Tuesday, March 6, 2018

Lonceng Cinta di Sekolah Guru - Khairul Jasmi


nresensi
Tukang Jahit Tak Punya Baju

Judul              : Lonceng Cinta di Sekolah Guru
Penulis            : Khairul Jasmi
Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama
Cetak              : Maret 2012
ISBN               : 978-979-22-8169-9
Resensiator    : Abdullah Khusairi  

Romantika remaja adalah kejenakaan. Ketika benih-benih cinta mulai tumbuh di hati, berat bagi seorang remaja harus menerima kenyataan demi kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Kenapa? Tersebab ia baru pertama merasakan dan menganggap semuanya mesti sesuai dengan harapan. Padahal, hidup tidak selalu begitu. Banyak yang tak sesuai harapan. Sejak itulah pada dasarnya kehidupan dimulai. Mulai disadari, mulai dipahami.  

Kadang-kadang realitas itu begitu pahit, kadang sebaliknya, begitu manis. Hanya saja, pahit dan manis begitu liar untuk dikuasai. Sehingga, sulit sekali menjalani nasib agar berjalan datar. Mapan. Nasib kadang menukik ke dasar, lalu bangkit ke angkasa, tapi terjerembab lagi.
Bagi mereka yang suka hidup dinamis, bolehlah ia menikmatinya sebagai tantangan atau paling tidak menjadi mainan hidupnya. Atau bagi mereka yang kaya harta, boleh jugalah membiarkan dinamika ini menjadikannya proses pendewasaan dalam menghadapi hidup ini. Tetapi ini ceritanya beda. Lain. Ini nasib yang sungguh-sungguh tragis. Luka yang menyayat jantung. Kadang juga pilu tak berkesudahan. Dunia remaja menjelang dewasa adalah gelombang tarik menarik antara pilihan-pilihan. Lalu pasrah dengan keadaan. Selebihnya, mengutuk nasib yang naif.

