirim listrik daripada mengirim batu bara ke mana-mana.
Di pedalaman Jambi ini keluhan akan listrik juga sama: tegangan yang tidak stabil. Maklum, kawasan tersebut jauh dari mana-mana. Selesainya PLTU kecil (2 x 7 MW) di Sarolangun (Oktober ini beroperasi) akan banyak membantu memperbaiki tegangan tersebut. Itulah PLTU kecil tapi cabai rawit.
Maka, dalam peninjauan tersebut, saya kemukakan satu filsafat kuno. “Gunung tidak harus tinggi, yang penting ada dewanya. Sungai tidak perlu dalam, yang penting ada naganya.” Orang hidup itu tidak harus hebat dan serbabesar. Yang penting bisa penuh arti atau tidak. Saya lebih menghargai proyek kecil yang penuh arti daripada proyek besar yang tidak jelas tujuannya.
Di kota kecil Sarolangun itu, saya juga belajar menahan diri. Dalam acara makan malam bersama bupati setempat, disajikanlah durian kebanggaan setempat. Yakni, durian yang jumlahnya tidak banyak tapi selalu dicari orang sampai mancanegara. Namanya durian hujan emas.
Saya sungguh tidak tahan memandangnya. Air liur saya mulai menggenangi mulut. Sebenarnya, saya tidak berminat menyentuhnya. Tapi, air liur itu telah lebih dulu menggerakkan tangan saya. Lap! Sejumput durian masuk ke mulut. Bukan main lezatnya. Pimpinan Jambi Ekspres yang mencegat saya di Sarolangun melihat itu. Dia segera menyingkirkan sisanya. Saya pun selamat dari ambisi besar menghabiskan si hujan emas.
Di Sarolangun, saya juga hanya tidur beberapa jam. Sebelum subuh sudah harus meneruskan perjalanan ke Ombilin. Tentu harus mampir di Bangko untuk salat subuh dan untuk memenuhi keinginan arus bawah yang kuat: toilet.
Tentu kami pusing di Ombilin. Mau diapakan PLTU Ombilin yang 2 x 100 MW itu” Konsep awal PLTU tersebut adalah mulut tambang. Ombilin memang kota batu bara yang amat legendaris. Sejak zaman Belanda sudah ada tambang batu bara di dekat Kota Sawahlunto ini. Masih terlihat bekas-bekas peninggalan tua di mana-mana. Tapi, batu bara itu menipis. PLTU kita yang masih relatif baru tidak mendapatkan pasokan yang cukup. Terpaksalah sebagian besar batu bara didatangkan dari Jambi. Jaraknya 200 km! Alangkah dilematisnya PLTU itu.
Memang ada rencana PT Bukit Asam untuk menambang bawah tanah di Ombilin. Tapi, ternyata baru wacana. Saya perlu banyak ide untuk mengatasi persoalan tersebut. Kepada pimpinan daerah setempat, saya kemukakan barangkali hanya Tiongkok yang cocok mengerjakan tambang bawah tanah. Mungkin orang kita tidak cocok mengerjakannya. Terutama karena kita-kita ini harus sering istirahat keluar dari lubang tambang. Misalnya, untuk salat lima waktu. Masalahnya: Apakah rakyat setempat rela melihat semua penambang itu datang dari luar negeri?
Masih banyak yang harus kami singgahi hari itu: PLN Cabang Solok, PLTU Teluk Sirih, PLN Cabang Padang, dan P3B Sumatera. Di Cabang Solok, kami melangsungkan dialog di teras saja. Ditemani kue-kue lokal yang amat lezat. Teman-teman PLN Solok sudah menyiapkan acara di gedung pertemuan. Namun, karena kami sudah berjam-jam berada di ruangan sempit (mobil), kami ingin agar bisa agak lama di udara terbuka.
Dalam dialog di taman itulah persoalan tegangan di kawasan tersebut juga berhasil dipecahkan. Di kota kecil Lubuk Gadang dan Liku, misalnya, tegangan listrik tinggal 9 dari yang seharusnya 20 atau 21. Tegangan di situ begitu jelek karena berjarak 240 km dari gardu induk terdekat. Itulah, saya pikir, jaringan penyulang 20 kv terpanjang di Indonesia. Maka, saya buka diskusi untuk menyelesaikannya. Akhirnya, pimpinan tertinggi PLN Sumbar, Krisna Simbaputra, menemukan jalan keluar. Salah satu genset di Kota Sungai Penuh akan dipindah ke kota kecil itu. Fungsinya untuk memperbaiki tegangan.
