nresensi
Tukang
Jahit Tak Punya Baju
Judul :
Lonceng Cinta di Sekolah Guru
Penulis : Khairul Jasmi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetak : Maret 2012
ISBN : 978-979-22-8169-9
Resensiator : Abdullah Khusairi
Resensiator : Abdullah Khusairi
Romantika
remaja adalah kejenakaan. Ketika benih-benih cinta mulai tumbuh di hati, berat
bagi seorang remaja harus menerima kenyataan demi kenyataan yang tak sesuai
dengan harapan. Kenapa? Tersebab ia baru pertama merasakan dan menganggap
semuanya mesti sesuai dengan harapan. Padahal, hidup tidak selalu begitu.
Banyak yang tak sesuai harapan. Sejak itulah pada dasarnya kehidupan dimulai.
Mulai disadari, mulai dipahami.
Kadang-kadang
realitas itu begitu pahit, kadang sebaliknya, begitu manis. Hanya saja, pahit
dan manis begitu liar untuk dikuasai. Sehingga, sulit sekali menjalani nasib
agar berjalan datar. Mapan. Nasib kadang menukik ke dasar, lalu bangkit ke
angkasa, tapi terjerembab lagi.
Bagi mereka yang
suka hidup dinamis, bolehlah ia menikmatinya sebagai tantangan atau paling
tidak menjadi mainan hidupnya. Atau bagi mereka yang kaya harta, boleh jugalah
membiarkan dinamika ini menjadikannya proses pendewasaan dalam menghadapi hidup
ini. Tetapi ini ceritanya beda. Lain. Ini nasib yang sungguh-sungguh tragis.
Luka yang menyayat jantung. Kadang juga pilu tak berkesudahan. Dunia remaja
menjelang dewasa adalah gelombang tarik menarik antara pilihan-pilihan. Lalu
pasrah dengan keadaan. Selebihnya, mengutuk nasib yang naif.
Begitulah novel
ini bercerita tentang Nurus, seorang remaja yang beruntung. Memiliki keluarga yang
sadar akan arti pendidikan mampu mengubah masa depan. Sadar pula onak harus
dilalui oleh seseorang yang bertekad merubah jalan hidup keluarga itu. “Sekolah,
ya, sekolah yang rajin.” Begitu selalu nasehat orang tua, orang-orang tercinta,
yang membimbingnya hingga dewasa. Bagi Nurus, ini melody sumbang di tengah
kenyataan merebut kemenangan nasib. Sementara godaan bunga-bunga di taman
membuatnya mabuk kepayang. Aduhai remaja
80-an!
Alur
Bebas Hambatan
Novel ini tidak
biasa dalam banyak hal. Memiliki kelainan dalam penggarapan dan gaya bahasa.
Tetapi sesungguhnya, di situlah kekuatan dari novel yang ditulis penulis
berlatarbelakang jurnalis. Naratif. Istilah lainnya, jurnalisme sastrawi.
Meliuk-liuk bak penari, sesekali menghentak di ujung musik, mengejutkan.
Membuat jiwa berdenyut ke dalam. Berdecak kagum. Kadang juga terpaksa ikut
galau. Merasakan denyut nadi Nurus yang miris.
Bagaimana
keanehan tersebut? Pertama, alurnya
bebas hambatan. Mengalir. Walau tetap menjaga benang merah penceritaan tetapi penulis seenaknya membawa pembaca
kemana-mana. Aku begitu ego.
Memisahkan pembaca dengan Zeta, bidadari asrama putri. Padahal, pembaca masih
ingin bercengkrama lebih lama dengan calon guru yang anggun itu. Ini mungkin
disengaja penulis novel, untuk menjaga suspense
penceritaan agar tetap memiliki gelombang naik turun yang nikmat bagi
pembaca.
Kedua,
novel ini juga tak biasa dalam hal pembahasaan. Rasa bahasa, logika bahasa, yang digunakan tidak lazim dalam bahasa
Indonesia formal. Ada balutan lokalitas yang
patut dinikmati. Menyatu dalam cerita sebuah logat minang yang meruntuhkan cara
berbahasa Indonesia yang baik itu. Tetapi yakinlah, ketika membacanya,
kalimat demi kalimat seakan-akan hidup. Berbunyi. Seumpama, sajian ala rumah
makan Padang terhidang cepat,
tangkas, juga indah. Sedangkan denting piring yang beradu menjadi irama. Membangkitkan
selera.
