Sunday, March 4, 2018

Agama Politik - Politik Agama



Agama Politik, Politik Agama

ABDULLAH KHUSAIRI

Kontestasi agama di ruang publik (public sphere) kerap menampakkan wajah yang seram dari pada wajah damai. Khususnya di media sosial, wajah seram itu menjadi senjata untuk menyerang kelompok lain secara kasar. Tujuan beragama tampaknya sudah sia-sia.

Tentu tidak semua orang beragama yang berbuat demikian. Hanya sebagian kecil saja yang serupa itu, tetapi mereka sangat aktif menyudutkan yang lain. Mereka yang sebagian kecil ini, sebenarnya bukanlah orang yang khatam terhadap ajaran agama, tetapi yang juga masih belajar atau sudah merasa pintar.

Sayangnya, mereka ini sedang berada dalam euforia beragama dan tunduk pada suatu kepentingan yang sedang diperjuangkan. Sebuah perasaan beriman yang tinggi (extace) ketika sudah bicara agama dan melemparkannya ke ruang publik. Mereka sedang menjalankan peran, agama politik dan politik agama.


Agama Politik
Ini bukanlah istilah yang tepat tetapi bisa dipakai, ketika seseorang sudah menganggap politik adalah jalan menuju kedamaian, keadilan dan kesejahteraan. Politik bukan lagi seni dalam memerjuangkan sebagaimana didapatkan dalam pengertian politik di dalam buku-buku ajar ruang kuliah. Tetapi politik, sudah menjadi “agama” untuk diimankan dan dijalankan. Padahal, agama pada dasarnya bukanlah seni tetapi sebuah ajaran yang berisi nilai-nilai kemanusiaan. Menurut bahasa sanskerta, agama berarti "tidak kacau" namun di tangan manusia politik, agama menjadi alat untuk mendapatkan kekuasaan. Politik praktis sudah membuktikan itu.

Salah satu faktor lahirnya radikalisme dan intoleran ke permukaan, ke ranah publik adalah akibat dari kerja politik praktis yang mengusung agama ke ruang politik praktis. Radikalisme dan intoleransi muncul seiring dengan menguatnya politik identitas dalam kontestasi politik nasional, yang sebelumnya dianggap wajar diusung setiap masa suksesi tiba. Apalagi oleh partai-partai yang berbasis massa mayoritas selalu mengemukakan sentimen agama sebagai materi propaganda politik. Walau pada kenyataannya, partai-partai berbasis agama tidak pernah bisa mendominasi hingga menjadi pemenang  namun faktor agama tetap dipakai untuk mencapai tujuan pemenangan. Misalnya, pemeluk agama Islam masih mayoritas di Indonesia; 88,7 persen atau 207.176 162 jiwa dari penduduk Indonesia 237.641 326 juta jiwa.  Data ini menjadi alasan sebagai blok besar kekuatan pemilih (voter) yang menentukan untuk memenangkan pertarungan politik. Karenanya, isu agama Islam sangat wajar muncul ke permukaan oleh kelompok kepentingan (Azyumardi Azra, 2014).   
Politik Agama
Kenyataan terhadap penting kerja memenangkan hati voter, menghadapi setiap musim suksesi ini, politisasi agama sangat penting bagi para pemikir politik di partai-partai. Kontestasi model Pilpres 2014 dan Pilgub DKI 2017 akan terjadi lagi pada Pilkada serentak 2018 di daerah-daerah, Pemilihan legislatif dan Pilpres 2019. Pada konteks ini, politik agama dimainkan sedemikian mutakhir. Sebagai bagian dari perjuangan nilai-nilai tetapi yang diuntungkan elite-elite politik, bukan tokoh-tokoh agama. Atau para tokoh agama yang sudah menceburkan diri ke arena politik praktis.

Ranah publik yang dimaksudkan Thomas Janoski (1998), tempat pertarungan ide-ide itu menjadi Astinapura yang akan penuh dengan aroma perang. Atas nama agama mengemuka padahal sejatinya atas nama politik. Wajah bengis politik tak boleh tampak, tetapi atas nama agama boleh dilakukan. Pada kontek ini, sering terjadi gerakan nihilisme terhadap kehadiran negara. Inilah pekerjaan pemenangan yang tak lagi tabu bagi mereka yang sedang bertarung. Dimana agama hanyalah bagian dari isu seperti ekonomi, hankam, pendidikan dan budaya. Bukanlagi sebagai nilai-nilai ajaran yang harusnya masuk dalam laku keseharian.

Kesadaran Elit
Akankah fenomena beragama yang buruk ini akan terus berlangsung di ruang publik? Tentu saja akan terus, jika tidak ada kesadaran elit-elit politik yang memegang kuasa politik pengikutnya. Kepada para elit inilah, harapan disematkan, agar menjalankan politik kepentingan yang berlandaskan nilai-nilai suci agama. Kepada elit-elit ini juga, ditumpangkan pendidikan politik kepada pengikut agar menjauhkan kerja politik yang kotor dan busuk. Jika masih melancarkan kerja politik yang kotor itu, hanya akan menghasilkan sesuatu yang mubazir dan merugikan negeri ini. Buruk untuk negeri, buruk untuk partainya, buruk untuk dirinya.

Elit pemangku jalan politik negeri ini bisa dihitung dengan jari. Poros dan patronasenya juga jelas. Merekalah yang punya “klik” untuk merobah wajah politik negeri ini dari kegaduhan berkepanjangan dan membiarkan radikalisme dan intoleran sebagai mainan politik.

Kepada rakyat, mesti disematkan harapan, jangan cepat percaya segala hal yang tersurat dalam arena politik praktis. Semuanya citra-citra yang dibentuk oleh tangan-tangan terampil untuk mendapatkan simpati. Jangan mau menjadi seperti ilalang yang diterpa badai. Apapun agama, sesungguhnya membawa pesan damai. Hanya di tangan-tangan kepentingan politiklah, agama bisa bisa disulap menjadi mainan. Tentu saja, negeri ini tak mungkin masuk ke perangkap tipu daya politik serupa itu sepanjang tahun hingga berganti tahun. []

No comments:

Post a Comment