Memang ada persoalan sosial: Apakah rakyat Sungai Penuh yang belum lama bergembira karena terbebas dari krisis listrik itu tidak marah” Kalau salah satu pembangkit di kota tersebut dipindah, bisa saja masyarakat mengira akan terjadi krisis listrik lagi. Itu mirip dengan suasana di Medan.
Sebenarnya ada beberapa pembangkit di Medan yang sudah menganggur. Namun, PLN tidak berani memindahnya sekadar karena ingin menjaga perasaan orang Medan. Rakyat Medan masih trauma dengan krisis listrik yang akut pada masa lalu. Mereka khawatir krisis listrik akan terulang kalau mesin dipindah. Padahal, tidak begitu. Lalu, bagaimana agar masyarakat tetap tenang” Mungkin pemindahannya dilakukan pukul 00.00 menunggu orang tidur semua.
Kabel 20 kv yang mencapai 240 km seperti itu jelas tidak baik. Seharusnya ada gardu induk di tengah-tengahnya. Tapi, di Padang ternyata ada yang lebih panjang: 270 km! Rasanya, itulah penyulang yang benar-benar terpanjang di Indonesia. Yakni, jaringan dari Padang yang menuju Kota Indrapura dan Tapan arah Bengkulu. Tegangan juga payah di sini. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali menambah gardu induk di tengahnya.
Ketika seluruh karyawan PLN Padang selesai salat asar berjamaah di masjid PLN Cabang Padang, saya diminta memberikan ceramah. Saya manfaatkan waktu itu tidak untuk berkhotbah, tapi untuk mendiskusikan persoalan tegangan di Tapan tersebut.
Ternyata, PLN setempat siap dengan jalan keluar. Akan dibangun GI khusus dengan peralatan yang dicarikan di berbagai gudang PLN di seluruh Indonesia. Dalam waktu enam bulan, GI itu sudah akan selesai dibangun. Di masjid tersebut, sambil lesehan, persoalan berat puluhan tahun itu terselesaikan.
Perjalanan panjang tiga hari ini seperti happy ending di Teluk Sirih, tidak jauh dari Teluk Bayur. Di proyek PLTU 2 x 100 MW ini, saya menemukan sikap manajer proyek yang mengesankan. Jalan masuk ke proyek itu memang masih payah, apalagi sedang diguyur hujan. Tapi, proyek tersebut kayaknya tidak akan banyak persoalan.
Ketika kami tiba di lokasi, sang manajer mengatakan begini: Bapak-bapak, serahkan proyek ini kepada kami, berikan kami kepercayaan, akan kami jalankan dengan penuh tanggung jawab dan akan selesai tepat waktu. Kami hanya perlu doa saja!
Mendengar sapaan itu, saya dan teman direksi saling berpandangan. Lalu, kami memutuskan untuk tidak banyak cakap. Bahkan tidak jadi turun dari mobil. “Inilah pimpinan proyek yang berkarakter,” komentar Nasri Sebayang. “Kalau semua kepala proyek seperti ini, cerita 10.000 MW akan lain,” sambung Harry Jaya Pahlawan.
Maka, kami pun langsung ke Bandara Padang. Kelelahan jalan darat selama tiga hari seperti terobati. Bahkan, saya sampai lupa mencatat nama manajer proyek yang hebat itu! (*) sumber: www.jpnn.com
Wednesday, October 13, 2010
Bantuan Gempa Tahap I Sisakan Catatan
Syamsul Maarif : Jangan Sampai Laporan Lebih Indah dari Warna Aslinya
Padang---Realisasi bantuan tahap I untuk rehab dan rekon pascagempa Sumbar belum sampai separuh. Dalam perjalannya, bantuan tersebut sudah menyisakan sejumlah catatan untuk disampaikan ke inspektorat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Namun, laporan realisasi bantuan tahap I tersebut haruslah seindah warna aslinya di lapangan.
Harapan tersebut disampaikan Kepala BNPB Syamsul Maarif usai rapat koordinasi antara BNPB dengan instansi terkait di daerah. Dengan demikian, laporan yang disampaikan ke penanggung jawab dan masyarakat bisa diterima oleh semua pihak.
”Jangan sampai laporan lebih indah dari warna aslinya. Dan, perlu dijelaskan kepada masyarakat penerima bantuan, bahwa bantuan ini adalah stimulan, bukan kompensasi atas kerusakan atau kerugian yang diderita korban gempa,” ujarnya usai rapat yang berlangsung di Pangeran Beach Hotel, Rabu (14/7).
