#catatankeadilan
Matinya Nurani
Masihkah kita punya harapan terhadap setiap proses hukum di negeri ini? Ini pertanyaan yang selalu datang ketika melihat persoalan hukum yang selalu dimenangkan oleh kekuatan di luar rasa keadilan. Atau semacam "rekayasa keadilan" yang justru sebenarnya telah membunuh nurani keadilan.
Sebenarnya
pertanyaan serupa ini hanya masih berlaku di kelas-kelas pendidikan hukum.
Ketika sudah menjadi praktisi hukum, keadaan sudah berbeda. Pengalaman
menunjukkan, proses panjang mencari keadilan bagi anak negeri ini akan berliku,
butuh nafas panjang. Tidak hanya itu, berapa uang di kantong untuk memenangkan
keadaan? Begitu banyak hal yang menopang sehingga bisa mendapatkan keadilan
yang dicita-citakan. Jangan heran jika ada yang memilih untuk melalui jalan
pintas, walau tidak pantas secara etik dan integritas.
Sejujurnya,
ketika idealisme dan integritas terhadap profesi sering tersingkirkan, kode
etik sudah disimpan di laci, seseorang akan mendapat akibat yang buruk. Apapun
profesi itu. Karenanya, bagi seorang profesional dalam bidang apapun,
integritas dan idealisme adalah hal yang melekat dalam dirinya. Menjadi
kekuatan, keyakinan dan kecintaan yang membuatnya tak mudah roboh oleh badai
godaan nafsu materialistik.
Beberapa
kasus yang penulis tangani menemukan jalan buntu karena harus berurusan dengan
subjektivitas aparatur hukum. Lagi-lagi bersandar di balik argumen peraturan,
sebenarnya memiliki itikad untuk mendapatkan perlakuan istimewa dari
korban-korban pencari keadilan. Sehingga, sudah kian kemari diperjuangkan,
lagi-lagi tersendat karena kepentingan-kepentingan orang kuat yang dibayar
untuk melindungi kasus.
Pada
kasus lain misalnya, seseorang ditembak aparat yang sudah mendapat kepastian
hukum juga tidak mendapat perlakuan sesuai dengan perintah keputusan hukum yang
sudah ditetapkan. Senyatanya, hukum di negeri ini benar-benar tumpul kepada
pemilik modal dan tajam kepada kaum papa.
Mahalnya
Keadilan
Seperti
pernah di Indonesia Lawyer Club (ILC) di tvOne,
proses suksesi di negeri ini masuk ke industri demokrasi yang kian menjauhkan
substansi dari demokrasi. Demokrasi prosedural yang mahal telah dinikmati
politisi semenara demokrasi substansial entah kemana. Begitu pula hukum, begitu
menjauh dari rasa keadilan yang didapatkan dari korban-korban yang melapor dan
diproses di lembaga-lembaga hukum.
Sungguh.
Begitu mahal sebuah keadilan yang harus diperjuangkan di negeri ini. Negeri
yang menyatakan, hukum adalah panglima, semua orang diberlakukan sama di depan
hukum tetap realitasnya jauh panggang dari api. Mereka yang punya uang akan
cepat diproses, mereka yang menjadi korban tetapi tidak punya uang untuk
memercepat proses silahkan minggir.
Tentu
saja ini tidak berlaku umum, namun tidak banyak yang mau jujur untuk
menyatakan, betapa keadilan begitu mahal harus diperjuangkan. Kaum papa hanya
bisa bergantung kepada lembaga bantuan hukum, itupun belum tentu bisa mendapat
keadilan. Karena keadilan, sekali lagi, lagi-lagi, menjadi barang mahal bagi
kaum papa.
Katanya
Supremasi
Supremasi
hukum manakah yang sudah dilakukan? Apakah sudah bisa menggantungkan harapan
terhadap proses hukum yang mampu mencapai keadilan bagi mereka yang mencari
keadilan itu? Pertanyaan ini seperti sangat pesimis namun bila mengacu kepada
pengalaman-pengalaman banyak advokat, memerjuangkan keadilan hanya dengan
landasan kajian hukum semata sering kali keadilan itu sulit digapai.
Supremasi
hukum baru berjalan pada tingkat produksi aturan-aturan sedangkan dalam
proses-proses hukum, senyatanya belum banyak mengalami perubahan. Pada banyak
ruang diskusi, bukan supremasi hukum yang diperlukan tetapi revolusi terhadap
aparatur hukum dari hulu ke hilir. Tetapi bagaimana memulainya?
Spiritualitas
dan Nurani
Sejauh
ini, dalam memelajari hukum di kelas-kelas kuliah hukum dan buku-buku, juga
kitab-kitab tentang hukum positif yang didapat, filsafat hukum tentang
kebenaran dan keadilan begitu indah terasa. Tetapi pada prakteknya, hal ideal
selalu jauh berbuah.
Namun
demikian, kita harus selalu punya harapan. Harapan untuk berubah menjadi lebih
baik di negeri tercinta ini. Salah satu tawaran yang mungkin masih bisa
menjawab kegalauan perjalanan proses pencari keadilan di negeri ini, dengan
pendekatan spiritualitas dan nurani terhadap tugas-tugas mulia yang sudah
ditetapkan terhadap dirinya. Siapa aparat hukumnya, polisi, advokat, hakim,
jaksa, jika saja melekatkan setiap apa yang dikerjakan dengan landasan iman,
spirit ketuhanan dan nurani, tentunya tidak akan tergoda untuk melakukan
pelanggaran atau mencari dalil pembenaran demi mendapatkan sesuatu yang
menguntungkan. Bukankah nurani tidak bisa didustai? Sejauh ini, menurut
pengamatan, sepanjang hanya berlandaskan dalil-dalil hukum positif tanpa
menyandarkannya kepada spiritualitas dan nurani, sering kali tergelincir dengan
mencari-cari pembenaran.
Pengalaman
di lapangan, begitu banyak yang masih punya integritas tetapi tidaklah sedikit
yang mau tergiring mengakali aturan demi mendapatkan keuntungan. Pada titik
inilah nurani keadilan itu dibunuh tanpa ampun. Semoga selalu ada jalan lain yang memberi harapan dan kehidupan bagi keadilan. Salam.[] AK
No comments:
Post a Comment