Begitulah novel ini bercerita tentang Nurus, seorang remaja yang beruntung. Memiliki keluarga yang sadar akan arti pendidikan mampu mengubah masa depan. Sadar pula onak harus dilalui oleh seseorang yang bertekad merubah jalan hidup keluarga itu. “Sekolah, ya, sekolah yang rajin.” Begitu selalu nasehat orang tua, orang-orang tercinta, yang membimbingnya hingga dewasa. Bagi Nurus, ini melody sumbang di tengah kenyataan merebut kemenangan nasib. Sementara godaan bunga-bunga di taman membuatnya mabuk kepayang. Aduhai remaja 80-an!
Alur Bebas Hambatan
Novel ini tidak biasa dalam banyak hal. Memiliki kelainan dalam penggarapan dan gaya bahasa. Tetapi sesungguhnya, di situlah kekuatan dari novel yang ditulis penulis berlatarbelakang jurnalis. Naratif. Istilah lainnya, jurnalisme sastrawi. Meliuk-liuk bak penari, sesekali menghentak di ujung musik, mengejutkan. Membuat jiwa berdenyut ke dalam. Berdecak kagum. Kadang juga terpaksa ikut galau. Merasakan denyut nadi Nurus yang miris.
Bagaimana keanehan tersebut? Pertama, alurnya bebas hambatan. Mengalir. Walau tetap menjaga benang merah penceritaan tetapi penulis seenaknya membawa pembaca kemana-mana. Aku begitu ego. Memisahkan pembaca dengan Zeta, bidadari asrama putri. Padahal, pembaca masih ingin bercengkrama lebih lama dengan calon guru yang anggun itu. Ini mungkin disengaja penulis novel, untuk menjaga suspense penceritaan agar tetap memiliki gelombang naik turun yang nikmat bagi pembaca.
Kedua, novel ini juga tak biasa dalam hal pembahasaan. Rasa bahasa, logika bahasa, yang digunakan tidak lazim dalam bahasa Indonesia formal. Ada balutan lokalitas yang patut dinikmati. Menyatu dalam cerita sebuah logat minang yang meruntuhkan cara berbahasa Indonesia yang baik itu. Tetapi yakinlah, ketika membacanya, kalimat demi kalimat seakan-akan hidup. Berbunyi. Seumpama, sajian ala rumah makan Padang terhidang cepat, tangkas, juga indah. Sedangkan denting piring yang beradu menjadi irama. Membangkitkan selera.
Ketiga, kejenakaan kadang langsung bisa menjadi satir atas kebodohan yang disadari. Kadang juga langsung menjadi penyadaran atas ketiadaan bagi seorang remaja. Ia menyadari tentang cinta yang harus berkorban, tentang keterbatasan yang membuatnya gila dihajar nasib badan diri.
Keempat, gelombang kejenakaan yang menusuk hulu jantung tidak kosong. Ia juga berisi tangis. Miris. Kenyataan yang mungkin seumpama sembilu yang menyayat menjadi pilu berketerusan. Tanpa akhir.
Aku memang memerankan lelaki sejati. Tidak mampu bersikap romantis ketika itu dibutuhkan, tapi mahir ketika menjadi konsultan cinta bagi yang lain. Ini penyakit bagi banyak orang, tukang jahit tak punya baju. Tukang bangunan tak punya rumah. Hidup memang memaksa pada posisi terbalik dari harapan-harapan. Kenyataan selalu dipandang tidak adil.
Agaknya, pelajaran yang patut diambil bila telah membaca buku ini adalah, jika calon guru sedang jatuh cinta maka itulah musim yang tak perlu ia mengajar muridnya. Gila pula muridnya nanti. Ia perlu berguru entah kemana, yang penting ia selamat dari buaian yang memabukkan itu.
Isu Pendidikan
Dunia pendidikan di negeri ini memang tak pernah usai dibenahi. Selalu rumpang di sana-sini. Banyak sekali masalah yang muncul dan terbiarkan. Lamban diurus. Muncul yang baru, yang lama berkarat sudah. Novel ini menyigi sisi lain dunia pendidikan itu. Isu pendidikan akhirnya di dalam novel ini menyelinap menjadi akar tunggang persoalan.
Sementara kisah romantis yang dianggap dari awal adalah alur nasib seorang Nurus sering putus oleh narasi panjang penjelasan demi penjelasan kegaduhan dunia pendidikan yang timpang. Misalnya, si miskin selalu punya masalah keuangan tapi punya tekad untuk mendapat tempat kesempatan pendidikan. Ada banyak tantangan bagi si miskin, orang kampung yang mencibir, uang yang memang pas-pasan, minder dan kadang menjadi putus asa. Mujurlah Nurus pejantan tangguh yang selalu punya cara untuk menghibur diri.
Sementara itu, pada sisi lain, pemerintah hanya baru mampu membangun dengan kebijakan terpusat. Jawa saja yang dibangun, sementara di luar kepulauan itu dibiarkan tercecer. Ketimpangan yang nyata di era itu, terekam jelas di novel ini. Balutan sejarah panjang negeri ini tak lupa terselip sebagai pengetahuan yang penting untuk pembaca.
Anehnya, walau ini novel percintaan, ia tidak bisa dianggap novel ngepop. Setting 80-an membuat ia terasa jadul bagi anak muda zaman kini. Jadul karena surat cinta yang mesti menguras nalar menjadi halaman-halaman kisah di kertas harum. Kontras dengan era digitalitas hari ini, dimana bahasa cinta sudah singkat padat dalam short message service (SMS) ditambah pulsa murah meriah membuat remaja bisa bicara semalam suntuk lewat handphone di kamar perawan. Sementara lawan bicaranya entah dimana.
Begitu pula dengan bahasa, aku tak mungkin membawa diri ke zaman sekarang. Tidak ada bahasa gaul zaman sekarang. Hanya ada kegalauan atas nasib yang tidak terlalu beruntung.
Namun demikian, mereka yang memiliki tali darah dengan Ranahminang, dimana saja berada, patut memiliki dan merasakan denyut zaman dalam novel ini. Mengembalikan memori dan menikmati aroma budaya di dalamnya. Setting peristiwa yang realis, logika cerita yang liris, menghanyutkan pembaca lalu terjerembab ke pusar kelucuan dan kegelian.
Kenakalan dan kejenakaan calon guru di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Padangpanjang yang membuat kita harus mengakui, calon guru yang sedang mengikuti pendidikan tidak sedang memungut ilmu bagaimana sebenarnya cinta sejati itu. Mereka justru tak menemukan guru tentang cinta. Mereka belajar sendiri tentang yang satu ini, sampai khatam membaca kitab kemungkinan untuk mendapat pendamping sejati. Selamat membaca. [] 
Abdullah Khusairi
Penyuka Sastra

No comments:

Post a Comment