Dari laporan yang ia peroleh dari Tim Pendukung Teknis (TPT) Rehab Rekon Sumbar, realisasi bantuan tahap I per 14 Juli mencapai 38 persen untuk realisasi fisik dan 43,91 persen untuk realisasi keuangan. Jika dibandingkan dengan realisasi bantuan serupa di Provinsi Jawa Barat yang gempanya terjadi sebulan sebelum gempa Padang, Sumbar jauh tertinggal. “Namun, kita tidak bisa membandingkan antara keduanya karena tingkat kerusakannya berbeda,” lanjut Syamsul didampingi staf ahli Menkokesra Djasri Marin.
Setidaknya, sebut Syamul, kondisi ini bisa memperbaiki pengelolaan anggaran bantuan gempa tahap I yang telah digelontorkan sebesar Rp313 miliar, November 2009 silam. Catatan dari bantuan tahap I, menurutnya bukanlah cacat. Sebab, dari laporan yang ia terima, keterlambatan realisasi lebih karena prosedur administrasi dan aturannya yang mengharuskan seperti itu.
Dimana, di bantuan tahap I, pencairan bantuan pengelolaannya disertakan dengan APBD. Jadinya, harus melewati proses persetujuan yang panjang dan disesuaikan dengan kegiatan APBD. “Semua ingin cepat. Tapi jangan sampai melanggar prosedur. Ikutilah prosedur yang ada, ” lanjutnya.
Meski demikian, ia berharap dalam pengelolaannya nanti, improvisasi yang tidak melanggar aturan tadi. Ia mengakui, dalam penyusunan aturan, pengelola bantuan memang dilibatkan. Namun, dampak yang terjadi memang sulit ditebak. Makanya, dalam penyaluran bantuan tahap II senilai Rp350 miliar yang masih menunggu persetujuan Permenkeu, bisa lebih baik karena mekanismenya telah diubah.
Makanya, ia mengharapkan semua pihak yang terlibat, baik di daerah ataupun di pusat tidak merasa kewenangannya tergilas. Sebab, posisi BPBD di daerah ataupun BNPB di pusat hanyalah sebatas koordinasi. “Sebagai amanat UU No 24 tahun 2007, tugas penanggulangan bencana itu hanya dikoordinir BNPB dengan dukungan kementerian terkait,” ulas Syamsul.
Realisasi Tahap I
Sejauh ini, berdasarkan laporan TPT Rehab dan Rekon Sumbar, sektor perumahan bidang perbaikan rumah masyarakat realisasi keuangannya mencapai 40,56 persen. Sementara, realisasi fisiknya 40 persen. Kemudian, untuk relokasi, realisasi keuangan mencapai 64 persen dan fisik 34,54 persen.
Sementara, di bidang infrastruktur, menurut Koordinator TPT RR Sumbar Sugimin Pranoto, bidang jalan dan jembatan realisasi fisiknya 40,15 persen dan realisasi fisik 46 persen. Anggaran tahap I-nya mencapai Rp48,4 miliar. Bidang irigasi, dari Rp37,8 miliar, realiasi keuangannya 23,70 persen dan fisik 53,28 persen. Bidang air minum dan sanitasi, bermodal dana Rp7 miliar, realisasi keuangan 8,1 persen dan fisiknya 40 persen.
Di sektor sosial, khususnya bidang kesehatan, dengan anggaran tahap I sebesar Rp22,7 miliar, realisasi keuangannya mencapai 63,2 persen dan realisasi fisik 70,98 persen. Kemudian, sektor ekonomi produktif yang meliputi bidang pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, perdagangan dan industri kecil, realisasi fisiknya ada yang mencapai 100 persen. Yakni bidang perkebunan dan peternakan masing-masing dengan realisasi keuangan 57 persen dari Rp225 juta dan 98,4 persen dari Rp1,18 miliar.
Realisasi terendah adalah bidang perdagangan dan industri kecil dengan realisasi keuangan 52 persen dari Rp11,9 miliar dan fisik 46,9 persen. Di atasnya, bidang perikanan telah menghabiskan 43,3 persen dari Rp2,16 miliar dengan realisasi fisik 59,4 persen. Terakhir, bidang pertanian yang menghabiskan 27,7 persen dari Rp28 miliar dengan pelaksanaan fisik mencapai 78,3 persen.
Kemudian, untuk sektor pendampingan dan pengurangan resiko bencana realisasi keuangan sudah mencapai 10,42 persen dari Rp22,5 miliar dengan pelaksanaan fisik 50 persen. ”Selain karena proses administrasi yang panjang, di sejumlah sektor terjadi double anggaran. Karena tidak dibolehkan, anggaran dari BNPB ditahan dulu untuk program berikutnya. Misalnya, di bidang kesehatan yang telah mendapatkan bantuan dari NGO asing,” bebernya.
