Friday, October 20, 2006

DI DALAM ENTAH

Kota ini mulai malam. Temaram datang detik demi detik. Jalan mulai remang, walau ada lampu jalan dan lampu kenderaan yang lalu lalang. Kota ini di waktu malam memang tak seramai kota metropolitan. Hanya beberapa tempat yang hidup sampai seperempat malam, selebihnya sunyi sepi. Di beberapa tempat itu pun, mungkin di emperan toko tempat mereka main domino. Di cafe-cafe yang pengunjungnya terdiri dari beberapa komunitas. Atau di tempat mereka menggoyangkan kepala dan badan sembari mabuk-mabukan. Hanya di situ. Tak ada kehidupan seperti siang, di mana semua orang berlari mengejar waktu, obsesi dan uang. Kota ini ketika malam, hanyalah segelintir orang yang mencari hidup dan terpaksa hidup di tengah malam.
Sekilas memang terasa amat meyakinkan, kota ini sebagai kota pelajar. Dimana warga kota yang berbudaya, ramah, memiliki hobi membaca dimana saja berada. Baik di bus kota maupun di ruang tunggu. Tetapi, sesungguhnya, citra itu segera terkikis sedikit demi sedikit jika telah mendengar musik house di dalam bis kota menghentak membentak jantung. Atau melihat anak-anak jalanan di lampu merah. Mungkin kota ini sudah uzur…
***
Citra itu terasa kian luntur ketika melihat seorang anak muda asyik melinting daun kering seperti tembakau di sebuah kost. Terlihat amat asyik jari-jari tangan anak muda yang kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama itu menyelesaikan gulungan kecil di tangannya. Itulah daun ganja kering yang sudah diracik, katanya, membawa kenikmatan. Daun kenikmatan yang datang entah dari mana. Katanya dari Aceh, tapi laksana hantu ia datang dari Aceh.
“Udin, kuliah jangan main-main. Kalau tidak mampu katakan saja. Lebih baik mundur sekarang dari pada nanti tidak mendapat gelar sarjana. Lebih baik ikut ayah mencari ikan,” ujar ayah Udin, anak muda itu, ketika mengantar Udin ke kota I ni. Waktu itu, Udin sangat menghayati apa yang diucapkan ayahnya. Ia berjanji akan belajar dan mengejar prestasi.
Jauh-jauh datang dari kepulauan, ia merantau ke kota ini dengan membawa harapan orang tua. Seperti banyak remaja yang datang ke kota ini, membawa ambisi orang tua agar anaknya menjadi orang yang berguna dan mandiri.
Sampai di kota ini, untuk sekian lama, Udin tak mengingat pesan itu. Ia telah terpuruk dalam kenikmatan malam. Kota yang menurut ayahnya dulu adalah kota pelajar, kini tak ada lagi ditemukan Udin. Tempat ayahnya yang sempat mengenyam pendidikan setingkat SLTA beberapa puluh tahun silam.
Udin memantik api ke gulungan ganja yang baru saja linting tadi. Seperti alu kecil, di bagian yang dihisap pemuda berambut gondrong ini lancip, sementara di bagian ujung yang dibakar agak besar. Udin mulai menghisapnya dengan syahdu. Udin mulai menerawang. Diiringi lagu house dari tape recorder di sudut kamarnya. Ada bidadari yang mengelilinginya, ada surga yang tak terbayang bagi mereka yang tidak pernah mengisap daun kering itu.
Itulah Udin, dalam hari-hari kuliahnya di kota ini. Penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Seperti sudah lupa dengan niat pertama ia datang ke kota ini. Sementara, sang ayah penuh harapan menunggu dari semester ke semester kuliah sang anak. Ayah Udin cukup bangga menceritakan kuliah anaknya. Orang-orang pun hanya melongo jika ayah Udin menceritakan berapi-api, tentang jurusan yang diambil si Udin. Walau sudah beberapa kali diceritakan dengan orang yang sama, ayah Udin tetap bersemangat. Orang pun tak mau gegabah mematahkan cerita itu. Di kampung, Udin, sehari-hari juga dipanggil Ucok. Menurut teman-temannya, Ucok singkatan dari usia cukup otak kurang; kalau Udin; Udah itam norak lagi. Ia anak manja. Apa yang dipinta kepada ayahnya bisa dapat. Mulai dari tape recorder, sepeda motor sampai telepon seluler. Mewah memang. Maklum anak orang kaya di kampung nelayan kepulauan tersebut.
Begitulah Udin, sehari-hari tak lagi bercengkrama dengan mata kuliah yang mampu memusingkan kepala. Menurutnya, segala rumus dan teori di bangku kuliah kadang-kadang tidak realistis. Tak sama dengan rumus hidupnya yang amat ringan, simple. Bangun tidur, seduh teh manis, lalu melinting ganja, hisap, seterusnya mabuk. Ketawa sendiri atau mengajak teman. Itu saja rumus hidup pemuda ceking, berambut gondrong dan bermata sayu itu.
