Thursday, March 1, 2018

CATATAN KEADILAN


#catatankeadilan

Matinya Nurani 

Masihkah kita punya harapan terhadap setiap proses hukum di negeri ini? Ini pertanyaan yang selalu datang ketika melihat persoalan hukum yang selalu dimenangkan oleh kekuatan di luar rasa keadilan. Atau semacam "rekayasa keadilan" yang justru sebenarnya telah membunuh nurani keadilan.


Sebenarnya pertanyaan serupa ini hanya masih berlaku di kelas-kelas pendidikan hukum. Ketika sudah menjadi praktisi hukum, keadaan sudah berbeda. Pengalaman menunjukkan, proses panjang mencari keadilan bagi anak negeri ini akan berliku, butuh nafas panjang. Tidak hanya itu, berapa uang di kantong untuk memenangkan keadaan? Begitu banyak hal yang menopang sehingga bisa mendapatkan keadilan yang dicita-citakan. Jangan heran jika ada yang memilih untuk melalui jalan pintas, walau tidak pantas secara etik dan integritas.


Sejujurnya, ketika idealisme dan integritas terhadap profesi sering tersingkirkan, kode etik sudah disimpan di laci, seseorang akan mendapat akibat yang buruk. Apapun profesi itu. Karenanya, bagi seorang profesional dalam bidang apapun, integritas dan idealisme adalah hal yang melekat dalam dirinya. Menjadi kekuatan, keyakinan dan kecintaan yang membuatnya tak mudah roboh oleh badai godaan nafsu materialistik.

Beberapa kasus yang penulis tangani menemukan jalan buntu karena harus berurusan dengan subjektivitas aparatur hukum. Lagi-lagi bersandar di balik argumen peraturan, sebenarnya memiliki itikad untuk mendapatkan perlakuan istimewa dari korban-korban pencari keadilan. Sehingga, sudah kian kemari diperjuangkan, lagi-lagi tersendat karena kepentingan-kepentingan orang kuat yang dibayar untuk melindungi kasus.

Pada kasus lain misalnya, seseorang ditembak aparat yang sudah mendapat kepastian hukum juga tidak mendapat perlakuan sesuai dengan perintah keputusan hukum yang sudah ditetapkan. Senyatanya, hukum di negeri ini benar-benar tumpul kepada pemilik modal dan tajam kepada kaum papa.
Mahalnya Keadilan
Seperti pernah di Indonesia Lawyer Club (ILC) di tvOne, proses suksesi di negeri ini masuk ke industri demokrasi yang kian menjauhkan substansi dari demokrasi. Demokrasi prosedural yang mahal telah dinikmati politisi semenara demokrasi substansial entah kemana. Begitu pula hukum, begitu menjauh dari rasa keadilan yang didapatkan dari korban-korban yang melapor dan diproses di lembaga-lembaga hukum.

Sungguh. Begitu mahal sebuah keadilan yang harus diperjuangkan di negeri ini. Negeri yang menyatakan, hukum adalah panglima, semua orang diberlakukan sama di depan hukum tetap realitasnya jauh panggang dari api. Mereka yang punya uang akan cepat diproses, mereka yang menjadi korban tetapi tidak punya uang untuk memercepat proses silahkan minggir.

Tentu saja ini tidak berlaku umum, namun tidak banyak yang mau jujur untuk menyatakan, betapa keadilan begitu mahal harus diperjuangkan. Kaum papa hanya bisa bergantung kepada lembaga bantuan hukum, itupun belum tentu bisa mendapat keadilan. Karena keadilan, sekali lagi, lagi-lagi, menjadi barang mahal bagi kaum papa.

Katanya Supremasi
Supremasi hukum manakah yang sudah dilakukan? Apakah sudah bisa menggantungkan harapan terhadap proses hukum yang mampu mencapai keadilan bagi mereka yang mencari keadilan itu? Pertanyaan ini seperti sangat pesimis namun bila mengacu kepada pengalaman-pengalaman banyak advokat, memerjuangkan keadilan hanya dengan landasan kajian hukum semata sering kali keadilan itu sulit digapai.

Supremasi hukum baru berjalan pada tingkat produksi aturan-aturan sedangkan dalam proses-proses hukum, senyatanya belum banyak mengalami perubahan. Pada banyak ruang diskusi, bukan supremasi hukum yang diperlukan tetapi revolusi terhadap aparatur hukum dari hulu ke hilir. Tetapi bagaimana memulainya?

Spiritualitas dan Nurani
Sejauh ini, dalam memelajari hukum di kelas-kelas kuliah hukum dan buku-buku, juga kitab-kitab tentang hukum positif yang didapat, filsafat hukum tentang kebenaran dan keadilan begitu indah terasa. Tetapi pada prakteknya, hal ideal selalu jauh berbuah.

Namun demikian, kita harus selalu punya harapan. Harapan untuk berubah menjadi lebih baik di negeri tercinta ini. Salah satu tawaran yang mungkin masih bisa menjawab kegalauan perjalanan proses pencari keadilan di negeri ini, dengan pendekatan spiritualitas dan nurani terhadap tugas-tugas mulia yang sudah ditetapkan terhadap dirinya. Siapa aparat hukumnya, polisi, advokat, hakim, jaksa, jika saja melekatkan setiap apa yang dikerjakan dengan landasan iman, spirit ketuhanan dan nurani, tentunya tidak akan tergoda untuk melakukan pelanggaran atau mencari dalil pembenaran demi mendapatkan sesuatu yang menguntungkan. Bukankah nurani tidak bisa didustai? Sejauh ini, menurut pengamatan, sepanjang hanya berlandaskan dalil-dalil hukum positif tanpa menyandarkannya kepada spiritualitas dan nurani, sering kali tergelincir dengan mencari-cari pembenaran.

Pengalaman di lapangan, begitu banyak yang masih punya integritas tetapi tidaklah sedikit yang mau tergiring mengakali aturan demi mendapatkan keuntungan. Pada titik inilah nurani keadilan itu dibunuh tanpa ampun. Semoga selalu ada jalan lain yang memberi harapan dan kehidupan bagi keadilan. Salam.[] AK 

No comments:

Post a Comment