Sunday, March 11, 2018

Menunggu Ijtihad SBY


Demokrat dilanda kiamat. Kiamat tidak saja sudah dekat, tapi sudah terjadi. Pecah kongsi itu makin pasti. Friksi-friksi memang sudah mengharu biru si biru. Semua berawal dari libido kekuasaan dan godaan materi!

Inilah tabiat dari komunikasi kelompok dalam sebuah komunitas, apapun bentuk komunitas tersebut. Boleh partai, Ormas, maupun lembaga bisnis. Ada proses pendewasaan dalam komunitas tersebut melalui ajang konflik intern. Antar individu saling memengaruhi di dalam sistem yang terbangun masih terlalu pagi. (centrifugal theory = teori keterpelantingan)


Penyelesaian konflik itulah sebenarnya membuat komunitas tersebut menuju level kedewasaan selanjutnya. Sampai level terakhir bernama kematangan. Setiap level menuju jejang, konflik selalu berbeda. Proses kematangan organisasi memang butuh waktu.  

Partai di Indonesia yang mencapai itu hanya Partai Golkar. Dinamika pengkaderan dan sistem kepartaiannya matang. Bukan tidak ada konflik, kita tahu adanya pengelompokan di bawah Pohon Beringin tersebut, tetapi solidaritas dan fanatisme kader tetap terjaga. Ada kehormatan dan marwah yang dibangun dari setiap periode kepemimpinan di partai ini.

Beragam partai muncul, selalu ada konflik. Baik di daerah maupun di pusat, konflik itu kadang-kadang meruncing dan merugikan partai tersebut. Ini semua bermuara dari komunikasi politik dan corak kepemimpinan yang dijalankan oleh kelompok berkuasa.

Menuju level terbaik dalam komunikasi kelompok membutuhkan waktu teramat panjang. Banyak partai baru, belum ada yang mampu mencapai kematangan dan ma'rifat sebagai partai. Satu dua saja yang menuju ke arah pencapaian kematangan, selebihnya selalu berjuang keluar dari wilayah konflik kelompok dalam partai tersebut. Hal ini berlaku pula pada Partai Demokrat. Karena, kadernya berasal dari corak-corak yang berbeda dan sudah pernah hadir di komunitas sebelumnya.  

Inilah ujian bagi Demokrat. Ketika kadernya disuguhkan kekuasaan, teramat sulit untuk tidak tergoda. Walau dengan lantang mengatakan tidak terhadap korupsi, tetapi lambat laun terkuak juga satu persatu. Iklan anti korupsi itu menjadi sangat naïf jika ditonton lagi.

Demokrat lahir dari pencitraan yang bagus dan citra personal SBY. Ia hadir dengan meminjam trend dunia politik dengan menguasai panggung di media massa. Segala trik nilai berita yang dapat membuat citra personal dan partai naik ke awan --- walau akhirnya juga ditelan awan!

Tetapi akhirnya kelihatan dan senyatanya, pencitraan sangatlah rapuh. Ia hanya ada di maya pada. Bukan pada realitas dengan pendulum menuju fanatisme dan marwah sebagai partai, seperti yang dilakukan beberapa partai yang menyadari tak cukup sekedar dengan citra semata. Kerja keras di lapangan oleh kader adalah inti dari propaganda kepartaian dalam memenang hati rakyat.  

Kasus yang melanda kader Demokrat seperti menunggu waktu adanya ijtihad politik dari dewan pembina. Adakah ijtihad dalam waktu dekat? Kita masih menunggu keajaiban dari seluruh dinamika politik partai dengan lambang bintang segi tiga ini. Tentu saja, dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjalankan tugas harus terus didengungkan. Jangan sampai melemah. Sebab, uang rakyat sudah terlalu banyak terkuras oleh koruptor.

Kiamat ini segera berakhir jika ada sikap tegas dari seseorang yang dikenal begitu banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan. Bahkan, keputusan yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan sekalipun harus menunggu dan menunggu. Seperti membiarkan buah sampai masak di batang dan jatuh sendiri. Ini bahaya tersendiri dari partai berwarna biru ini.

Kasus Wisma Atlet menunjukkan keluguan elit Demokrat. Tidak waspada dan lupa diri. Sementara, sedari awal, sejak terpilih kembali SBY jadi presiden, sejumlah partai sudah mengintai “bola” yang berada di kaki Demokrat. Buktinya, koalisi tak lagi kuat. Rapuh.

Kini, kita sedang menunggu, menyimak dan menonton, bagaimana partai berkuasa melalui badai di langit biru. Tentu saja kader partai ini berharap, badai segera berlalu. Tetapi apakah pemegang tali kendali mampu melawan angin. Apakah perlu bertanya pada pemain layang-layang membaca arah angin? Ketika datang angin kencang, tidak saja mengulur tali, tapi juga harus berpindah posisi. Itulah itjitihad seorang pemain layang-layang yang mahir menghadapi badai. Entah bagaimana pula ijtihad Dewan Pembina Demokrat. Mari kita tunggu! []

No comments:

Post a Comment