“Yang penting rasanya,” celoteh Udin antara sadar dan tak sadar.
Berbilang hari, berbilang bulan bahkan berbilang tahun. Udin cukup menikmati perjalanan hidupnya. Walau dengan segala dosa-dosa yang sangat ia sadari kepada orang tuanya. Dimana semua janji telah ia langgar demi mimpi-mimpi yang didapatkan ketika pikirannya melayang-layang dibawa bidadari dari asap-asap yang dihisap.
Di sudut kamar, berbagai koleksi botol minuman tersusun rapi dihiasi bunga edelweiss. Mulai dari bersegi empat sampai berbentuk ceper. Ini berbeda dari kamar mahasiswa yang biasanya tersusun rapi buku-buku pemikir terkenal atau teori-teori mutakhir. Ya, kamar Udin memang lain. Di mana, setiap sudut kamar penuh coretan abstrak dengan siluet perempuan. Sebuah bentuk suasana yang lain, mengarah kepada hal yang magis dan penghambaan modern. Menurut Udin, itulah suasana terbaik, seperti suasana surga baginya.
Di atas tape recorder, ada televisi yang menyala walau kadang tak bersuara. Volumenya memang dikecilkan, karena ada suara musik house membuat Udin geleng-geleng kepala. Terlihat nikmat sekali.
Pada dasarnya Udin mahasiswa cerdas. Dalam tas yang tergantung di dinding dan sudah lama tidak disandangnya, ada beberapa buku sastra yang ia minati, entah dibaca entah tidak. Tampak buku sayap-sayap patah, sang nabi, karya Kahlil Gibran yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam satu halaman buku sayap-sayap patah, terselip satu lembar kertas yang ditulis Udin ketika kuliah semester pertama. Di sini kutemui arti hidup ini/ menjejal hari-hari dengan kebebasan/ kenapa harus ada aturan ketika cinta tak membatas hari/ kekuatan segenap cinta yang ada ini tak untuk siapa/ Aku menemukan damai di udara pagi tanpa ada siapa-siapa/Kenikmatan hadir dari hati bukan dari siapa-siapa/kesendirian mungkin lebih berarti…
Sebuah ungkapan yang memang masih terpecah-pecah. Tapi Udin mungkin ingin memulai menulis. Sayang, kini hobi mabuk. Atau mungkin ia mendapat inspirasi ketika mabuk. Seperti seniman-seniman tua yang pernah ada. Mabuk dulu baru menulis.
Tulisan Udin berlanjut satu bait seperti ini; Jangan percaya dengan segala macam ritual bernama adat budaya jika sudah berbumbu rupiah. Memang kehormatan dipegang cerdik pandai, ninik mamak, tapi kadang-kadang cerdik berbumbu licik.. ini terjadi ketika cinta dipisah budaya).
Tulisan terakhir cukup mengarah, mungkin Udin sedang putus cinta. Ya, Udin sedang berproses menuju pelaminan. Entah itu pelaminan kehancuran atau kesuksesan, waktulah yang menjawabnya. Hidup adalah proses, dimana jiwa diasah dengan persoalan-persoalan. Tantangan-tantangan. Bukankah begitu…
Ketika berita kriminal dari televisi, Udin mematikan tape recorder, ia besarkan volume televisi. Ada rasa bangga ketika mendengar perampok ditembak, pengedar shabu-sabu kabur lewat jendela ketika digrebek aparat, polisi tertipu dan segala macam bentuk kriminalitas yang hidup di masyarakat. Udin, setengah sadar tertawa mendengar seorang pelacur dijatuhkan dari lantai tiga sebuah diskotik. Apalagi mendengar seorang anak kecil harus mencuri seekor kambing untuk membeli mobil remote yang sedang ngetrend dimainkan anak-anak dan bapak-bapak.
Tapi, jauh di sudut hati Udin, sedikit demi sedikit terbawa rasa takut. “Kapan giliranku,” gumamnya setengah sadar. Apalagi mendengar temannya berhasil dibekuk polisi karena mengedar ganja. Teman sekampus tempat ia sering mengambil barang haram itu. Rasa takut itu makin lama makin mendera, mendesak pemuda bertindik telinga dan hidung itu menutup pintu jendela rapat-rapat.
***
Pagi yang indah sekali. Udin bangun dan langsung mandi. Wajah yang kuyu tampak terpaksa segar karena rambut gondrong itu dibasahkan. Teh manis hangat baru saja ia seduh, sebatang rokok mild terselip di tangannya yang kurus. Trek, pemantik api dihidupkan, ketika rokok sudah terselip di bibirnya yang menghitam. Udin menikmati sisa-sisa mabuk semalam. Terasa ringan tanpa beban pagi yang indah ini. Diiringi alunan lembut nan syahdu tape recorder, Udin seperti menunggu, menunggu seseorang…
