Demokrat
dilanda kiamat. Kiamat tidak saja sudah dekat, tapi sudah terjadi. Pecah kongsi
itu makin pasti. Friksi-friksi memang sudah mengharu biru si biru. Semua
berawal dari libido kekuasaan dan godaan materi!
Inilah
tabiat dari komunikasi kelompok dalam sebuah komunitas, apapun bentuk komunitas
tersebut. Boleh partai, Ormas, maupun lembaga bisnis. Ada proses pendewasaan
dalam komunitas tersebut melalui ajang konflik intern. Antar individu saling
memengaruhi di dalam sistem yang terbangun masih terlalu pagi. (centrifugal theory
= teori keterpelantingan)
Penyelesaian
konflik itulah sebenarnya membuat komunitas tersebut menuju level kedewasaan
selanjutnya. Sampai level terakhir bernama kematangan. Setiap level menuju
jejang, konflik selalu berbeda. Proses kematangan organisasi memang butuh
waktu.
Partai
di Indonesia yang mencapai itu hanya Partai Golkar. Dinamika pengkaderan dan sistem
kepartaiannya matang. Bukan tidak ada konflik, kita tahu adanya pengelompokan
di bawah Pohon Beringin tersebut, tetapi solidaritas dan fanatisme kader tetap
terjaga. Ada kehormatan dan marwah yang dibangun dari setiap periode
kepemimpinan di partai ini.
Beragam
partai muncul, selalu ada konflik. Baik di daerah maupun di pusat, konflik itu
kadang-kadang meruncing dan merugikan partai tersebut. Ini semua bermuara dari
komunikasi politik dan corak kepemimpinan yang dijalankan oleh kelompok
berkuasa.
Menuju
level terbaik dalam komunikasi kelompok membutuhkan waktu teramat panjang. Banyak partai baru, belum ada yang mampu
mencapai kematangan dan ma'rifat sebagai partai. Satu dua saja yang menuju ke
arah pencapaian kematangan, selebihnya selalu berjuang keluar dari wilayah
konflik kelompok dalam partai tersebut. Hal ini berlaku pula pada Partai
Demokrat. Karena, kadernya berasal dari corak-corak yang berbeda dan sudah
pernah hadir di komunitas sebelumnya.
Inilah
ujian bagi Demokrat. Ketika kadernya disuguhkan kekuasaan, teramat sulit untuk
tidak tergoda. Walau dengan lantang mengatakan tidak terhadap korupsi, tetapi
lambat laun terkuak juga satu persatu. Iklan anti korupsi itu menjadi sangat
naïf jika ditonton lagi.
Demokrat
lahir dari pencitraan yang bagus dan citra personal SBY. Ia hadir dengan
meminjam trend dunia politik dengan
menguasai panggung di media massa. Segala trik nilai berita yang dapat membuat
citra personal dan partai naik ke awan --- walau akhirnya juga ditelan awan!
Tetapi
akhirnya kelihatan dan senyatanya, pencitraan sangatlah rapuh. Ia hanya ada di maya pada. Bukan pada realitas dengan
pendulum menuju fanatisme dan marwah sebagai partai, seperti yang dilakukan
beberapa partai yang menyadari tak cukup sekedar dengan citra semata. Kerja
keras di lapangan oleh kader adalah inti dari propaganda kepartaian dalam
memenang hati rakyat.
Kasus
yang melanda kader Demokrat seperti menunggu waktu adanya ijtihad politik dari
dewan pembina. Adakah ijtihad dalam waktu dekat? Kita masih menunggu keajaiban
dari seluruh dinamika politik partai dengan lambang bintang segi tiga ini.
Tentu saja, dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
menjalankan tugas harus terus didengungkan. Jangan sampai melemah. Sebab, uang
rakyat sudah terlalu banyak terkuras oleh koruptor.
Kiamat
ini segera berakhir jika ada sikap tegas dari seseorang yang dikenal begitu
banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan. Bahkan, keputusan yang
membutuhkan kecepatan dan ketepatan sekalipun harus menunggu dan menunggu.
Seperti membiarkan buah sampai masak di batang dan jatuh sendiri. Ini bahaya
tersendiri dari partai berwarna biru ini.
Kasus
Wisma Atlet menunjukkan keluguan elit Demokrat. Tidak waspada dan lupa diri. Sementara,
sedari awal, sejak terpilih kembali SBY jadi presiden, sejumlah partai sudah
mengintai “bola” yang berada di kaki Demokrat. Buktinya, koalisi tak lagi kuat.
Rapuh.
Kini,
kita sedang menunggu, menyimak dan menonton, bagaimana partai berkuasa melalui
badai di langit biru. Tentu saja kader partai ini berharap, badai segera
berlalu. Tetapi apakah pemegang tali kendali mampu melawan angin. Apakah perlu
bertanya pada pemain layang-layang membaca arah angin? Ketika datang angin
kencang, tidak saja mengulur tali, tapi juga harus berpindah posisi. Itulah
itjitihad seorang pemain layang-layang yang mahir menghadapi badai. Entah
bagaimana pula ijtihad Dewan Pembina Demokrat. Mari kita tunggu! []
No comments:
Post a Comment