Agama
Politik, Politik Agama
ABDULLAH
KHUSAIRI
Kontestasi
agama di ruang publik (public sphere)
kerap menampakkan wajah yang seram dari pada wajah damai. Khususnya di media
sosial, wajah seram itu menjadi senjata untuk menyerang kelompok lain secara
kasar. Tujuan beragama tampaknya sudah sia-sia.
Tentu
tidak semua orang beragama yang berbuat demikian. Hanya sebagian kecil saja
yang serupa itu, tetapi mereka sangat aktif menyudutkan yang lain. Mereka yang
sebagian kecil ini, sebenarnya bukanlah orang yang khatam terhadap ajaran
agama, tetapi yang juga masih belajar atau sudah merasa pintar.
Sayangnya,
mereka ini sedang berada dalam euforia
beragama dan tunduk pada suatu kepentingan yang sedang diperjuangkan. Sebuah
perasaan beriman yang tinggi (extace)
ketika sudah bicara agama dan melemparkannya ke ruang publik. Mereka sedang
menjalankan peran, agama politik dan politik agama.
Agama Politik
Ini
bukanlah istilah yang tepat tetapi bisa dipakai, ketika seseorang sudah
menganggap politik adalah jalan menuju kedamaian, keadilan dan kesejahteraan.
Politik bukan lagi seni dalam memerjuangkan sebagaimana didapatkan dalam
pengertian politik di dalam buku-buku ajar ruang kuliah. Tetapi politik, sudah
menjadi “agama” untuk diimankan dan dijalankan. Padahal, agama pada dasarnya
bukanlah seni tetapi sebuah ajaran yang berisi nilai-nilai kemanusiaan. Menurut
bahasa sanskerta, agama berarti "tidak kacau" namun di tangan manusia
politik, agama menjadi alat untuk mendapatkan kekuasaan. Politik praktis sudah
membuktikan itu.
Salah
satu faktor lahirnya radikalisme dan intoleran ke permukaan, ke ranah publik
adalah akibat dari kerja politik praktis yang mengusung agama ke ruang politik
praktis. Radikalisme dan intoleransi muncul seiring dengan menguatnya politik
identitas dalam kontestasi politik nasional, yang sebelumnya dianggap wajar
diusung setiap masa suksesi tiba. Apalagi oleh partai-partai yang berbasis
massa mayoritas selalu mengemukakan sentimen agama sebagai materi propaganda
politik. Walau pada kenyataannya, partai-partai berbasis agama tidak pernah
bisa mendominasi hingga menjadi pemenang
namun faktor agama tetap dipakai untuk mencapai tujuan pemenangan.
Misalnya, pemeluk agama Islam masih mayoritas di Indonesia; 88,7 persen atau
207.176 162 jiwa dari penduduk Indonesia 237.641 326 juta jiwa. Data ini menjadi alasan sebagai blok besar
kekuatan pemilih (voter) yang menentukan untuk memenangkan pertarungan politik.
Karenanya, isu agama Islam sangat wajar muncul ke permukaan oleh kelompok
kepentingan (Azyumardi Azra, 2014).
Politik Agama
Kenyataan
terhadap penting kerja memenangkan hati voter,
menghadapi setiap musim suksesi ini, politisasi agama sangat penting bagi para
pemikir politik di partai-partai. Kontestasi model Pilpres 2014 dan Pilgub DKI
2017 akan terjadi lagi pada Pilkada serentak 2018 di daerah-daerah, Pemilihan
legislatif dan Pilpres 2019. Pada konteks ini, politik agama dimainkan
sedemikian mutakhir. Sebagai bagian dari perjuangan nilai-nilai tetapi yang
diuntungkan elite-elite politik, bukan tokoh-tokoh agama. Atau para tokoh agama
yang sudah menceburkan diri ke arena politik praktis.
Ranah
publik yang dimaksudkan Thomas Janoski (1998), tempat pertarungan ide-ide itu
menjadi Astinapura yang akan penuh dengan aroma perang. Atas nama agama
mengemuka padahal sejatinya atas nama politik. Wajah bengis politik tak boleh
tampak, tetapi atas nama agama boleh dilakukan. Pada kontek ini, sering terjadi
gerakan nihilisme terhadap kehadiran negara. Inilah pekerjaan pemenangan yang
tak lagi tabu bagi mereka yang sedang bertarung. Dimana agama hanyalah bagian
dari isu seperti ekonomi, hankam, pendidikan dan budaya. Bukanlagi sebagai
nilai-nilai ajaran yang harusnya masuk dalam laku keseharian.
Kesadaran Elit
Akankah
fenomena beragama yang buruk ini akan terus berlangsung di ruang publik? Tentu
saja akan terus, jika tidak ada kesadaran elit-elit politik yang memegang kuasa
politik pengikutnya. Kepada para elit inilah, harapan disematkan, agar
menjalankan politik kepentingan yang berlandaskan nilai-nilai suci agama. Kepada
elit-elit ini juga, ditumpangkan pendidikan politik kepada pengikut agar
menjauhkan kerja politik yang kotor dan busuk. Jika masih melancarkan kerja
politik yang kotor itu, hanya akan menghasilkan sesuatu yang mubazir dan
merugikan negeri ini. Buruk untuk negeri, buruk untuk partainya, buruk untuk
dirinya.
Elit
pemangku jalan politik negeri ini bisa dihitung dengan jari. Poros dan
patronasenya juga jelas. Merekalah yang punya “klik” untuk merobah wajah
politik negeri ini dari kegaduhan berkepanjangan dan membiarkan radikalisme dan
intoleran sebagai mainan politik.
Kepada
rakyat, mesti disematkan harapan, jangan cepat percaya segala hal yang tersurat
dalam arena politik praktis. Semuanya citra-citra yang dibentuk oleh
tangan-tangan terampil untuk mendapatkan simpati. Jangan mau menjadi seperti
ilalang yang diterpa badai. Apapun agama, sesungguhnya membawa pesan damai.
Hanya di tangan-tangan kepentingan politiklah, agama bisa bisa disulap menjadi
mainan. Tentu saja, negeri ini tak mungkin masuk ke perangkap tipu daya politik
serupa itu sepanjang tahun hingga berganti tahun. []
No comments:
Post a Comment