“Tok, tok,” pintu kost Udin diketuk. Seorang perempuan langsung masuk ke kamarnya. Entah siapa, seperti sudah terbiasa, mungkin pacarnya. Pagi yang mungkin sudah ditafsir Udin sebagai pagi yang cerah. Atau hari yang sudah sangat ia ingat. Sebuah rutinitas penting bagi kehidupannya. Perempuan berwajah tirus, mata sayu dan rambut sebahu itu tersenyum sinis masuk ke kamar Udin. Udin pun seperti tak menanggapi kedatangan perempuan itu. Udin terlalu simple. Cinta tak penting kecuali uang.
Entah berapa banyak perempuan itu harus berkorban untuk merebut hati Udin, namun ia tetap dingin. Bagi Udin, entah dimana seorang perempuan mendapatkan uang, yang penting bila ia membutuhkan harus ada. Bagi perempuan itu, mungkin tertarik dengan Udin karena gagah walau terlihat kuyu dan layu, tipe pemuda yang modis. Sejiwanya bathin mereka tentang kenikmatan.
“Jika tidak hubungan kita cukup sampai di sini,” ujar Udin ketika ia mendesak pacarnya yang kurus kering itu mengeluarkan uang.
Sudah beberapa menit duduk menikmati film kartun, keduanya tetap diam. Perempuan itu mengambil rokok mild di atas meja. Tanpa sungkan menyaingi Udin menghisap nikotin. Ada kenikmatan tak terbayangkan dari hisapan itu. Wajahnya hilang ketika asap dibiarkan keluar dari mulutnya tanpa dihembus. Sebuah acting yang mahir ia perankan.
Jeda film, iklan berlalu…
“Bang, saya terlambat,” ujar perempuan itu membuka percakapan.
“Terlambat apa?” Tanya Udin setengah tidur.
“Ya, terlambat bulan,” tegas perempuan itu sembari meletak abu rokok yang sudah panjang ke asbak.
“Aborsi aja,” ujar Udin singkat.
“Takut bang, udah beberapa kali,” jawab cuek.
“Periksa aja dulu, kalau memang positif, langsung saja cari jalan keluarnya. Entengkan?,” Jawab Udin santai.
“Abang mau bertanggungjawab kalau dibiarkan sampai melahirkan?” tanya perempuan itu seadanya, tapi cukup serius buat Udin.
Lamat-lamat Udin memandang wajah gadis yang kuyu tersebut. “Linda, sudah kukatakan berkali-kali. Dalam sepuluh tahun ke depan saya tidak akan menikah. Saya harus menunggu jiwa saya benar-benar mantap. Ekonomi sudah mantap, kuliah selesai,” jawab Udin serius.
Linda diam seribu basa. Ada pikiran lain yang sedikit demi sedikit menambah berat kepalanya. Sudah begitu lama ia tak didatangkan pikiran-pikiran yang memberatkan otaknya. Hari-hari ia lalui bersama Udin dan teman-temannya tak pernah memikirkan hal seperti ini. Semuanya enjoy. Mulai dari mabuk bersama sampai seks, adalah bukan hal berat yang harus dipikirkan.
“Jalani saja, hidup ini indah,” begitu katanya ketika menenggak air bening dari sebuah botol ceper di tempat yang sama beberapa waktu lalu. Linda benar-benar merasa nikmatnya hidup.
Tapi, hari ini ia mulai berpikir sedikit agak berat, walau ingin mempersingkat sehingga tak perlu menyiksa diri dan pikiran. Ia tak bisa simple kali ini. Mungkin memang sudah tak sesederhana dulu lagi. Sudah dua kali menjalankan aborsi, masuk ketiga kalinya adalah hal yang cukup berat baginya.
“Uangku tidak ada untuk aborsi. Bagaimana caranya?” ungkap Linda.
“Minta saja dengan pacarmu yang lain. Mereka pasti mau,” jawab Udin memberi solusi seadanya.
“Ini benar-benar janin darimu bang. Saya tidak berhubungan dengan mereka lagi,” ujarnya ketus penuh harap.
“Mana buktinya?” nada Udin meninggi.
Tampaknya perang tak terelakkan lagi. Udin tak mau terjebak dengan persoalan yang berat. Sebuah pertanggungjawaban. Kali ini Udin yang terbentur pikiran-pikiran berat. Ingin menjadi se-simple mungkin, tapi tak bisa, sungguh tak bisa. Sebuah resiko besar terbayang di sela-sela pikirannya yang menerawang dibawa pesona keindahan alam bawah sadarnya. Ia masih sempat tersenyum, lebih tepat disebut menyeringai.
Keduanya diam seribu bahasa. Sementara, pagi telah pergi, siang datang, senja menjelang. Kamar Udin seperti tak berpenghuni. Ibu kost yang kebetulan lewat di depan kamar tidak menyangka ada kehidupan di dalamnya. Walau ada asap rokok yang diam-diam keluar dari ventilasi. Tidak kelihatan. Mungkin asap terlalu cerdik, atau ibu kost hampir pikun. Entahlah…
Siang berlalu, sore menjelang kamar itu masih tertutup. Musik sudah dimatikan, lampu juga tak menyala. Udin dan Linda masih di dalam. Entah apa yang mereka lakukan, entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin sedang perang. Tapi entah perang apa? Dan sorepun hilang, malampun menjelang. Kota ini mulai malam kembali. ***
Padang, Awal September 2003