Soal kelebihan anggaran tahap I ini, ia pastikan akan diteruskan untuk masyarakat kembali. Soal aturan, karena sudah tergabung dalam APBD, tentunya ada pembicaraan khusus antara Pemprov dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) agar tidak jadi masalah di kemudian hari.
Sementara, dalam kesempatan tersebut, wakil dari BPKP Sumbar menyatakan, pada prinsipnya bantuan tersebut dapat memang dapat disalurkan kembali ke masyarakat. Dengan catatan, tetap dianggarkan kembali lewat APBD sebagaimana bantuan tahap I disalurkan. Jadi, tidak ada pengalihan pengelolaan seperti yang disebutkan sebelumnya.
Kemudian, peruntutan atau pengusulan anggaran tersebut tetap untuk rehab dan rekon pascagempa. Tentunya, dalam pelaksanaan anggaran tersebut memang digunakan untuk rehab dan rekon. [Abdullah Khusairi] Sumber Buletting RR Edisi V Juli Tahun I 2010
Padang---Realisasi bantuan tahap I untuk rehab dan rekon pascagempa Sumbar belum sampai separuh. Dalam perjalannya, bantuan tersebut sudah menyisakan sejumlah catatan untuk disampaikan ke inspektorat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Namun, laporan realisasi bantuan tahap I tersebut haruslah seindah warna aslinya di lapangan.
Harapan tersebut disampaikan Kepala BNPB Syamsul Maarif usai rapat koordinasi antara BNPB dengan instansi terkait di daerah. Dengan demikian, laporan yang disampaikan ke penanggung jawab dan masyarakat bisa diterima oleh semua pihak.
”Jangan sampai laporan lebih indah dari warna aslinya. Dan, perlu dijelaskan kepada masyarakat penerima bantuan, bahwa bantuan ini adalah stimulan, bukan kompensasi atas kerusakan atau kerugian yang diderita korban gempa,” ujarnya usai rapat yang berlangsung di Pangeran Beach Hotel, Rabu (14/7).
Dari laporan yang ia peroleh dari Tim Pendukung Teknis (TPT) Rehab Rekon Sumbar, realisasi bantuan tahap I per 14 Juli mencapai 38 persen untuk realisasi fisik dan 43,91 persen untuk realisasi keuangan. Jika dibandingkan dengan realisasi bantuan serupa di Provinsi Jawa Barat yang gempanya terjadi sebulan sebelum gempa Padang, Sumbar jauh tertinggal. “Namun, kita tidak bisa membandingkan antara keduanya karena tingkat kerusakannya berbeda,” lanjut Syamsul didampingi staf ahli Menkokesra Djasri Marin.
Setidaknya, sebut Syamul, kondisi ini bisa memperbaiki pengelolaan anggaran bantuan gempa tahap I yang telah digelontorkan sebesar Rp313 miliar, November 2009 silam. Catatan dari bantuan tahap I, menurutnya bukanlah cacat. Sebab, dari laporan yang ia terima, keterlambatan realisasi lebih karena prosedur administrasi dan aturannya yang mengharuskan seperti itu.
Dimana, di bantuan tahap I, pencairan bantuan pengelolaannya disertakan dengan APBD. Jadinya, harus melewati proses persetujuan yang panjang dan disesuaikan dengan kegiatan APBD. “Semua ingin cepat. Tapi jangan sampai melanggar prosedur. Ikutilah prosedur yang ada, ” lanjutnya.
Meski demikian, ia berharap dalam pengelolaannya nanti, improvisasi yang tidak melanggar aturan tadi. Ia mengakui, dalam penyusunan aturan, pengelola bantuan memang dilibatkan. Namun, dampak yang terjadi memang sulit ditebak. Makanya, dalam penyaluran bantuan tahap II senilai Rp350 miliar yang masih menunggu persetujuan Permenkeu, bisa lebih baik karena mekanismenya telah diubah.
Makanya, ia mengharapkan semua pihak yang terlibat, baik di daerah ataupun di pusat tidak merasa kewenangannya tergilas. Sebab, posisi BPBD di daerah ataupun BNPB di pusat hanyalah sebatas koordinasi. “Sebagai amanat UU No 24 tahun 2007, tugas penanggulangan bencana itu hanya dikoordinir BNPB dengan dukungan kementerian terkait,” ulas Syamsul.
Realisasi Tahap I
Sejauh ini, berdasarkan laporan TPT Rehab dan Rekon Sumbar, sektor perumahan bidang perbaikan rumah masyarakat realisasi keuangannya mencapai 40,56 persen. Sementara, realisasi fisiknya 40 persen. Kemudian, untuk relokasi, realisasi keuangan mencapai 64 persen dan fisik 34,54 persen.