Ketiga,
kejenakaan
kadang langsung bisa menjadi satir atas kebodohan yang disadari. Kadang juga
langsung menjadi penyadaran atas ketiadaan bagi seorang remaja. Ia menyadari
tentang cinta yang harus berkorban, tentang keterbatasan yang membuatnya gila
dihajar nasib badan diri.
Keempat,
gelombang
kejenakaan yang menusuk hulu jantung tidak kosong. Ia juga berisi tangis.
Miris. Kenyataan yang mungkin seumpama sembilu yang menyayat menjadi pilu
berketerusan. Tanpa akhir.
Aku
memang
memerankan lelaki sejati. Tidak mampu bersikap romantis ketika itu dibutuhkan,
tapi mahir ketika menjadi konsultan cinta bagi yang lain. Ini penyakit bagi
banyak orang, tukang jahit tak punya baju. Tukang bangunan tak punya rumah.
Hidup memang memaksa pada posisi terbalik dari harapan-harapan. Kenyataan
selalu dipandang tidak adil.
Agaknya,
pelajaran yang patut diambil bila telah membaca buku ini adalah, jika calon
guru sedang jatuh cinta maka itulah musim yang tak perlu ia mengajar muridnya.
Gila pula muridnya nanti. Ia perlu berguru entah kemana, yang penting ia
selamat dari buaian yang memabukkan itu.
Isu
Pendidikan
Dunia pendidikan
di negeri ini memang tak pernah usai dibenahi. Selalu rumpang di sana-sini.
Banyak sekali masalah yang muncul dan terbiarkan. Lamban diurus. Muncul yang
baru, yang lama berkarat sudah. Novel ini menyigi sisi lain dunia pendidikan
itu. Isu pendidikan akhirnya di dalam novel ini menyelinap menjadi akar
tunggang persoalan.
Sementara kisah
romantis yang dianggap dari awal adalah alur nasib seorang Nurus sering putus
oleh narasi panjang penjelasan demi penjelasan kegaduhan dunia pendidikan yang
timpang. Misalnya, si miskin selalu punya masalah keuangan tapi punya tekad
untuk mendapat tempat kesempatan pendidikan. Ada banyak tantangan bagi si
miskin, orang kampung yang mencibir, uang yang memang pas-pasan, minder dan
kadang menjadi putus asa. Mujurlah Nurus pejantan
tangguh yang selalu punya cara untuk menghibur diri.
Sementara itu, pada
sisi lain, pemerintah hanya baru mampu membangun dengan kebijakan terpusat.
Jawa saja yang dibangun, sementara di luar kepulauan itu dibiarkan tercecer.
Ketimpangan yang nyata di era itu, terekam jelas di novel ini. Balutan sejarah
panjang negeri ini tak lupa terselip sebagai pengetahuan yang penting untuk
pembaca.
Anehnya, walau
ini novel percintaan, ia tidak bisa dianggap novel ngepop. Setting 80-an membuat ia terasa jadul bagi anak muda zaman kini. Jadul karena surat cinta yang mesti menguras nalar menjadi
halaman-halaman kisah di kertas harum. Kontras dengan era digitalitas hari ini,
dimana bahasa cinta sudah singkat padat dalam short message service (SMS) ditambah pulsa murah meriah membuat
remaja bisa bicara semalam suntuk lewat handphone
di kamar perawan. Sementara lawan bicaranya entah dimana.
Begitu pula
dengan bahasa, aku tak mungkin
membawa diri ke zaman sekarang. Tidak ada bahasa gaul zaman sekarang. Hanya ada
kegalauan atas nasib yang tidak
terlalu beruntung.
Namun demikian,
mereka yang memiliki tali darah dengan
Ranahminang, dimana saja berada, patut memiliki dan merasakan denyut zaman
dalam novel ini. Mengembalikan memori dan menikmati aroma budaya di dalamnya.
Setting peristiwa yang realis, logika cerita yang liris, menghanyutkan pembaca
lalu terjerembab ke pusar kelucuan dan kegelian.
Kenakalan dan
kejenakaan calon guru di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Padangpanjang yang
membuat kita harus mengakui, calon guru yang sedang mengikuti pendidikan tidak sedang
memungut ilmu bagaimana sebenarnya cinta sejati itu. Mereka justru tak
menemukan guru tentang cinta. Mereka belajar sendiri tentang yang satu ini,
sampai khatam membaca kitab kemungkinan
untuk mendapat pendamping sejati. Selamat membaca. []
Abdullah
Khusairi
Penyuka Sastra
No comments:
Post a Comment