Thursday, October 19, 2006

JIWA LAPANG

Filosof politik Niccolo Machiavelli (1469-1527) termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan. Katanya, seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman dan kekuatan. Ini terdapat dalam buku The Prince (Sang Pangeran) karya filosof Italia ini. Buku yang mudah dibaca dan terjemahannya dalam banyak bahasa. Pun bahasa Indonesia.
Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya daya menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Dikatakannya, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus. Sehingga tidak perlu mereka alami tiap hari. Kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang.
The Prince (Sang Pangeran) sering dijuluki orang ”buku petunjuk untuk para diktator.” Tetapi tetap digandrungi. Dan Machiavelli dalam berbagai tulisannya menunjukkan secara umum dia cenderung setuju bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator. Tetapi dia cemas dan khawatir atas lemahnya politik dan militer. Demikianlah ia merindukan seorang Pangeran yang kuat yang mampu mengatur negeri dan menghalau tentara-tentara asing yang merusak dan menista negerinya.
Menarik untuk dicatat, meskipun Machiavelli menganjurkan seorang Pangeran agar melakukan tindakan-tindakan kejam dan sinis, dia sendiri seorang idealis dan seorang patriot, dan tidak begitu mampu mempraktekkannya sendiri apa yang dia usulkan. Membaca Machiavelli, saya menangkap dirinya yang tidak punya urusan dengan moral. Baik dan buruk adalah ”baik” untuk kekuasaan. Ukuran jahat atau tidak bukan sesuatu yang penting. Saya jadi ingat pepatah guru, orang yang suka dijajah akan bertemu dengan orang yang suka menjajah. Klop. Ya, kalau begitu tak ada salahnya Machiavelli masih dikenang dan dipelajari.
"Jangan salah kalau setiap kekuasaan cenderung disalahgunakan," kata pengamat politik.
"Makanya, dalam memilih orang berkuasa semestinya dilihat dulu kemampuannya agar tidak mengecewakan rakyat di kemudian hari," ujar pengamat tadi.
Wejangan seperti ini sering terdengar namun tidak pernah saya dengar kearifan dari seorang yang sedang berkuasa untuk jujur menyatakan kekuasaan yang sedang dipegang bukan kekuasaan mutlak.
Tiba-tiba saya ingat Ibnu Khaldun yang berkata, "Aku berlindung kepada-Nya dari peta politik yang kotor dan nista." Ibnu Khaldun jatuh bangun dalam bidang politik. Karier tertingginya, Mufti Agung (Kejagung) Bani Fathimiyah. Sempat pula masuk penjara karena lawan politik. "Artinya, teori agar rakyat selalu dan harus bodoh itu terbukti. Persoalannya sekarang, maukah kita selalu dibodohi dengan sesuatu berjangka pendek?" komentar seorang dosen filsafat.
Saya seperti dungu di ladang buku setelah membolak-balik lembaran demi lembaran. Betapa masih bodohnya saya, semakin membaca semakin terasa. "Oleh karenanya, galilah sampai ke dasar paling dalam. Yakinlah akan keluar daripadanya minyak bumi yang murni dan berkhasiat. Jika penggalian dangkal, gunanya tak ada kecuali untuk saluran comberan," kata ulama tasawuf yang saya temui.
Ia memberi pemahaman, orang berilmu itu akan lapang hati, jiwa dan pikirannya terhadap sesuatu. Ia tidak cepat menolak apalagi langsung memvonis dengan sebuah pendapat. "Belajarlah sampai ke ujung waktu dan usia,"katanya memberi nasehat.
Saya mengangguk bodoh. Kata-kata terakhirnya membawa keyakinan baru terhadap ilmu dan dunia. Tak ada yang final untuk dipelajari dan dunia tidak pernah usai. Jika akal berhenti berpikir, rasa telah tak lagi berperasaan, maka pertanda ajal sudah tiba; mati sebelum waktunya. Sungguh, saya takut sendiri dengan kesimpulan pikiran itu. Mujur seorang teman menyatakan, saya punya kemajuan berpikir. Syukur alhamdulillah. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id

Pantai Padang


Pantai Padang























Pantai Air Manis

SAJAK

Pucuk Taraqi

Siapa yang mengembus angin?
Menebar nyanyian terindah daun-daun pagi?
Aku tak tahu selain Dia

Tertinggi aku daki meminjam ar-Rumi, al-Qusyairi, Rabi’ah cinta dan puisi
menakar embun tajalli dalam mimpi
Sutardji Chalzoum Bahri, ar-Raniry, Hamzah Fansuri
mabukku Dia di maqam tertinggi pucuk diam.
Kau terimakah cintaku?
Andalas Ramadhan 1427 H

Kaji Sufi

aku kejar fana’ bermandikan baqa’ berhanduk ittihad
bersebadan dengan-Mu.
Dunia begitu hiruk pikuk mengacau gelombang
terpasang di mahligai cinta kita.
Semenjak tanah buncah menggamang akal dan jiwa tangan
kami menggapai di balik cermin buram tak kenal siapa kami sesungguhnya.

Mengaji alip tiang menuju-Mu
tertawa cinta kita asing di hadapan benda-benda
dan siang gila membayang-bayang kelam.
Andalas Ramadan 1427 H

Duduk Sepi
Karam jiwa tergugat asmara
di ambang pagi imsyak
menyudahi onani

tunggu senja merah di ujung
rindu adzan jauh mengelopak
bunga sedap malam.

Aku tersedak pada sebuah maqam
menghirup desah nafas busuk
milik kami sepanjang hari
lumpur terdalam yang direnangi
menggapai hasrat jiwa-jiwa.

Rindu jua menghancur
dalam hulul agung Hallaj.
Aku pinjam semua
bentuk dan sifat demi keangkuhan sepi.
Andalas Ramadhan 1427 H

Kuncup jiwa

Lalu menuai keangkuhan
dari bilik-bilik kekuasaaan
mengunyah dzikir di lidah kotor
aduh rendahnya kami
dalam bilangan wahdah emanasi-Mu.
Sirat al mustaqim yang ku tuju bergelombang
besar tersebab jiwa korup tak jua mandi zuhud sufi.