Sementara, di bidang infrastruktur, menurut Koordinator TPT RR Sumbar Sugimin Pranoto, bidang jalan dan jembatan realisasi fisiknya 40,15 persen dan realisasi fisik 46 persen. Anggaran tahap I-nya mencapai Rp48,4 miliar. Bidang irigasi, dari Rp37,8 miliar, realiasi keuangannya 23,70 persen dan fisik 53,28 persen. Bidang air minum dan sanitasi, bermodal dana Rp7 miliar, realisasi keuangan 8,1 persen dan fisiknya 40 persen.
Di sektor sosial, khususnya bidang kesehatan, dengan anggaran tahap I sebesar Rp22,7 miliar, realisasi keuangannya mencapai 63,2 persen dan realisasi fisik 70,98 persen. Kemudian, sektor ekonomi produktif yang meliputi bidang pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, perdagangan dan industri kecil, realisasi fisiknya ada yang mencapai 100 persen. Yakni bidang perkebunan dan peternakan masing-masing dengan realisasi keuangan 57 persen dari Rp225 juta dan 98,4 persen dari Rp1,18 miliar.
Realisasi terendah adalah bidang perdagangan dan industri kecil dengan realisasi keuangan 52 persen dari Rp11,9 miliar dan fisik 46,9 persen. Di atasnya, bidang perikanan telah menghabiskan 43,3 persen dari Rp2,16 miliar dengan realisasi fisik 59,4 persen. Terakhir, bidang pertanian yang menghabiskan 27,7 persen dari Rp28 miliar dengan pelaksanaan fisik mencapai 78,3 persen.
Kemudian, untuk sektor pendampingan dan pengurangan resiko bencana realisasi keuangan sudah mencapai 10,42 persen dari Rp22,5 miliar dengan pelaksanaan fisik 50 persen. ”Selain karena proses administrasi yang panjang, di sejumlah sektor terjadi double anggaran. Karena tidak dibolehkan, anggaran dari BNPB ditahan dulu untuk program berikutnya. Misalnya, di bidang kesehatan yang telah mendapatkan bantuan dari NGO asing,” bebernya.
Soal kelebihan anggaran tahap I ini, ia pastikan akan diteruskan untuk masyarakat kembali. Soal aturan, karena sudah tergabung dalam APBD, tentunya ada pembicaraan khusus antara Pemprov dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) agar tidak jadi masalah di kemudian hari.
Sementara, dalam kesempatan tersebut, wakil dari BPKP Sumbar menyatakan, pada prinsipnya bantuan tersebut dapat memang dapat disalurkan kembali ke masyarakat. Dengan catatan, tetap dianggarkan kembali lewat APBD sebagaimana bantuan tahap I disalurkan. Jadi, tidak ada pengalihan pengelolaan seperti yang disebutkan sebelumnya.
Kemudian, peruntutan atau pengusulan anggaran tersebut tetap untuk rehab dan rekon pascagempa. Tentunya, dalam pelaksanaan anggaran tersebut memang digunakan untuk rehab dan rekon. [Abdullah Khusairi] Sumber Buletting RR Edisi V Juli Tahun I 2010
Saturday, October 2, 2010
Gempa Sumbar
Kunci Pintu Sekali Putar, Apatisme yang Mekar
Abdullah Khusairi, MA
Bencana gempa telah melahirkan luka lara panjang. Menghancurkan infrastruktur. Meruntuhkan sendi-sendi kehidupan. Sejak beberapa saat setelah gempa, perubahan di sekitar kita mulai terjadi. Terus menjadi. Hingga memasuki masa tanggap darurat, masa rehabilitasi dan rekonstruksi, perubahan hebat merambat. Maka benarlah adegium dari ranah ini, sakali aia gadang sakali tapian berubah.
Perubahan tersebut baik disadari maupun tidak, ia merambat. Apa saja perubahan tersebut? Kita bisa lihat, paling tidak fenomena beberapa bulan belakangan. Setelah gempa, warga Kota Padang, pada malam hari mengunci pintu rumah dengan sekali putar saja. Padahal biasanya, pintu dikunci, anak kunci dicabut diletakkan ke tempat yang aman, tidak tinggal di pintu. Juga diberi pengaman tambahan, berupa palang. Ini sebuah perubahan. Asumsinya, kalau terjadi gempa di tengah malam, membuka pintu bisa cepat. Kalau kuncinya dua kali putar, sangat susah membukanya ketika sedang berguncang.
Subscribe to:
Posts (Atom)