Wahai wahdatul wujud
di ujung rinduku kepada-Mu
aku tak memiliki apa-apa
mengajak cemburu sentosa cinta-Mu
kepada siapa saja.
Jiwaku tak kunjung mengembang merambah langit-langit.
Andalas Ramadan 1247 H

Semai Rindu

Sebongkah kalbu
menyusun rindu di musim hujan
kelaparan menunggu tiba kehadirat-Mu
Perjalanan kuasa sebotol minuman mabukku
tak kunjung tiba.

Adzankan klimak syahwatku
menyetubuhi-Mu agar rindu tersemai menjadi suci.

Sebab Hallaj
kau berikan aku pun
meminta biar luka darah airmata
di pelupuk senja ranum mengukir keajaiban.
Biar mereka tahu kita sedang bercinta tuhan.
Andalas Ramadhan 1427 H

Pintu Ma’rifat

Hati ini
tak lelah mengejar-Mu mendingin
diamuk syahwat kekuasaaan
dan keangkuhan meneriakkan
sebentuk cinta dan kesucian.

Lempung ini amis
di titik syahdu dzikir malam
dengan jiwa yang tersisa
menuju zuhud wara’ bila zindiq
aku temui karena tanah
menagih tanah jiwa menagih jiwa
aku tak pun tak punya apa-apa.
Andalas Ramadhan 1427 H

Tempat kembali
Dan daun-daun gugur hancur
ranting-ranting kering merinding
dahan dahan bertahan rintihan
dan
Daun baru tumbuh lagi rindang
kembali setia bermusim semilir
tiupan bayu lagu kenangan
riquem syahdu pilu senyum merindu.
Tak jua tahu di balik
keagungan musim kemana aku nak kembali.
Andalas Ramadan 1427 H

BERTIGA: NUZRAN JOHER

Anggota DPD RI, Nuzran Joher (tengah), Hadi Sastra Wijaya (kanan), Abdullah Khusairi (kiri). Pertemuan singkat penuh makna setelah berpisah pasca Reformasi 98.

ZIKIR PIKIR

Suatu hari beberapa puluh abad silam, di Semenanjung Asia Kecil, sekelompok warga Kota Athena mengemukakan pertanyaan. Mengapa alam semesta ini begitu teratur? Berubah dalam keteraturan pula. Sejak kapan alam ini ada?
Pertanyaan ini beranak pinak menuju puncak tanya yang paling tinggi dari waktu ke waktu meminta jawaban.
Tetapi jawaban itu tak pernah mencapai puncak. Ia justru tenggelam dalam lembah keraguan. Lahirlah novel, sajak, nyanyian tentang alam, dewa, asal-usul. Mitos dan dongeng berkembang biak sampai kejenuhan zaman.
Zaman kejenuhan dongeng-dongeng itulah datang orang bernama Thales (624-548 SM) yang berpendapat agak menjawab persoalan, alam ini hakikatnya adalah air (arche is water). Ia mengatakan sesuatu yang ada adalah air. Karena dia anak nelayan. Sedangkan Anaximandros menyatakan, sesuatu yang paling awal dan abadi (arche is to apeiron). Lain pula Pythagoras yang mengatakan hakikat alam semesta adalah bilangan. Demokritos menjawabnya dengan atom. Hakikat alam semesta adalah suatu benda yang terkecil (atom). Mereka ini pada masanya, punya alasan yang masuk akal. Mereka diamini pada masanya.
Di sinilah awal berkembang ilmu pengetahuan. Berawal dari mitos ke logos. Tak lama setelah itu, logos menghapus mitos dan mengorbankan Socrates (469-399 SM). Socrates dipaksa minum racun karena mempertahankan pendapat.
Setelah itu muridnya, Plato(427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) meneruskan budaya berpikir logis sang guru. Pasang surut sempat terjadi di negeri Yunani dan pernah dipegang oleh bangsa Timur. Mesir sedang jaya, Cordoba dan Bagdad sedang berkuasa.Muncullah nama al Kindi (806-873), al Parabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), Al-Ghazali (1058-1111).
Dan hingga hari ini perkembangan begitu pesatnya. Ilmu pasti melaju tak tertahan. Humaniora menemukan jalannya menelaah fenomena hidup manusia.
Mencermati hal semacam ini, di tengah hiruk pikuk pembangunan berbasis ekonomi rakyat. Wacana masa depan terindah dan segala macamnya. Saya jadi berpikir, apa benar sebuah impian politik bisa dicapai dengan kekuatan yang tidak sesuai kenyataan. Apa mungkin bisa terjadi bila program tidak diikuti dengan implelemtasi yang terukur? Bagaimana mungkin jika hidup hanya disandarkan pada kemampuan berpikir? Mengedepankan fisik dari pada jiwa dan nurani?
Saya lalu bertanya dengan siapa saja yang dianggap bisa menjawab pertanyaan tadi.
"Anda salah lihat. Program kita banyak yang sukses. Tidak di kota tapi daerah terpencil."
Saya manggut-manggut. Kenapa sampai yang jauh-jauh program dilancarkan sedangkan di pelupuk mata tidak diapa-apakan. Kenapa warga miskin sampai diusir hanya karena tidak ada legitimasi. Bukankah legitimasi dihadirkan untuk kesejahteraan rakyat. Bukan untuk menyengsarakan rakyat?
Kenapa penegakan hukum dan pengentasan kemiskinan tidak pernah mencapai titik kesuksesan.
"Itu lain masalah. Setiap daerah punya program tersendiri. Sedangkan kita tak punya wilayah.
Wilayah kita justru tataran koordinasi dan konsolidasi."
Tak puas mendengar apologi saya minta pendapat kepada seorang akademisi. "Berpikir tanpa zikir berbahaya. Berzikir tanpa pikir juga berbahaya. Oleh karenanya, keduanya harus sejalan."
Mendengar itu saya mendapat kearifan. Tentang pikir, logika yang dikembangkan beberapa abad sebelum masehi. Pada
kenyataannya membutuhkan etika. Logika dan etika juga harus sejalan.
"Betapa kacaunya kita kalau keduanya tidak ada. Sangatlah penting keseimbangan dua hal tadi dalam diri manusia. Jika tidak, akibatnya akan fatal kemudian hari."
Akademisi itu mengutip Teknologi dan Hari Depan Manusia dari MT Zen (Obor Indonesia 1981), ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyodorkan surga dunia. Sedangkan agama memberikan surga akhirat. Persoalan ini masih berjalan pada tataran ideologis. Pengaruh seperi inilah sekarang tari menarik pada pikiran manusia.
Saya puas dengan jawaban tersebut. Tapi tak lama karena di sebuah lapau saya dapatkan
ungkapan yang menyakitkan.
"Sayangnya sekarang sering terlihat, berzikir karena uang, berpikir karena uang." Orang itu berlalu meninggalkan
rasa geram pada saya. Saya pikir benar juga. Nauzubillahiminzalik. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id

Tuesday, October 17, 2006

SENTOSA ISLAND SINGAPORE






Perjalanan selalu menyisakan kenangan. Sentosa Island sebuah tempat menyenangkan. Kemasan yang mengesankan. Padahal, alam seperti tidaklah berbeda dengan negeri gemah ripah loh jinawi, Indonesia tercinta. Foto diabadikan oleh Cris Independen, wartawan Independen Jambi, April 2005, perjalanan itu masih membekas….  

SASTRA-CERPEN

BONEKA PINGUIN

Cerpen Abdullah Khusairi


BEBERAPA minggu belakangan banyak sekali boneka pinguin dijual di jalanan. Bentuknya indah dan lucu. Besar dan berwarna-warni. Sepuluh, lima belas, dua puluh, berjejer rapi seperti beranak pinak menunggu pembeli. Kalau angin bertiup karena kenderaan yang lewat, mereka tampak kompak seperti dikomando rebah ke kiri, ke kanan, ke depan ke belakang. Aduhai indahnya.


Setiap melihat boneka pinguin itu entah kenapa aku jadi ingat anakku, Eni, yang berumur tiga tahun setengah. Dalam pikiranku, pasti ia bahagia kalau aku belikan dia satu buah boneka pinguin itu. Kalau aku beli, pinguin sebesar badan Eni itu, pastilah ia tak mampu mengendongnya seperti boneka-boneka yang pernah aku beli, paling-paling ia mampu menyeretnya kalau ingin memindahkan boneka itu.


“Lima belas ribu bang,” jawab penjual boneka ketika kutanya kemarin, aku benar-benar tak tahan untuk membelinya untuk anakku. “Tak kurang?” tanyaku lagi.


“Tidak, harga pas,” jawabnya sembari memompa pinguin baru.

RASA AMAN

Sesuatu terasa sangat berharga jika ia sudah tak ada lagi. Jika ia ada, sepertinya tak berharga atau kita sendiri kurang menghargainya. Begitulah sifat manusia, kurang menghargai setiap nikmat yang sudah didapat.


Sekedar misal, kesehatan jasmani dan rohani yang disepelekan. Tidak olahraga (untuk jasmani) dan tidak pula berdoa dan ibadah (untuk rohani). Padahal, keduanya adalah kebutuhan jasmani dan rohani.

Hal itu pula yang terjadi dalam keseharian kita akhir-akhir ini. Rasa aman yang kita miliki selama ini seperti tak begitu berharga. Kita tak perlu mengingat-ingat Pemilik rasa aman, seperti kita melupakan pentingnya kesehatan. Padahal, kita meminjam rasa aman itu dari pemiliknya. Kita pinjam semua nikmatnya. Rasa aman, rasa bahagia dan sekaligus rasa takut. Itulah fitrahnya manusia.

Akibat tidak terlalu mementingkan dan tidak merasa pentingnya rasa aman yang telah terpinjamkan, maka kita poya-poya 'kan rasa aman itu. Kita cari rasa takut, seperti berminatnya kita dengan film-film horor. Kita seakan-akan dibawa untuk takut. Secara sadar, kita membutuhkan rasa takut itu.

Seterusnya kita tak beribadah untuk mensyukuri nikmat rasa aman itu. Karena memang kita tak merasakan harga sebuah rasa aman. Atau juga---bagi yang belum merasakan sakit---menyepelekan sehatnya diri kita selama ini.

Di atas kelengahan dan kealfaan itulah, datang cobaan dari Allah SWT. Rasa aman yang ia miliki ditarik ke pelukan-Nya. Maka muncullah rasa takut kita yang amat dalam. Sebenar-benar rasa takut. Tidak ada seperti rasa takut menonton film horor. Itulah peristiwa gempa dan isu tsunami yang membawa kita kepada rasa yang tidak aman sama sekali ketika kita menginjak bumi ini.

Sungguh, semua yang kita nikmati ini adalah Kemurahan (rahmat) dari Allah SWT. Tetapi, karena terlalu dekat dan banyaknya nikmat itu, kita sepertinya melupakan siapa sebenarnya yang telah memberikannya. Kita pun melupakan perjanjian ketika dihembuskannya roh kita di dalam rahim dulu, bahwa kita mengakui kekuasaan Allah SWT.

Ya, bahasa agama disebut Iman dan Taqwa. Kita tidak melaksanakan apa yang telah diwajibkan. Malahan kita meremehkannya. Kita lalu sadar, rasa takut dan cemas yang selama ini terkubur dalam ketamakan, hura-hura dan dosa, bangkit mengisi setiap sel benak kita semua. Rasa aman pun pergi dari diri kita menuju pemiliknya, Allah SWT. Inilah yang terjadi. ***
abdullah.khusairi@gmail.com

PLAY STATION

"Hiyat... Hiyat..."
"Ayo..., lawan, awas...., Ciat..."
"Your Lose..." Suara dari mesin canggih terdengar menggema di dalam ruang kecil itu, permainan Adek dan Opich berakhir. Adek kelihatan kusut, manyun, sementara Opich senyum puas, lawannya dapat dikalahkan.
"Masih sanggup?" Tawar Opich. Ada kebanggaan dan tantangan dari nada suaranya.
"Masih...!" Jawab Adek mantap. Penasaran!
Mereka kembali bertarung lewat mesin yang diberi nama Play Station itu. Di monitor kelihatan orang jagoan sedang bertarung, masing-masing dikendalikan oleh Opich dan Adek. Mereka berdua baru kenalan satu jam yang lalu, saat akan main. Saking asyiknya mereka tidak mempedulikan situasi di sekeliling, mata mereka melotot ke layar monitor, sedikit saja lengah akan berakibat fatal. Kalau. Dan bayar biaya rental!
Dua puluh menit berlalu, Adek kembali kalah, kali ini lebih parah lagi. Tak satu point pun dapat diraihnya. Adek panik. Panas!
"Oke.. Aku angkat topi, kali ini...," Ungkap adek kecewa berat, setelah mendengar peringatan Game Over dari sound speaker. Tapi dari nadanya masih ada dendam. Ia mundur.
Kali ini ia diganti oleh Ana. Cewek putih berkacamata minus, mata sipit, manis dengan rambut sebahu. Opich grogi. Apalagi saat Ana mengulurkan tangan mengajak kenalan, sebelum menyentuh stick.
“Ana..”
“Opich...” Jawab Opic, dingin.
“Mari kita mulai...,” Tantang Ana.
“Oke..!” Opich mantap.
Opich mempersilahkan Ana memilih menu lebih dahulu. Setelah Ana mengangguk tanda selesai, Opich baru memilih menu. Kali ini jagoannya dipilihnya Hercules !
Pertarungan dimulai, keduanya tenggelam di dunia itu. Yang terdengar hiruk pikuk mesin. Mulai dari balapan sampai pertarungan. Dari permainan Opich dan Ana terdengar suara gebukan, tendangan, sesekali pekikan. Auh! Tanda ada yang kena sasaran. Mereka begitu asyik! masuk dalam dunia fantasi itu. Sementara asap rokok menebar di seluruh ruangan disapu oleh kipas angin. Pengap! Semua itu demi mencari gelar, "Gammer Mania Sejati"
Seperempat jam berlalu, Ana langsung kalah. Ana ngotot sendiri, mengutuk diri, lalu meneruskan ronde demi ronde. Pada ronde terakhir kedua pemain itu tegang. Penentuan gengsi. Siapa yang terbaik di gelanggang ini.
Dan...Ternyata Ana kalah! Opich cukup puas dengan permainannya sendiri. Adek sudah dikalahkan. Ana tumbang.
Ia mundur. Menarik diri. Puas! dipersilahkannya kepada yang sudah lama antri ingin memegang stick. Selanjutnya, ia raih teh botol dari kulkas dekat pintu ruang rental Play Station itu.....
***
Pukul dua siang. Adek berjalan lesu pulang ke rumah. Masih pakaian sekolah. Sampai di rumah, seperti biasa di rumah sepi. Ayah dan Ibunya pulang sore dari tempat pekerjaan. Adek masuk kamar dan ganti seragam abu-abu ke pakaian santai. Selesai ganti pakaian ia menyelinap masuk kamar ibunya, hati-hati sekali. Rupanya ia mulai operasi, memeriksa kantong baju, celana ayahnya yang sedang tergantung. Mencari sesuatu. Pindah ke lemari pakaian, menyibak pakaian yang telah rapi dilipat. Membuka laci. Dan ia menemukan buku belanja ibunya. Dari tengah buku itu, ia mencabut uang pecahan dua puluhan ribu. Cepat-cepat ia susun kembali apa yang sudah dibukanya tadi seperti semula. Menutup jejak. Ada rasa bersalah di bathinnya, namun cepat-cepat ia buang perasaan itu.
Ia tetap tak bisa, akhirnya ia ingat masa kecil sampai ia kelas dua es em u ini. Ia tidak pernah melakukan hal seperti ini. Ayah ibunya sudah begitu percaya dengannya, adik-adiknya, mereka sudah tahu perangai semua anak-anaknya. Tidak ada yang maling...Tak ada yang membelanjakan uang SPP. Semuanya rajin sekolah dan berprestasi. Tapi.., perasaan itu kalah seketika kala ia ingat, ingin menjadi Gamer Mania dan kata-kata tantangan Opich, lawannya.
Tanpa mampir ke meja makan, ia keluar kamar langsung menuju paviliun mengambil sandal dan siap terbang....
"Hait... mau kemana...?!" Sari adik Adek yang masih di es em pe itu mengejutkan datang dari dapur. Adek salah tingkah. Sedangkan Sari ngakak...Tanpa ada rasa curiga sedikitpun.
"Tadi ada telepon dari Desi.."Kata Sari.
"Apa pesannya.."
"Er, i, en, de, u, Rinnnnndu..!"
"Yang benar aja, pesan orang jangan dibuat-buat, dosa! Tau?!" Protes Adek.
"Benar.. Nggak percaya ya udah.." Sari meyakinkan.
"Bilang aja aku sedang sibuk."
"Uh.. Sibuk melulu, emang kegiatan apa sih, nggak kelihatan hasilnya ?!" Oceh Sari sambil berlalu ke kamar.
"Mo' tau aja..!" Pekik Adek sambil keluar.
Tak sampai sepuluh menit Adek berjalan, Cowok itu sudah duduk di depat layar monitor play station kesayangannya. Ia tenggelam dalam dunia virtual itu.
***
Hari ini, Adek cabut dari sekolah. Kini lebih parah, sudah sering cabut demi mencari nama di Play Station itu, teman-teman di sekolah pada kehilangan Adek, hampir saja setiap kegiatan gagal, sebab biasanya Adek terlibat selalu. Cs-nya bertanya-tanya, mencari jejak sang macho, jago basket andalan sekolah. Tapi percuma... Gagal !
Di Rental Play Station, sudah menunggu Opich dan Ana. Ketika Adek datang, jiwa tanding ketiga "Hantu Play Station" itu bangkit. Mereka memang sudah janjian untuk bertarung hari ini. Menentukan siapa yang paling unggul pada permainan ini. Sementara, suasana di Play Station masih sepi. Sebab pengunjung yang biasanya anak sekolah, kini sedang di sekolah.
"Bagaimana memulainya..?"Ana membuka percakapan sambil menghirup teh botol.
"Cabut aja undian..,"usul Adek.
"Oke..," jawab Opich, mantap.
Setelah undian dilakukan Adek dan Ana berhadapan lebih dahulu. Tanpa banyak basa-basi mereka mulai... Pada posisi ready, mereka sudah menerjang, memukul, salto, menangkis, maju, mundur. Sangat lincah. Tak sedetik pun mata mereka lepas dari layar monitor demi mengontrol permainan. Hingga sampai pada Ronde terakhir.
Ana kalah! Waktu belum setengah jam terpakai. Sesuai perjanjian permainan dilanjutkan batas waktu satu jam, agar pembayaran rental murah dihitung. Sementara, Opich telah tenggelam dengan balapan di layar monitor sebelah. Kadang-kadang tanpa disadari ia menikung dengan diikuti oleh badannya. Perasaan dan imajinasinya benar-benar terbang...
Ana dan Adek masih terlibat pertarungan seru, mereka kelihatannya tegang sekali. Menit-menit terakhir makin mendekat. Sementara Adek unggul dua point dari Ana.
Dan.... "you lose" Suara itu mengakhiri permainan. Layar monitor kelam sejenak. Lalu terang kembali. Kelihatan jagoan yang dipakai oleh Adek berjalan menuju podium diiringi lagu kemenangan, lalu menerima piala. Ana manyun lalu mundur. Kesal sekali. Kekalahan tipis memang menyakitkan....baru saja Opich duduk menggantikan posisi Ana disebelah Adek, di depan pintu rental Play Station itu berdiri ibu Adek dan Desi, pacarnya. Perempuan berdua itu geram, melihat ke arah Adek, tapi diam. Opich mengetahui hal itu, tapi ia tak tahu bahwa itu adalah ibu dan pacar lawannya, Adek.
"Ayo... Silahkan pilih duluan.."Tawar Adek.Sambil membakar rokok mild yang berada di bibirnya. Saat mau membuang puntung korek api tak sengaja Adek menoleh ke arah pintu dimana ibu dan Desinya berdiri.
Dan... Adek terperangah "Hah", setengah tak percaya melihat kehadiran dua perempuan yang dicintainya dan diseganinya itu. Wajahnya pucat pasi seketika itu juga....****
Buat Sriherfiani 'n Andalas 70 G Poeples;
trims supportnya!
Andalas 70 G Padang, Mei 2000

Monday, October 16, 2006

Politik Bahasa Politik

Bagaimana mengemas kampanye yang bisa menghibur. Pendekatan yang tidak menggurui. Sehingga sasaran agar menjadi pilihan rakyat, memenangkan hati rakyat, sampai dan berhasil?  

Mengamati baliho, spanduk, poster, calon-calon yang ada di sepanjang jalan, beragam pesan, model dan warna yang ditampilkan. Tetapi sayangnya, tidak begitu banyak yang memiliki daya tarik. Eye Caching belum terasa. Pengamatan ini setidaknya didasari dari design, performance dan kata-kata yang digunakan.